5

547 130 4
                                    

———

Seumur hidup, aku hanya sekali merasa amat sangat bersalah pada seseorang dan orang itu adalah ayahku sendiri. Itu terjadi saat usiaku enam tahun.

Aku menolak keras ayah menikah lagi. Bukan hanya karena aku takut perhatiannya teralih, tapi juga karena aku tidak suka pada calon ibu tiriku.

Ayah adalah orang yang sangat payah dalam menghadapiku. Dia teramat kaku hingga aku berpikir apa yang kira-kira dilihat Athena dari pria itu. Kuakui dia orang yang cerdas dan teliti. Tapi, dia tidak pernah hebat kalau dalam mode ayah.

Itu adalah kesalahanku. Aku meremehkannya dan menganggap keberadaannya hanya sekadar ada. Dia sangat sibuk hingga aku sendiri tak pernah paham seperti apa wataknya.

Saat aku menolak untuk setuju dengan pernikahannya, pria itu marah besar. Ayah tidak pernah marah sekalipun padaku. Aku bahkan sempat berpikir kalau amarahnya itu adalah emosi yang ia tampung selama bertahun-tahun kemudian secara tidak sengaja tertumpah ruah kepadaku.

Aku teramat ketakutan. Sebagai seorang anak enam tahun yang tak pernah dimarahi, perbuatan ayah membuatku benar-benar terpukul. Aku tak mau lagi melihat wajahnya atau bicara padanya.

Keesokan harinya setelah aku pulang sekolah, aku kabur. Aku tidak mau pulang ke rumah. Aku pergi entah kemana seorang diri tanpa perbekalan apapun.

Aku bertahan hingga larut malam. Berjalan-jalan kesana kemari seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi riang seolah sedang menjalani piknik bersama teman sekolah.

Dulu, aku belum bisa membedakan hantu dan manusia. Tiap aku melihat orang mendekat, aku malah tersenyum dan mengajaknya bicara meski mereka tak menanggapi ocehanku.

Seorang gadis yang bersimbah darah mendekatiku. Dia terlihat habis menangis sepanjang hari. Matanya bengkak, lingkaran dibawah matanya amat sangat gelap dan pakaiannya compang-comping, basah serta ternoda oleh tanah. Aku memberikan senyum manis dan menyapanya.

"Halo," sapaku.

Gadis itu diam seperti yang sudah kuduga. Aku memperhatikan wajahnya yang seputih kapur dengan seksama dan menangkap raut ketakutan yang teramat sangat.

"Kakak mau berkenalan denganku?" tanyaku yang dibalas langsung dengan gelengan kepala gadis itu.

Dia berbalik memunggungiku dan menunjuk jembatan layang yang jaraknya lima puluh meter dari tempatku berdiri. Aku tidak mengerti apa maksudnya tapi mataku mengikuti arah yang ia tunjuk.

"Kau mau kuantar kesana?" tawarku. Disini aku sadar kalau polos dan bodoh itu beda tipis.

Gadis itu mengangguk lemah lalu bergerak mendahuluiku. Aku mengikutinya dengan senang hati sambil melompat-lompat kesenangan.

Aku tidak menaruh curiga sama sekali padanya. Lagipula, jalanan terlihat ramai. Kalau aku diculik, aku bisa berteriak minta tolong.

Begitu tiba disana, gadis itu menunjuk jalan raya dibawah kami. Dia kemudian menatapku seolah berusaha menjelaskan: hei, dulu aku lompat dari sini. Asyik, lho! Kau mau coba? Sayangnya, dulu otak kecilku tak bisa menerjemahkan tatapan gadis itu.

Aku menatap kebawah dengan ngeri. "Kenapa? Kau suka lampu-lampu mobil?"

Gadis itu mengajakku mendekat ke tepi jembatan dan terus menerus menunjuk ke jalan raya. Karena aku cukup pendek, aku menaiki satu celah yang ada di tepian. Barangkali gadis itu sedang menunjuk sesuatu yang seru seperti parade donat raksasa tapi aku terlalu pendek untuk melihatnya.

"Tidak ada apa-apa," kataku. "Kenapa kau menunjuk ke bawah terus?"

Gadis itu lalu menghadap ke arahku. Kali ini rautnya sedikit lebih serius.

The Magical Island [TXT & ITZY]Where stories live. Discover now