26. Marah?

26 4 0
                                    

Waktu istirahat kedua telah tiba. Aku berdiri dari dudukku sesaat setelah guru keluar dari kelas. Sejenak aku melihat pantulan diriku sendiri di depan cermin.

"Dira, di depan ada Kakak kelas nyariin kamu,"

Aku menoleh. Mencariku? Kakak kelas? Siapa?

Mungkinkah itu adalah Yoga? Atau mungkin malah Rakhma?

Aku berjalan dengan sedikit ragu ke luar kelas. Ah, ternyata yang mencariku adalah Kak Dana. Bodoh, kenapa juga aku berpikir bahwa yang mencariku itu Yoga? It's impossible, rite?!

"Kenapa, Kak?" tanyaku.

"Tolong kasihin ini ke Vira di ruang osis. Bilang ke dia suruh direvisi proposalnya. Kamu juga bantuin Vira, ya. Kakak ada urusan bentar," jawabnya.

"Oh, oke Kak!"

"DANA CEPETAN DONG,"

"Bentar,"

"CEPETAN, DAN! PEDEKATE MULU,"

"TAU NIH, DANA!"

"Iya iya! Enggak usah didengerin, Kakak duluan ya."

Aku hanya mengangguk lalu menatap kepergian Kak Dana. Aku sedikit terkejut melihat ke arah teman-temannya tapi segera aku tutupi dengan pura-pura membaca proposal yang tadi diberikan Kak Dana.

Kalian tahu siapa yang tadi berteriak tentang pedekate? Sepengetahuanku, dia adalah Kak Azmi, teman Kak Dana. Tapi bukan itu yang membuatku terkejut. Di belakang Kak Azmi ada Yoga.

"UDAH PUNYA PACAR MASIH AJA GANGGUIN PUNYA TEMEN SENDIRI, GILA YA!"

Kalau kalian bertanya siapa yang tadi berteriak, itu bukan Kak Azmi lagi. Tapi... Yoga. Dia menatapku dengan tatapan sulit diartikan. Seolah marah, tapi aku tak tahu penyebabnya.

Beberapa hari ini aku memang jaga jarak dengannya. Dari mulai tak mencari tahu tentangnya lagi, tak mengirim pesan padanya, dan lainnya.

#

'Sungguh aku benar-benar tak mengerti arti tatapan itu. Apa kamu marah, Ga? Tapi kenapa?'

My Beloved Brother |tamat|Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt