35; life goes on

94 13 30
                                    

"Demi apa undangan nikah?"

Ajun bertanya sedikit terlalu keras, membuatnya menerima siku Danar di rusuk kiri serta pukulan Chanif di lengan kanan. Di seberang Ajun, Bara melotot gusar sebelum mengedarkan pandang pada sekitar sementara di sisi Bara, Rama terkekeh bodoh.

"Bacotnya dikontrol, Jun," omel Danar. Ia lantas menoleh memandang sekeliling, mengangguk sopan meminta maaf pada setiap pemilik mata yang menoleh ke meja mereka akibat teriakan Ajun barusan.

"Ya, sori, sori," elak Ajun. "Tapi, Ram? Serius, lo mau nikah?"

Rama tidak menjawab. Tangannya terjulur, mendekatkan undangan berwarna biru light steel di meja ke arah Ajun dengan senyum meringis. Seolah hendak membuat Ajun memercayai bahwa kartu undangan itu memang nyata dan miliknya.

"Baca namanya, Jun," kelakar Rama. "Nama gue bukan?"

Seolah terhipnotis, Ajun mengambil alih undangan itu lalu membaca dua kata yang tertulis di bagian depan. Persis seperti beberapa saat lalu, sebelum ia bertanya dengan suara keras.

"Si anjir, beneran!" Ajun menghempas undangan di tangannya ke meja. "Kok bisa tiba-tiba nikah lo?"

"Ya, enggak tiba-tiba, gila," balas Rama setengah tertawa. "Udah ada rencana dari awal tahun."

Mengabaikan raut terkejut berlebihan milik Ajun, Danar mengambil alih percakapan. Tangannya turut mengambil undangan pernikahan Rama tadi, satu yang memang ditujukan untuknya dan mencantumkan namanya di bagian pihak diundang. Setelah membaca sekilas tulisan "Karin & Rama" di bagian depan, pandangan Danar beralih pada sang kawan.

"Ini cewek yang bareng sama lo pas kita enggak sengaja ketemu di Kokas dulu?" tanyanya dengan nada tertarik.

Rama nyengir. "Iye."

"Waktu itu bilangnya bukan pacar, si anjir!" seru Danar, mengibaskan undangan tadi ke wajah Rama.

"Ya, waktu itu belom." Rama tergelak. "Pas ketemu lo itu, dia masih klien gue."

"Mainnya sama klien. Ngeri," ledek Ajun. Tubuhnya lalu sedikit condong ke arah Chanif. "Tuh, baik-baik kalo ketemu klien, bisa jadi jodoh lo."

Membuat Danar memberinya tatapan tidak bersahabat. "Jun, gue denger."

Ajun terbahak diiringi komentar "Tahu lo, Mas." dari Chanif. Perhatian di meja itu lantas kembali pada Rama dan sejumlah undangan di tangannya. Sorot tidak percaya masih terpancar dari tatapan Ajun.

"Gila, enggak nyangka gue, Ram. Lo ketemu jodoh duluan," tutur Ajun takjub, matanya memandangi bagian depan undangan Rama serta wajah lelaki itu bergantian. "Orang paling ngawur kayak lo mau jadi suami orang." Ia lalu menggelengkan kepala, menoleh pada Danar. "Kebayang, enggak, lo, Nar? Kasian si Karin-Karin ini, enggak, sih?"

"Heh!" Rama bersuara tidak terima, setengah tertawa. "Maksudnya apa, tuh?"

Mengabaikan protes Rama, Ajun beralih memandang Bara. "Bar, lo saksi yang tiap hari tinggal bareng dia, emang udah cocok dia jadi suami?"

Tawa lantas pecah di antara mereka berlima. Ajun tidak mampu menahan senyum. Ia turut bahagia dengan keputusan besar yang telah diambil salah satu teman terbaiknya itu. Sudah terlalu lama sejak semuanya, dan setiap dari mereka berhak bahagia.

Diam-diam, Ajun melirik Rama, mempelajari wajah sang kawan. Nyaris dua tahun telah berlalu sejak Rama kehilangan ibunya. Ajun cukup tahu apa saja yang telah Rama lalui sejak hari itu. Bagaimana ia dan Bara perlahan saling memperbaiki diri dan mengobati luka. Juga bagaimana kedua pemuda itu berdamai dengan ayah mereka.

Pupil Ajun lantas bergerak ke arah Bara, yang duduk di sisi Rama. Anak itu, sahabat adiknya itu, yang dulu menumpang tinggal dengannya selama beberapa bulan akibat dipenuhi kebencian pada keluarganya, kini justru tampak kian akrab dengan Rama. Bara sudah banyak berubah, seolah jauh lebih dewasa. Ajun menyadari itu beberapa waktu belakangan, kala mereka bersua dalam pertemuan-pertemuan santai seperti sekarang.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now