14; a piece of wound

85 13 1
                                    

Chanif mengetukkan jemarinya ke meja beberapa kali, menyalurkan gusar. Semalam, ia nyaris bertengkar dengan Ajun. Kakaknya itu memang sungguh berlebihan. Memangnya kenapa kalau ia pulang sedikit larut? Ia laki-laki dan bukan anak kecil lagi.

Napas Chanif terhela. Sebagian dari huru-hara ini juga salahnya. Salahnya karena kemarin ia lupa memeriksa daya ponsel sebelum meninggalkan rumah. Salahnya karena terlalu asik bertukar kabar dengan seorang teman lama yang tanpa sengaja ia temui saat berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta. Salahnya karena bahkan setelah menyadari hari telah cukup larut dan ponselnya sudah dalam keadaan mati karena kehabisan daya, ia tetap tidak berusaha memberi kabar pada Ajun maupun Bara. Ia baru meminjam bank daya milik sang teman ketika sudah bersiap pulang, mengingat ia membutuhkan ponselnya untuk memesan ojek daring. Dan saat itulah, hanya beberapa saat setelah ponselnya menyala sempurna, panggilan masuk dari Ajun muncul di layarㅡentah yang keberapa.

"Hai, udah lama?"

Segera setelah sapaan itu menyapa, Citra duduk di hadapannya, tersenyum riang. "Sori, ya. Tadi pas udah mau keluar rumah, tiba-tiba ditahan Mami. Disuruh tunggu sebentar."

Chanif hanya mengangguk singkat dengan raut yang tidak berubah. Dalam suasana hati yang seperti sekarang, ia sebenarnya lebih ingin menyendiri. Namun, entah mengapa, ketika di perjalanan tadi Citra mendadak mengajaknya bertemu, Chanif menyetujuinya.

"Chan?" Citra bertanya ragu. "Are you mad because I'm late?" lanjutnya sembari menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Chanif.

"Hah?" Chanif mengerjap bingung. Pandangan kosongnya berubah heran ketika pupilnya bergerak ke sosok Citra. "Apaan?"

"Kamu marah karena aku telat?"

"Enggak?" sahut Chanif dengan nada bertanya. "Kenapa?"

"You look so pissed off," balas Citra. "Jadi enggak enak. Maaf, ya. Lagi sibuk, ya, hari ini?"

"Enggak, gueㅡ" Chanif mengusap wajahnya sembari menghela. "Sori, sori. Gue enggak marah sama lo atau gara-gara lo. Santai aja."

Untuk sejenak, Citra memandang sangsi. Sorot matanya masih memancarkan begitu banyak tanda tanya yang Chanif harap tidak akan diutarakan. Lepas beberapa menit, gadis itu menipiskan bibir.

"Lagi ada masalah?" tanyanya, yang Chanif artikan sebagai usaha terakhir. Seolah jika setelah ini Chanif mengelak, Citra bersumpah ia tidak akan memaksa.

"Iya dan enggak," jawab lelaki itu dengan dengkus tawa pendek. "It's okay. Gue minta maaf. Ada apaan ngajak ketemu?"

Butuh tiga detik hingga akhirnya Citra mengangguk ringan seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnyaㅡseolah ia menerima permintaan maaf Chanif tanpa suara. Gadis itu kemudian membetulkan posisi duduknya hingga lurus menghadap Chanif.

"Enggak ada apa-apa, sih," jawabnya ragu. "Lagi bosen aja. Kemarin sore abis bimbingan, terus ya, gitu, deh."

Chanif tertawa pendek. "Dosen pembimbing lo tipe yang nyebelin, ya? Dulu ada temen gue yang dosbingnya nyentrik banget. Terus tiap abis bimbingan, bukannya jernih, pikirannya malah jadi keruh."

Seketika, Citra menepukkan kedua telapak tangannya. "Persis!" sahut gadis itu menggebu. "Seratus buat kamu."

Chanif lantas menggelengkan kepala. Bibirnya menyungging senyum. Ia kemudian menyadari sesuatu hingga lekas kembali menatap Citra. "Eh, lo beneran enggak mau makan dulu atau pesen minum, gitu?"

Saat ini, keduanya sedang berada di sebuah warung makan di daerah pemukiman umum yang bersebelahan dengan area kampus, tepat di belakang Fakultas Teknik dan lebih dikenal sebagai Beltekㅡsingkatan dari Belakang Teknik. Berada begitu dekat dengan lingkungan kampus, Beltek secara otomatis menjadi kawasan padat rumah indekos yang masing-masingnya penuh oleh mahasiswa-mahasiswi kampus sebelah. Tidak heran jika pilihan kuliner yang bersahabatㅡbaik dengan kantung pun selera mahasiswaㅡtersedia begitu melimpah di sana.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now