58. Tentang Kita Berdua

293 13 12
                                    

Motor yang dikendarai Elang selama 15 menit itu akhirnya menepi di depan gerbang rumah. Rania pun bergegas turun untuk kemudian berdiri di sampingnya. Dia tersenyum simpul bersamaan dengan jari-jari tangan yang menyelipkan beberapa helaian rambut ke belakang telinga. Ujarnya, "Makasih, ya, Lang."

"Hm," gumam Elang disertai dengan anggukan. "Yang tadi itu lo lupain. Anggap aja enggak terjadi apa-apa."

"Iya," sebut Rania mengiyakan. Walau sebenarnya dia penasaran setengah mati, tapi jika Elang telah melarangnya, ia bisa apa?

"Dan, um ... gue mau ngomong sesuatu sama lo."

Rania kembali meneguk ludah hingga tandas. Matanya berdekip dua kali, mencoba untuk balas menatap Elang yang nyatanya sudah lebih dulu terpaku pada wajahnya.

"Gue minta maaf."

Dan kali ini, Rania gagal untuk mencegah keningnya agar tidak berkerut bingung. Bibirnya pun terasa gatal untuk bertanya, "Maaf buat apa?" Bukannya gue, ya, yang perlu minta maaf ke dia?

Sebelum menjawab pertanyaan singkat dari gadis di depannya, Elang memutuskan untuk turun lebih dulu dari atas motor dan berdiri menjulang di depan Rania. Tangannya kemudian bergerak untuk melepaskan helm, lalu terlihat menyangkutkannya pada setang motor. Lantas, Elang menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis. "Maaf karena gue enggak bisa bahagiain lo walau kita udah pacaran setahun lebih lamanya."

Mengatakan hal ini sudah menjadi keputusan Elang sejak semalam. Sejak Fiki menghabiskan waktu di kamarnya, Elang sudah memikirkan tentang siapa sebenarnya yang salah dalam hubungannya. "Gue pikir selama ini lo udah bahagia. Gue pikir gue udah cukup baik buat lo. Dan gue pikir, gue adalah orang terakhir yang akan selalu ada di hati lo. Tapi ... ternyata gue salah." Elang menarik napas, lalu mengembuskannya dengan sekali dorongan. Entah mengapa dadanya mendadak perih begitu saja. Membuat Elang menggepalkan tangan, berusaha mencari pelampiasan.

"Jujur gue udah berusaha keras buat lo. Berjuang untuk selalu buat lo nyaman dan aman. Berkorban semampu yang gue bisa. Tapi nyatanya apa yang udah gue lakuin masih jauh dari apa yang lo mau. Gue sadar, Ran, kecewanya gue bukan salahnya lo. Tapi letaknya di gue sendiri. Kalo aja gue bisa lebih keras lagi buat bahagiain lo, pasti lo gak bakalan pergi dari gue. Dan, ya, gue berharap lo selalu bahagia seperti kata lo waktu itu. Semoga abang gue bisa selalu mencintai lo, seperti lo yang selalu cinta sama dia meski saat itu kita masih bersama."

Satu sudut di dalam dada Rania terasa dicubit oleh tangan tak kasat mata. Sakit itu kemudian menjalari seluruh tubuhnya, berkumpul menjadi satu pada kedua manik mata yang membuatnya memanas dalam detik itu juga. Rania tahu bahwa semua yang Elang ucapkan itu tulus dari hati. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah pun dirinya tetap kena tohok telak juga. Sadar tak sadar, Rania juga ikut menggepalkan kedua tangan, lalu sepintas mulai menundukkan kepala.

"Gak usah risau sama gue. Lukanya masih ada, sakitnya juga masih kerasa. Kemarin-kemarin gue emang terlihat buruk banget. Tapi besoknya, gue janji bakalan baik-baik aja." Hah. Berat memang mencoba tegar di saat dirinya tengah berpura-pura. Tapi demi dirinya dan Rania, Elang tetap berusaha untuk menciptakan sebuah lengkungan senyum tipis yang enak dipandang mata. Tak apa untuk hari ini dirinya tidak baik-baik saja. Asalkan Rania bahagia dengan pilihannya, Elang akan berusaha untuk turut gembira.

Terakhir, tangan kanan Elang terulur dan berhenti pada puncak kepala Rania untuk kemudian menepuk sekali seperti kebiasaannya. Tepat saat hal kecil itu ia lakukan, gadis di hadapannya ini malah menitikkan air mata. Sebenarnya ingin sekali bagi Elang untuk kembali mendekap Rania, membisikkan bahwa saat ini dirinya tengah terluka. Tapi bukankah gadis manis yang bergeming ini bukan lagi miliknya?

"Makasih karna lo masih sayang sama gue. Dan asal lo tau, gue juga masih sayang sama lo. Entah sampai kapan, gue gak tau itu, Ran." Jika saja Rania tak lagi berada di depannya, mungkin saja Elang juga akan ikut meneteskan air mata. Detik ini--saat siang hampir menjelang sore--Elang hendak menuntaskan segala luka yang ia rasa. Dan tepat di samping itu semua, Elang juga ingin memperlihatkan kepada kekasih hatinya bahwa dirinya ini masih akan menjadi lelaki terkuat yang pernah sayang kepadanya. Walau nantinya mereka benar-benar tak bisa lagi bersama, Elang hanya mau dikenang sebagai sosok yang memiliki hati paling luas dan cinta yang paling besar. Singkatnya, Elang ingin selalu terlihat istimewa di depan gadis manisnya.

"Sekarang lo masuk, temui abang gue di dalam sana. Pasti dia udah nunggu dari tadi." Elang tahu bahwa Vernon ada di dalam rumah Rania hanya karena dia menemukan motor milik abangnya terparkir rapi di garasi sana. Sesaat, Elang kembali melirik Rania, menyuruhnya untuk cepat-cepat menyeka air mata. Katanya dengan gaya kelakar, "Gue gak mau diabisin sama dia karna udah buat calon kakak ipar nangis. Dan, ya, sesekali ajakin abang gue ke warungnya Mbak Imas. Dia sama Dede tanyain lo soalnya."

"Elang--"

"Gue pulang. Bye!" Elang merasa tak harus mendengarkan kalimat yang akan Rania katakan kepadanya. Bukan apa, hanya saja dia takut gagal menahan desakan air mata yang memaksa turun karena terkena efek dari suara parau gadisnya. Tanpa bicara, Elang bergegas memasang kembali helm di kepala, lalu menaiki motor untuk kemudian langsung menjalankannya di jalan raya.

"Please, Elang ... " Rania melirih dengan jari tangan yang perlahan bergerak mengusap air mata yang mengotori pipi, "jangan buat gue menyesal karena pilihan gue sendiri."

* * *

Rania melangkah satu-satu hingga kakinya berhasil menapaki lantai dingin di dalam rumah. Dan benar saja, tepat di sofa ruang tamu, dia menemukan Vernon yang tengah berbincang hangat dengan Bunda. Rania menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan sekali dorongan. Dirinya hendak menyapa, akan tetapi Luna lebih dulu melihat ke arahnya. Wanita yang memakai daster biru itu langsung menyuruhnya untuk segera berganti pakaian. Katanya, "Cepetan dikit, ya, Ran. Kasian Vernon udah nunggu kamu dari tadi." Baiklah. Tanpa sempat berbincang lebih dengan Vernon, Rania segera memutar tumit ke arah tangga untuk kemudian menuju ke arah kamar.

Menjelang petang, hujan dengan curah sedang mulai mengguyur daerah Jakarta untuk kesekian kalinya. Rintik air yang jatuh secara gerak romantis tampak membelai atap rumah, membuat siapa saja akan senang walau hanya untuk bergelung mesra di balik kemulnya. Rania tidak demikian. Usai mengganti pakaian menjadi kaus kuning gejreng lengkap dengan gambar kartun Spongebob di depannya, Rania akhirnya turun dan menghampiri laki-laki yang memang tengah menunggui dirinya sendirian di sana. Rania mengambil tempat di sebelah Vernon, bertanya, "Enggak kerja, Bang?"

"Nanti. Abang kena shif malam soalnya." Kemudian, tangan kanan Vernon terulur ke arah meja hanya untuk meraih gelas yang berisi kopi buatan Luna. Ia meneguknya sekali, lalu kembali meneliti wajah Rania yang tampak lebih lelah daripada biasanya. "Ran, lelah gak kamu?"

"Eh?" Kedua ujung alis Rania hampir menyatu karenanya. Dia menatap ekspresi wajah Vernon. Jarang sekali untuk lelaki pemilik kulit putih bersih itu menanyakan hal demikian. "Enggak banget. Kenapa?"

"Abang mau nanya sesuatu sama kamu."

"Nanya ... apa?"

Vernon lebih dulu menarik napas dan mengembuskannya secara beraturan. Baru setelahnya, dia sedikit memiringkan tubuh menghadap ke arah Rania, lalu berkata dengan suara yakin, "Tentang kamu ... dan juga Elang."

* * *

Tbc

Hai, kamu.
Sejauh ini kamu masuk ke dalam hidupnya mereka, kesan apa yang telah kamu dapatkan? Apakah kamu sudah bisa menyayangi mereka? Apakah kamu sudah siap menghadapi kehilangan selanjutnya?

Salam,

Dariku si penikmat kopi

EPIPHANYWhere stories live. Discover now