#22 •Terungkap•

536 51 7
                                    

"Gue ... gak mau kehilangan lo lagi."

Kalth meneguk salvianya. Kini, kedua manik mata mereka sukses terkunci.

"Dan untuk terakhir kalinya, gue kembali buka hati. Dan ini semua karena ... lo."

Gadis itu mengalihkan pandangannya, sontak ia melepaskan tangan yang sedari tadi Kalth genggam. Ia tak ingin terjerumus pada masa lalunya. Walaupun hati kecilnya berkata bahwa perasaan itu masih ada.

"Setelah terakhir kali lo ninggalin gue tanpa kabar dan tanpa alasan yang jelas, sekarang lo minta hubungan kita kayak dulu lagi?" Gadis itu menatap tajam manik mata Kalth. Matanya berkaca-kaca. Mati-matian ia menahan gejolak rindu yang berada pada sisi tergelap dalam hatinya.

Tapi sayangnya, rindu itu terpaksa harus ia kubur dalam-dalam.

Kalth terdiam, ia sadar bahwa selama ini adalah kesalahannya. Kesalahan besar yang membuatnya terseret pada jurang sesal paling kelam. "Jangan harap." Gadis itu menekankan setiap kata yang ia ucapkan.

Ini semua memang tak mudah. Ketika kedua perasaan yang jauh terpendam berusaha untuk diungkapkan tapi tak mampu. Sadar, bahwa apa yang telah mereka tanam dan sudah lama mereka tinggalkan tidak akan pernah kembali seperti semula.

Jujur saja, gadis di hadapan Kalth ini bahkan memerlukan beberapa tahun untuk bergaul dengan rasa sepi. Bahkan setelah Kalth pergi kala itu, ia belum bisa membuka hati lagi, dengan siapapun itu.

Setelah mengucapkan kalimat yang tak pernah ingin Kalth dengar, gadis itu bangkit berdiri berniat untuk meninggalkan Kalth. Dengan cepat Kalth menahan pergelangan tangan gadis itu dan menggenggamnya erat.

"Gue tau penyebab dari semua ini adalah sahabat lo sendiri kan? Lo sembunyiin perasaan lo demi mempertahankan perasaan orang lain? Ini semua pasti karena Audi!" sentak Kalth.

Dengan cepat gadis itu menoleh, tatapannya kembali menajam. Ini semua sudah kelewatan. Kalth bahkan membawa nama sahabatnya sebagai akar dari permasalahan ini.

"Jaga mulut lo!"

"Ini semua karena cewek itu kan! Lo bahkan pura-pura bahagia waktu tau dia deketin gue! Dia berusaha dapetin perhatian gue! Tapi semua itu gak berguna! Gue cuma butuh lo di hidup gue." Kalth meraih kedua tangan gadis yang tengah membeku di tempatnya sekarang. Kalimat yang baru saja Kalth ucapkan benar-benar membuat dia terpaku.

"Gue berusaha hubungin lo saat gue tau kita di satu sekolah yang sama."

Hampir saja air mata keluar dari ujung mata Audi jikalau handphone Nadera tak berdering dan memunculkan satu notifikasi masuk dari nomer tak dikenal.

"Siapa, Der?" Difta akhirnya mengeluarkan suara setelah Nadera kembali meletakkan handphonenya di atas nakas.

"Ah, engga. Salah sambung," jawab Nadera sekenanya.

"Gue tau saat lo ragu untuk ngerelain hati lo sendiri demi kebahagiaan orang lain."

"Jadi ... Selama ini orang yang lo ceritain itu dia?" tanya Nadera seperti kurang yakin.

"Der, menurut lo gue—"

"Coba aja dulu, Di." Nadera tersenyum penuh arti lalu berusaha meyakinkan Audi.

"Bahkan gue sempat berharap kalau kopi kemasan itu bukan dari Audi. Tapi dari lo."

Kalth kembali menatap Audi tajam seakan meminta penjelasan. "Bilang sama gue kalau minuman ini bukan dari lo."

PHOTOGRAPH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang