25; a fool

65 10 17
                                    

Pukul delapan malam, Chanif baru selesai merapikan isi lemarinya kala terdengar suara mesin motor Ajun di luar. Tak lama, menyusul suara kunci pintu dibuka serta teriakan salam dari sang kakak.

Chanif menggeleng. Menutup lemari pakaian di depannya, lelaki itu lantas melangkah keluar kamar.

Kala tiba di ruang tengah, Chanif mendapati Ajun telah duduk di salah satu sofa. Dengan kepala menengadah, bertumpu pada sandaran sofa dan mata memejam. Jaket serta kaus kakinya bahkan masih melekat di tempat masing-masing, belum dilepaskan.

"Kenapa lo, Mas?" Chanif bertanya, sembari duduk tidak jauh dari sang kakak. "Kusut banget."

Terdengar embusan napas Ajun. "Capek, anjir. Gue seharian abis berantem sama buyer-buyer aneh."

Chanif mendengkus tertawa. "Kirain ribut sama bos lo lagi."

Ajun ikut tertawa. Tubuhnya sudah kembali menegak, pupil legamnya bertemu dengan milik Chanif. Lelaki itu lantas menggelengkan kepala. Menyadari sorot lelah dari mata sang kakak, Chanif memutuskan untuk menjadi adik yang baik hari ini.

"Udah makan lo, Mas?"

"Belom," sahut Ajun, dengan nada siap menumpahkan kekesalan. "Boro-boro. Gue kira malah gue bakal nginep di kantor hari ini."

"Lo abis lembur?" Chanif bertanya memastikan.

Membuat Ajun menyipit garang ke arahnya.

"Lo pikir kenapa gue baru balik jam segini?"

Yang ditanya mengangkat bahu tak acuh. "Siapa tahu abis makan bareng calon kakak ipar gue lagi," kata Chanif, mencoba bercanda meski ia harus merasakan pahit di lidah setelah mengucapkan beberapa kata tertentu tadi. "Makanya gue nanya, lo udah makan belom."

"Orang gila," sergah Ajun. Namun, tak urung, cengirannya terbit juga. Seolah topik yang diangkat Chanif berhasil mengubah sedikit suasana hatinya. "Sibuk banget gue hari ini. Belum sempet kepikiran dia."

Sekarang lo kepikiran, kan, Mas?

Chanif menggeleng samar. Mengusir bisikan-bisikan tidak berguna dari dalam kepalanya. Ia harus terbiasa melakukan ini. Terbiasa menerima dan menutupi dari Ajun soal perasaannya.

"Chat sono kalo udah inget. Biar enggak kusut-kusut banget muka lo," saran Chanif sambil lalu. Si bungsu itu lantas berpura-pura menyibukkan diri, memeriksa beberapa notifikasi di ponselnya.

Tawa Ajun menguar di udara tak lama setelahnya.

"Enggak gitu konsep mainnya, Chan." Ajun menyahut kalem. "Dapet nomernya aja baru kemaren, masa udah nge-chat mulu? Risih nanti orangnya."

Chanif mengernyit. Pupilnya bergerak diam-diam, mengawasi sosok Ajun yang kembali menyandar dan memandangi langit-langit ruangan. Ia merasa janggal. Masa, sih, Ajun baru mendapat nomor Citra belum lama ini?

"Kenapa ..." Chanif berdeham sebentar. "... lo baru dapet nomernya?"

Pandangan Ajun berpindah ke wajah Chanif. Senyum konyol di bibir lelaki itu belum luntur, masih terpeta jelas. "Gue baru berani minta," aku Ajun, lekas memutus kontak mata dengan adiknya. "Enggak enak aja. Baru kenal, baru ngobrol beberapa kali, masa udah main minta nomor aja?"

Kepala Chanif semakin pusing mendengar apa yang baru Ajun urai. Bukankah Ajun sudah berteman begitu akrab dengan Danar? Bukankah kakaknya itu telah beberapa kali menginap di rumah Danar? Bukankah seharusnya, itu berarti, Ajun sudah mengenal Citra sejak lama?

"Kok ... baru kenal?" tanya Chanif, terdengar lebih kepada dirinya sendiri.

Ajun tidak menyadari tingkah aneh sang adik. Ia hanya menoleh singkat lalu tertawa kecil.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now