15; keras hati

79 11 0
                                    

"Lah, ke sini, Bar?"

Bara mendengkus. Abai pada pertanyaan si lawan bicara, lelaki itu melangkah dengan sebelah tali ransel yang merosot lemas dari bahunya. Selemas langkahnya saat ini.

"Kenapa lo?" Orang tadi bertanya lagi. Rautnya tidak khawatir, namun penuh minat.

"Abis ribut," sungut Bara, menjatuhkan dirinya di kasur si pemilik ruangan.

"Sama Seno lagi?" Ramaㅡorang yang sejak tadi Bara ajak bicaraㅡlantas menerka, menyebutkan salah satu nama di lingkaran pertemanan Bara yang belakangan ini sering berselisih pendapat dengannya.

Lelaki berkulit pucat itu menggeleng.

"Sama bokap."

Yang luput dari perhatian Bara setelahnya adalah sepasang alis Rama yang meninggi, samar. Kemudian, masih dengan nada sambil lalu, lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya itu kembali bertanya tanpa menoleh, "Kenapa? Tumben?"

"Gara-gara kemarin gue turun pas anak BEM aksi di DPR."

Rama tersedak tawanya sendiri hingga menimbulkan suara ganjil. Pandangannya beradu dengan pupil cokelat milik Bara yang tengah melotot ke arahnya. Hanya sejenak, Rama memutus kontak mata dan menggelengkan kepala.

"Emang lo enggak bilang-bilang kalo mau turun?"

Bara mencibir. "Enggaklah. Kalo bilang, gue enggak bakal jadi turun. Enggak dapet ijin."

Kali ini Rama tergelak betulan. Belakangan, selepas menyandang gelar sarjana, hidup Rama memang jadi sedikit membosankan. Adalah Bara yang kerap memberi warna di hari-hari membosankan itu dengan kisah kehidupan kampusnya yang mengundang tawa. Seperti saat ini.

"Terus, ributnya karena lo enggak ijin?" tanya Rama setelah selesai tertawa. "Diomelin?"

"Itu satu." Bara menyahut malas. "Duanya, karena bokap bilang takut gue kenapa-napa." Ia lantas mendengkus kasar. "Gue udah segede gini, anjir, Ram. Emangnya bakal kenapa, coba?"

Untuk sesaat, Rama hanya memandang lelaki berkulit pucat di hadapannya tanpa bicara.

"Dimaklumin aja, Bar," sahut Rama akhirnya, dalam suara tenang. "Namanya juga orang tua."

"Berlebihan," dengkus Bara lagi.

Rama memahami itu. Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Teknik yang terkenal sebagai tempat orang-orang bermental baja, Bara tentu memiliki harga diri yang tidak umum. Harga diri yang akan membuatnya maluㅡdan kesalㅡketika dianggap kecil dan mudah kalah.

Tapi, bagaimana pun, orang tua memiliki hak penuh untuk mengkhawatirkan anak-anaknya, kan?

"Lo belum pernah jadi orang tua, sih. Jadi enggak tahu rasanya," celetuk Rama.

Bara lekas menatapnya aneh. "Emangnya lo pernah?"

"Loh, ya, belom. Emang gue udah keliatan kayak bapak-bapak?" seloroh Rama, setengah tertawa.

Lalu kegusaran Bara menguap tanpa sisa. Ia ikut tertawa ringan bersama sang kawan, menertawakan sesuatu yang sejujurnya tidak seberapa lucu.

Perlahan, seisi ruangan itu menjadi lamat-lamat. Seolah gambaran adegan tadi melebur lambat sebelum menghilang. Sebuah suara terdengar jauh. Suara yang monoton. Berulang. Menggedor telinga.

Membuat Bara terjaga.

Ia memimpikan Rama?

Sialan.

Lelaki itu mengerang gusar. Tangannya lantas mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Bangkit dari rebah, Bara baru menyadari suara yang tadi muncul di mimpinya adalah suara dering ponselnya sendiri.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now