31; come back home

84 11 12
                                    

Belum genap pukul delapan ketika Chanif tiba di rumah. Rencananya mengantar Citra pulang sedikit lebih larut tidak terlaksana akibat apa yang terjadi di FISIP tadi. Segera setelah luapan emosinya mereda, Chanif merasakan lelah yang amat sangat hingga ia tidak menolak atau pun berpikir dua kali kala Citra menawarkan opsi pulang.

Setibanya di dalam, Chanif meluruhkan dirinya di sofa ruang depan. Ia bahkan tidak peduli pada sekitarnya yang gelap, ia tidak memiliki daya tersisa untuk sekadar menyalakan lampu. Sisa kesadaran Chanif hanya cukup untuk menyadari bahwa motor Ajun belum terparkir di halamanㅡpertanda sang kakak belum pulang.

Tunggu dulu...

Chanif lekas meraba seluruh sakunya, mencari ponsel. Ini hari Sabtu dan sepanjang ingatan Chanif, sesiang tadi kakaknya itu tidak mengatakan apapun tentang rencana keluar rumah. Itu artinya Ajun pasti memberinya kabar melalui pesan obrolan daring. Dan belajar dari pengalaman, mengabaikan pesan Ajun tidak akan berakhir baik.

Tapi Chanif terpaksa mengerang setelah memeriksa ponselnya. Benda itu dalam keadaan mati, kehabisan daya. Entah sejak kapan. Meski begitu ingin abai dan segera memejam lelap di sofa, Chanif berakhir memaksakan diri bangkit, menuju kamarnya.

Hal pertama yang ia lakukan setibanya di kamar adalah mencari pengisi daya dan lekas menancapkan benda itu pada ponselnya. Hal kedua, adalah merebah di kasur tanpa memikirkan apa-apa. Hari ini melelahkan. Niatnya untuk berkencan malah jadi berakhir tragis seperti sekarang. Setelah berbaring selama beberapa menit dan tidak juga terlelap, Chanif memutuskan untuk bangkit duduk. Tangannya meraih ponsel dari nakas, menyalakan benda pipih itu hingga layarnya bercahaya.

Tidak lama setelah ponselnya menyala sempurna, beragam notifikasi segera berlomba memenuhi layarnya. Chanif memutar bola mata kala menemukan empat pemberitahuan panggilan tidak terjawab dari Ajun, juga sederet notifikasi chat dari nama yang sama. Setengah malas, jemari Chanif membuka pesan dari sang kakak. Dalam hati bertanya-tanya mengapa kakaknya selalu begitu ribut mempertanyakan keberadaannyaㅡbahkan melebihi ibu mereka sendiri.

Tapi pesan Ajun yang tertera di layarㅡyang terkirim sekitar empat jam yang laluㅡjustru membuat Chanif tertegun.

Matanya melebar refleks sementara jantungnya mendadak bertalu dalam ritme berantakan. Chanif membaca ulang pesan itu sekali lagi, sebelum beranjak bangkit demi menyambar tas dan beberapa barangnya tanpa berpikir dua kali. Bersiap kembali pergi, melupakan lelah yang sejak tadi memaksanya berbaring.

Mas Ajun
|Chan dmn?
|Bapak sakit
|Ibu nyuruh kita balik skrg
15:49



***



Pukul setengah tiga pagi.

Chanif melangkahkan kaki memasuki halaman rumahnya. Rumah kedua orang tuanya. Rumah tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Rumah yang menyimpan begitu banyak ceritaㅡduka, tawa, segalanya. Dan rumah yang telah cukup lama tidak ia kunjungi.

"Ibu sama Bapak udah tidur," ujar Ajun sambil kembali memasang gembok di pagar, lalu mengiringi langkah Chanif menuju pintu depan. "Lo langsung istirahat aja. Udah sempet makan, kan, lo tadi?"

Chanif hanya menggumam sebagai jawaban. Teringat makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanyalah sepotong roti di kantin FISIP, itu pun nyaris dua belas jam yang lalu. Merasa Ajun tidak perlu mengetahui fakta itu, Chanif lantas bersuara pelan, "Sakit apa?"

Ajun tidak segera menjawab. Namun, Chanif merasa kakaknya sempat melempar pandang padanya sekilas. Chanif terlalu lelah untuk berusaha mengartikan sorot mata Ajun, karenanya ia memutuskan berpura-pura tidak melihat. Terdengar helaan napas Ajun.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now