1O; weight of trust

105 15 0
                                    

"Akhirnya kamu pulang, Ram."

Kalimat itu menyambut langkah Rama yang tengah memasuki pintu depan rumahnya. Inginnya ia abai, namun tak sampai hati. Karenanya, setelah memejam untuk sepersekon, lelaki itu menoleh pada sosok yang tadi menyambutnya.

"Mama gimana, Pa?"

Terdengar satu helaan napas berat, sebelum jawaban pertanyaannya menyusul.

"Masih demam. Enggak mau disuruh tidur atau istirahat. Nanyain kamu terus dari tadi."

Ada berjuta pertanyaan di kepala Ramaㅡtentang apa yang terjadi, mengapa kondisi ibunya menurun tiba-tiba hingga sang ayah harus menghubunginya dan menyuruhnya pulang cepat, kapan semua ini akan berakhir....

Satu senyum tipis yang dipaksakan terpeta di wajah Rama kemudian. "Aku ke Mama dulu," pamitnya, meninggalkan ayahnya di ruang tamu setelah menerima satu tepukan di lengan.

Langkah gontai Rama lalu terhenti tepat di depan pintu kamar sang ibu. Lelaki itu menghela napasnya sejenak, mengusahakan sebuah senyum yang tidak terlalu terpaksa kala tangannya mulai menyentuh gagang pintu.

"Kakak udah pulang?"

Suara Sarahㅡibunyaㅡmembuat Rama terpaku sebentar. Langkahnya terhenti. Suara itu terasa menyayat bagi Rama. Terlalu penuh kerinduan, penuh pengharapan. Tapi, seperti biasa, yang Rama lakukan hanya tersenyum tipis, serta menjadi manusia tanpa emosi.

"Mama kenapa?" tanya Rama saat berhasil mencapai ranjang Sarah. Ia kemudian mendudukkan diri di sisi ranjang, membiarkan sebelah tangannya diraih oleh sang ibu.

"Enggak apa-apa," jawab Sarah. "Kakak capek? Kalo capek, sana istirahat aja. Mama enggak pa-pa."

Rama menggeleng. Sesuatu berdenyut menyakitkan di hatinya kala ia menyadari betapa selama iniㅡsepanjang yang bisa ia ingatㅡibunya selalu memanggil dirinya dengan sebutan "Kakak". Tapi, mana bisa ia menjadi kakak, jika sang adik bahkan tidak sudi berbagi darah dengannya?

"Aku justru khawatir. Kata Papa, Mama demam?"

Tangan lelaki itu terjulur demi menyentuh kening ibunya, merasakan hawa hangat yang segera menjalari indra perasanya. Senyum Sarah merekah ketika tangan putranya mengusap keningnya lembut, memberi ketenangan.

"Cuma kecapekan aja, Kak." Wanita itu lalu menangkap tangan Rama, membawanya dalam genggaman yang menyamankan. "Kakak udah ketemu Bara?"

Napas Rama terhela lelah tanpa bisa dicegah. Nama itu yang paling ia takuti untuk dipertanyakan ibunya saat ini. Nama yang memberinya beban, dan ketakutan.

"Kemaren sempet ketemu, sih," jawab Rama. "Tapi belum sempet ngobrol, Ma."

Senyum Sarah perlahan menghilang. Tatapannya menghindari sorot sang putra, seolah menyembunyikan sesuatu. "Bara masih marah ya, Kak?"

Meskipun tahu itu pertanyaan retoris, Rama tidak sampai hati untuk melontarkan jawaban. Karenanya, ia hanya berusaha mempertahankan senyum terpaksanyaㅡdan mengabaikan pegal yang mulai mengusik tulang pipinyaㅡsembari menggeleng ringan, sebagai usaha menularkan ketenangan.

"Belum sempet ngobrol aja, Ma," kilahnya. "Mama enggak usah mikirin Bara, diaㅡ"

"Mama mau minta maaf sama Bara, Kak," sela Sarah. Sepasang mata wanita itu seperti sedang menerawang jauh. "Mama udah salah sama Rima, sama Bara. Padahal Rima sahabat terbaik Mama. Mama orang jahat, Kak."

"Ma," Rama mengeratkan genggaman pada tangan sang ibu. "Mama jangan ngomong gitu. Mama aku orang baik."

Seolah tidak mendengar, Sarah menghela napasnya sebelum kembali berujar, "Dulu, Mama sama Papa kamu ngelakuin kesalahan. Demi Tuhan, Kak, Mama enggak pernah ada niat jahat sama Rima. Semuanya enggak sengaja." Penuturan Sarah sarat dengan nada bersalah. Persis sebuah pengakuan dosa. "Waktu tahu kamu ada, Mama mutusin bakal ngerawat kamu, tanpa ngasih tahu Papa kamu. Mama udah berusaha pergi, menjauh dari hidup Papa kamu. Tapi, pada akhirnya, Papa kamu tahu...."

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now