#32 • Tempat untuk beristirahat •

244 24 8
                                    

•••🌷•••

Entah sudah keberapa kali Audi melihat jam di pergelangan tangannya. Menunggu dengan harap-harap cemas. Sejak tadi pagi, Kalth tidak bisa ia hubungi. Baik pesan maupun panggilan. Apa yang terjadi padanya? Kira-kira begitulah pemikiran Audi sekarang.

Difta yang sedang duduk di depan meja rias sambil melihat koleksi skincare Audi sesekali melihat raut wajah cewek itu lewat pantulan kaca. Sejak satu jam yang lalu, posisi Audi tak berubah. Hanya menunggu kehadiran Kalth dari kaca balkon. Sesekali ia mengigit ujung kuku dan bersandar ke tembok, terkadang ia melihat jalan yang sepi dari balkon dan kembali seperti awal. Difta mulai jengah. "Dia pasti gak dateng, Di. Lo liat sekarang udah jam satu siang. Palingan dia keasikan ngegame atau emang ngebo di rumah."

Audi menoleh ke arah Difta kemudian ia berjalan ke ujung kasur dan duduk disana. Audi menatap lantai dengan tatapan kosong kemudian menggeleng pelan. "Enggak, Dif. Dia pasti dateng, kok. Mungkin lagi beres-beres dan gak sempet kabarin gue," balas Audi sedikit ragu. Ada nada ragu dalam suaranya. Tentu saja, apa yang ia pikirkan sama seperti yang Difta katakan. Namun, saat ini ia mencoba berpikir positif. Karena sebelumnya, Kalth belum pernah menerima ajakan jalan seperti ini.

Audi selalu berpikir bahwa Kalth sudah mengakui keberadaanya dan mulai menerima kehadiran Audi di kehidupannya. Tapi ternyata, apa yang Kalth lakukan hanyalah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Audi tidak pernah benar-benar mengerti maksud dari perlakuan Kalth selama ini. Ia kira, harapan itu mulai datang padanya. Tapi realitanya, harapan itu hanyalah sebuah pertanyaan yang harus Audi jawab sendiri.

Audi menghembuskan napas perlahan. "Kalau gue aja gak yakin sama diri sendiri, gimana bisa gue yakin sama dia?"

Difta memutarkan bola matanya malas. Kemudian ia memperbaiki posisi duduk dengan menghadap Audi secara langsung. "Di, ini bukan soal yakin atau gak yakin. Gimana lo bisa yakin masuk ke sebuah ruangan padahal jelas-jelas pintunya kekunci? Ini soal realita yang harus lo hadapin, Di. Lo gak bisa terus sembunyi di balik harapan yang lo ciptain sendiri. Harapan bakalan berhasil kalau apa yang lo harapin emang ngasih lo kesempatan. Tapi kalau enggak? Sesulit apapun lo berjuang, kalau kesempatan itu gak pernah ada, bakalan sia-sia, Claudisha Lavenandra."

Mendengar apa yang Difta ucapkan, Audi meneteskan air matanya. Meski Audi benci mengakui, namun, apa yang Difta ucapkan selalu benar adanya. Hanya saja, Audi denial dari realita yang ada di depan. Ia tak mau harapan yang menggebu-gebu itu hancur seketika kala ia menerima apa yang sebenarnya ia dapatkan. Audi pun tak tahu harus sampai kapan ia bertahan. Entah sampai kapan ia bisa menunggu kesempatan itu datang, menunggu jawaban itu terlontar. Atau bahkan, apa yang ia tunggu sebenarnya tidak pernah ada di muka bumi ini. Itu artinya... selama ini Audi hanya mengejar ilusi.

•••🌷•••

Setelah sampai, mesin motor itu ia matikan. Dengan asal ia menaruh helm di atas kaca spion. Melangkah dengan kaki jenjangnya menuju pintu yang sepenuhnya terbuka lebar. Banyak sekali anak-anak kecil yang sedang bermain di pekarangan panti, melihat itu kecemasan Kalth sedikit berkurang. Menatap sekitar membuat hatinya menghangat kemudian ia pun tersenyum tipis.

Setelah mengetuk pintu tiga kali, seseorang ia tunggu pun datang dengan senyum manis. Bukan, bukan Nadera. Itu adalah Bunda Kirana, pemilik panti yang sudah sering ia jumpai. Bunda Kirana adalah bukti kedua perjalanan kisah Kalth dan Nadera selain Vincent. Tentu saja, Bunda Kirana mengenal mereka dengan baik.

Dengan sapaan yang hangat, Bunda Kirana mempersilahkan Kalth masuk. "Pavel, mau bunda bikinkan minuman apa?" tanya Bunda Kirana setelah mereka sudah berada di ruang tengah. Kalth menggeleng pelan. "Gak usah Bunda, gak udah repot-repot. Saya kesini mau ketemu Nadera. Naderanya ada kan, Bun?"

PHOTOGRAPH Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin