O5; start over

124 19 32
                                    

Chanif melangkah keluar kamar diiringi kuap. Dengan ponsel di tangan, lelaki itu memeriksa jam digital yang tertera di layar ponselnya. Pukul sembilan kurang tujuh menit. Sudah siang. Ia meneruskan langkah ke ruang depan, berniat kembali berbaring di karpet atau di sofa. Niat itu batal kemudian, setelah matanya menemukan sosok Bara di ruang depan. Chanif memutuskan untuk mendudukkan diri di sisi kawannya itu.

"Mas Ajun mana, Bar?" tanya Chanif, sembari kembali menguap.

Menyebabkan Bara mengalihkan atensi dari ponselnya, mengernyit.

"Nyawa belom kumpul? Abang lo, ya, udah berangkat kerja dari tadi pagi, lah?"

"Oh, iya." Chanif terkekeh. "Anjir, ngantuk banget gue."

Bara tidak menanggapi. Ia paham. Terlampau larut ketika Chanif sampai di rumah setelah kepulangannya dari Jogja malam tadi, disusul keharusan membersihkan diri serta membongkar beberapa muatan, membuat Chanif baru tidur menjelang pagi.

"Entar gue keluar ya," kata Bara kemudian, memberi informasi setelah meletakkan ponselnya ke meja.

Kelopak mata Chanif yang sebelumnya hanya terbuka tipis, mendadak melebar. Ia menoleh cepat pada Bara. "Ke mana lo?"

Ada sepersekon di mana kening Bara berkerut samar menyadari nada suara Chanif barusan. Tapi setelahnya, lelaki itu hanya terkekeh.

"Enggak usah berlebihan gitu, Chan. Lo bukan nyokap gue."

Hening.

Chanif terhenyak, menyadari. Benar juga. Selama ini, ia berusaha terlihat tidak terlalu ikut campur masalah Bara. Chanif membiarkan kawannya itu tinggal di rumahnya, melarang Ajun bertanya, berpura-pura tidak berlebihan menanggapi semuanya. Karena Chanif tahu, Bara tidak suka dikasihani.

Tapi, lelaki itu juga tidak bisa berbohong. Ia mengkhawatirkan Bara. Khawatir akan kondisi implisit temannya ituㅡkondisi yang Bara sembunyikan, yang tidak terlihat. Karenanya, sebelum Chanif sempat mengontrol diri, nada cemas itu keluar dengan sendirinya. Di luar kendali.

"Sori," balas Chanif. Tangannya mengusak wajah, berusaha menyembunyikan rasa canggung dan tidak enak.

Bara menyeringai tipis. "S'okay."

Keduanya diam. Sebentar. Karena tak lama kemudian Chanif kembali bersuara.

"Tapi serius, Bar. Lo mau ke mana?"

"Kenapa gue harus ngasih tahu lo?" Bara balik bertanya, terdengar tidak terima.

"Satu," Chanif berdeham kecil. "lo tinggal di rumah gueㅡtechnically, bukan rumah gue, sih, soalnya gue sama Mas Ajun juga cuma ngontrak di sini," gurau lelaki itu, dengan satu cengiran menyebalkan. "Tapi, maksudnya, sekarang kita tinggal serumah. Ya, gue perlu tahu, lah, penghuni rumah gue pada ke mana?"

Mata Bara menyipit. "Terus, dua?"

"Enggak ada. Udah, itu aja," balas Chanif, terkekeh. Membuat tangan Bara terjulur demi menoyor kawannya itu sambil sedikit menggerutu.

"Gue mau cari kerjaan, Chan," katanya, diiringi satu helaan napas. "Lo sama Bang Ajun udah baik banget mau nampung gue di sini, enggak tahu sampe kapan. Masa gue jadi benalu doang?"

"Lah, kerjaan lo yang sekaㅡ"

"Gue masuk di sana gara-gara rekomendasi temennya bokap," satu sudut bibir Bara tertarik, membentuk seringai tidak ramah. "Gue mau mulai lagi dari nol."

Sejatinya, pandangan Bara dan Chanif dalam beberapa hal cenderung mirip. Karenanya, meski dengan alasan yang sedikit berbeda tentang prinsip memulai dari nol, Chanif merasakan secuil bagian hatinya terdorong untuk mendukung Bara.

Beautiful Us✔Where stories live. Discover now