21; distance

67 9 8
                                    

"Sabtu ini lo free gak?"

Dara meletakkan kembali ponselnya, mengabaikan satu pesan yang baru saja terbaca dari notifikasi. Gadis itu menghela. Sedikit kecewa mendapati nama si pengirim pesan.

Haris.

Tadinya Dara pikir, pesan itu mungkin dari Danar. Sejak pertengkaran mereka yang terakhirㅡlewat dua minggu yang laluㅡnama Danar memang semakin jarang menyapa layar ponselnya. Kecuali ia mengirim pesan lebih dulu, pesan dari Danar hampir tidak pernah lagi mampir di ponsel Dara. Dan hari ini, Dara berhak mengharap. Ia mengirimkan satu pesan pagi tadi. Tapi hingga kini, di saat waktu istirahat makan siangnya hampir berakhir, pesan tadi masih belum juga terbaca.

"Buat sekarang aku rasa kita butuh waktu sendiri-sendiri dulu. Buat mikir yang tenang. Kita udah keseringan berantem, Dar, iya, enggak, sih?"

Kata-kata Danar beberapa hari lalu mendadak kembali terngiang di benak Dara. Gadis itu mendesah pelan, merasa bingung dengan keadaannya sekarang.

Jelas, hubungannya dengan Danar kian renggang. Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tidak Dara pahami. Seolah Danar mendadak membangun tembok di antara mereka, mencipta jarak, dan membuatnya tidak lagi terjangkau.

Harusnya gue yang kesel, kan, karena dia jadi cowok enggak jelas?

Di satu sisi, Dara berpendapat demikian. Hubungan mereka sudah cukup lama terjalin, masing-masing bahkan sudah saling mengenal keluarga satu sama lain, secara keuangan, Dara yakin mereka telah mampu membangun rumah tangga. Lantas apa?

Apa yang membuat Danar selalu menjauhkan diri dari topik pernikahan?

Mungkin saja, karena dirinya memang tidak ada dalam rencana hidup lelaki itu. Atau mungkin, Danar memang tidak berencana untuk membangun rumah tangga?

Dara mengembuskan napasnya, lelah.

Ponselnya kembali bergetar di meja, menerima satu notifikasi obrolan daring. Nama yang muncul di layar hanya semakin memperburuk suasana hatinya.

Haris.

Di tengah hubungannya dengan Danar yang kian buruk, Haris mendadak hadir dan mengisi bentang jarak itu. Dara merasakannya, sejak awal, Haris memang bermaksud lain. Mantan kakak kelasnya ituㅡyang dulu nyaris menjadi pacarnyaㅡsering kali mengirim pesan yang tidak terlalu penting dan hanya membahas hal-hal remeh. Seolah Haris memang sengaja, hanya ingin membangun percakapan dengan Dara.

Awalnya, Dara tidak terlalu menanggapi kemunculan Haris. Ia juga dengan jelas memberitahu lelaki itu kalau ia sudah memiliki seorang kekasih.

Tapi rupanya, Haris masih seperti yang dulu dikenalnya.

Yang pantang menyerah demi mendapatkan apa yang ia inginkan.

Lama-kelamaan, keberadaan Haris yang begitu tiba-tiba membuat Dara bertanya-tanya. Jika semasa sekolah dulu ia dan Haris benar-benar menjalin hubungan yang jelas, mungkin saja, Haris-lah yang saat ini menjadi kekasihnya. Bukan Danar.

Lalu mungkin saja, ia tidak perlu merasakan keresahan seperti saat ini. Karena mungkin saja, Haris akan lebih mampu menunjukkan keseriusan dalam kelanjutan hubungan mereka.

Tidak.

Tidak. Tidak. Tidak.

Dara menggelengkan kepala, mengusir pemikiran tadi. Mengapa pikirannya jadi sekacau ini?

Kekasihnya sekarang adalah Danar, dan Dara masih ingin mempertahankan hubungan mereka. Meski ia tidak tahu apakah Danar juga menginginkan hal yang sama.

Dara menghela pasrah. Sekali lagi, ia memeriksa ruang obrolan dengan lelakinya. Pesannya masih belum dibaca. Sama seperti pesan Haris yang juga ia biarkan tidak terbaca.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now