O3; sunflower

130 20 29
                                    

Chanif menurunkan kameranya, hendak memeriksa beberapa gambar yang baru ia tangkap. Lumayan. Tidak buruk. Cukup memuaskan dirinya sendiri. Ejaㅡdan kemampuannya sendiriㅡmemang bisa diandalkan.

Matahari yang semakin tinggi membuat pemuda itu terpaksa menyeka peluh di dekat pelipisnya. Ia ingin menepi, tapi terik mentari dan pemandangan di sekitarnya adalah kombinasi yang pas untuk diabadikan saat ini.

Jadi, Chanif mengalah pada egonya. Memutuskan untuk menjemur diri sedikit lebih lama, mengabaikan keringat yang mulai terasa mengalir deras di punggungnya. Lelaki itu melihat berkeliling, berusaha menemukan objek yang dapat dibidik. Sekitarnya terlihat menarik. Penuh warna-warni bunga yang nampak kontras dilatari cerahnya langit.

Taman Bunga Matahari.

Pada tempat itulah, Chanif akhirnya menjatuhkan pilihan. Salahkan pikirannya yang mendadak terobsesi pada bunga setelah menonton beberapa video destinasi wisata di YouTube. Tadinya, ia berniat mengunjungi Taman Bunga Nusantara yang terkenal sejak dulu itu. Tapi, keinginannya untuk berpergian dengan Kereta Api Jarak Jauh rupanya mampu mengalahkan obsesinya pada bunga.

Maka Chanif memilih JogjaㅡBantul tepatnya. Ia memilih Taman Bunga Matahari, dengan pertimbangan lokasi yang sangat dekat dengan destinasi wisata lain seperti pantai dan gumuk pasir. Hanya menyisihkan satu hari untuk kabur sejauh ini, setidaknya Chanif harus memangkas waktu perjalanan menuju tiap destinasinya, bukan?

Lama-kelamaan, terik yang menyengat kulit mulai membuat Chanif goyah. Ia memilih menepi sejenak, mencari keteduhan. Tapi, belum sempat kakinya melangkah terlalu jauh, indra penglihatannya justru menangkap sosok yang tidak asing, sedang berjalan mendekat menuju tempat ia berdiri. Chanif baru akan berpura-pura tidak melihat ketika sosok itu justru memandang ke arahnya, lalu menyipit.

Kemudian tersenyum cerah.

Secerah bunga matahari.

Astaga.

Chanif memukul pipinya sendiri. Ia pasti sudah gila.

"Chan?" sosok tadi mendekat. Ekspresinya terbagi antara semringah, bingung dan entah apa lagiㅡChanif tidak ingin tahu. Lelaki itu tidak kunjung bereaksi, menyebabkan orang tadi bertanya ulang. "Chanif, kan?"

"Hai." Chanif bersuara seperti orang bodoh. Sungguh, ia hanya tidak habis pikir bagaimana mendadak takdirnya jadi begitu sering bersilangan dengan gadis ini.

Gadis ini.

Citra.

Menanggapi kebingungan Chanif, gadis itu tertawa kecil. "Sendirian?" tanyanya, ketika tidak melihat siapa pun di sekitar Chanif.

Yang ditanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian balas bertanya, "Lo ngapain? Kok di sini?"

Tentu saja Chanif harus bertanya. Pergi sejauh ini dan tanpa sengaja bertemu seseorang yang mengenalnya itu menyebalkan. Ia butuh penjelasan, selain takdir dan kebetulan.

Citra mengangkat bahu. "Ada kerjaan. Abis shoot buat pre-wedding di gumuk pasir yang di sebelah. Sekarang udah selesai, sih, jadi tim juga lagi pada mencar, jalan-jalan aja," jelas gadis itu panjang lebar, tanpa diminta. Membuat Chanif mengernyit.

"Jam segini? Di gumuk? Yang bener aja. Apa enggak luntur semua itu make up calon pengantinnya?"

Nada sewot Chanif jelas membuat Citra tergelak ringan. "Udah dari tadi, sih. Tadi belum seterik ini. Just right buat shoot sesuai konsep mereka."

"Oh."

"Kamu sendiri ngapain?"

"Hunting. Refreshing aja, sih, iseng," balas Chanif sambil mengipasi diri dengan tangan kosong. "Cit, ini boleh sambil cari teduhan, enggak? Panas banget."

Bibir Citra membentuk senyum tipis kala menerima permintaan tanpa basa-basi itu. Ia lalu mengangguk ringan, melangkah lebih dulu setelah Chanif mempersilakan.

Sembari berjalan bersisian, Citra kembali membuka percakapan.

"Kok enggak ke gunung aja? Cowok-cowok Portraindscape tuh, kalo udah ngomongin hunting, hobi banget ngusulin gunung."

Ada sesuatu dari cara gadis itu bercerita, yang membuat Chanif merasa segan untuk memotong, atau sekadar memberitahu bahwa ia sebenarnya tidak ingin diganggu. Jadi, lelaki itu hanya mendengkus tertawa ketika menanggapi,

"Mana boleh sama Mas Ajun."

Di sisinya, Citra menoleh, menatapnya. "Kenapa?"

"Enggak tahu," balas Chanif lagi. "Lagian gue juga takut ketinggian."

Diam-diam, Citra menahan senyum. Lelaki di hadapannya ini seolah punya seribu satu warna untuk ditawarkan. Seperti kotak berisi krayon warna-warni. Membuat Citra merasa penasaran, warna apa yang akan ia peroleh hari ini?

"Oh, iya," Citra kembali bersuara, mendadak teringat sesuatu. "mau minta maaf lagi soal kamera kamu kemarin. Mas Danar bilang, kamu paling enggak suka kalo privasimu diganggu gitu."

Kalimat itu benar. Chanif paling benci kalau privasinya diusik. Ia bahkan marah jika Ajun mencoba melakukannya. Chanif merasa sudah menjadi orang yang sangat terbuka. Jika kemudian ia membutuhkan sedikit saja ruang untuk dirinya sendiri, kenapa orang lain masih saja mencampuri ruang khusus itu?

Tapi dalam kasus ini, Chanif mengerti betul bahwa Citra tidak sepenuhnya salah. Maka ia hanya menggeleng pelan ketika berujar, "Bener, sih. Tapi yaudah, lah, lo juga enggak sengaja."

Bibir Citra mengurai senyum. "Yang aku bilang soal suara kamuㅡ"

"Bapak enggak suka gue nyanyi-nyanyi enggak jelas. So I stop doing that," potong Chanif, memutuskan untuk menjelaskan yang sebenarnya, agar gadis ini bisa berhenti mengusik masalah itu. "Video yang lo liat itu udah lama banget, jaman SMA atau awal kuliah kayaknya. Abis itu, gue udah sibuk kuliah juga, sih, enggak sempet nekunin nyanyi lagi. Mending nekunin yang berhubungan sama bidang studi gue aja. Seenggaknya Bapak bisa sedikit bangga kalo gue enggak aneh-aneh."

Hening setelahnya.

Hati-hati, Citra melirik Chanif, berusaha mempelajari raut lelaki itu. Terlalu tenang. Terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja mengurai kisah tentang luka. Lalu Citra melihatnya. Satu senyum yang terbentuk samar di bibir Chanif, kala sepasang mata lelaki itu menyipit menghalau silau. Sebuah senyum kekuatan. Senyum ketegaran.

"Kamu kayak bunga matahari, ya, Chan," cetus Citra tiba-tiba, tersenyum simpul, kemudian mengalihkan pandang pada hamparan bunga matahari yang bermekaran di sekitar mereka.

"Hah?"

"Aku pernah baca, bunga matahari itu melambangkan kesetiaan dan kepatuhan." Citra tersenyum. "Setia mengikuti matahari, enggak pernah menunjukkan pembangkangan atau protes. Persis kamu," tutur Citra lebih lanjut, sembari memperhatikan ekspresi bingung Chanif di hadapannya. "Bunga matahari juga lambang kebahagiaan, dan keceriaan. And somehow, I also see those in you."

Jeda.

Keduanya hanya saling pandang dalam diam. Lalu, setelah jeda yang entah berapa lama itu,

"Lo apaan, dah?" cetus Chanif, disusul tawa yang berderai.

Satu tawa berisik yang terdengar begitu lepas. Begitu bebas. Membuat Citra gagal menahan senyum.

Ini kali pertama Citra mendengar tawa lepas seorang Chanif Handirga.

Dan jujur,

Citra menyukainya.








To the beautiful sunflower,
Until you bloom prettily and perfectly,
Please always shine brightly.

ㅡCitra Sacika Hardian




***

Beautiful Us✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora