60. Pesan Tak Terbaca

8 3 0
                                    

"Lang, seriusan lo mau lawan lagi sama Kito?"

Elang mengangguk singkat untuk menanggapi pertanyaan dari Charlie--salah satu teman sekelasnya. "Iya. Kenapa emang?"

"Um, kalo boleh jujur, gue khawatir sama lo, Lang. Kito itu lawan yang berbahaya." Charlie meringis, nyaris memicingkan mata.

Namun, di bawah temaramnya malam, pada salah satu sudut kota yang sedikit jauh dari keramaian, Elang tertawa kecil. Dia menepuk pundak Charlie dua kali, untuk kemudian berkata, "Santai aja kali. Lo takut gue kalah apa?"

"Bukan, Lang, bukan. Gue--"

"Calm down," Elang lebih dulu menyela, "kalo nanti gue kalah, gue gapapa. Dan kalo nanti gue menang, semua duitnya juga bakalan gue kasih ke lo."

"Gue juga tau kali kalo lo gak doyan sama duit hasil balapan. Tapi tadi gue sempat denger kalo Kito gak bakalan kasih lo lepas malam ini. Gue takut dia rencain sesuatu yang bahayain lo."

"Alah, palingan ntar dia main curang. Udah, ya. Gue mau siap-siap." Lantas Elang segera menjauh dari sana. Meninggalkan Charlie yang masih berdiri di pinggir jalan dengan perasaan tak tenang.

Proses balapan ini akan dilakukan seperti biasa. Namun, hanya dua orang pemainnya. Kito dan Elang. Keduanya tengah bersiap-siap di atas motor masing-masing. Sejenak kemudian Elang melirik ke arah Kito. Dia melihat bagaimana cara kakak kelasnya dulu--laki-laki yang pertama kali mengajaknya merokok hingga berakhir dimarahi papa--kini dengan tajamnya tengah menatap ke arahnya. Elang tahu ini tidak akan mudah. Seperti yang Charlie bilang, Kito itu berbahaya. Di matanya bukan hanya api kemarahan yang terlihat, tapi juga dendam kesumat entah karena apa. Namun, Elang yakin dia akan berhasil malam ini. Bukan tentang menangnya, tapi tentang cara ia melepaskan diri dari rencana jahat yang tengah Kito rancang untuk melukainya.

Masing-masing mesin motor dihidupkan. Hingga tiba saatnya seorang laki-laki dari pihak Kito muncul di tengah-tengah mereka. Sambil menggenggam bendera kecil di tangan kanan, laki-laki itu berseru, "Satu ..." Elang mengeraskan rahang, melirik Kito yang tersenyum sinis di balik helm full face yang dikenakanannya. "Dua ..." Aura mencekam semakin terasa. Langit pekat terasa semakin gelap saat deru motor terdengar bersahut-sahutan. Layaknya singa dalam kandang yang menunggu untuk dilepaskan, keduanya kini sama-sama menatap lurus ke depan. Hingga pada detik berikutnya, bendera kecil di tangan laki-laki itu diangkat tinggi-tinggi untuk kemudian ditarik bersamaan dengannya yang menyeru lebih kencang, "Tiga!" dan perlombaan resmi dimulai.

Keduanya lantas melajukan motor dengan kencang. Melintasi aspal yang tak berlubang dengan mata yang terus fokus ke jalan. Awalnya Kito yang memimpin pertandingan, tertawa sadis begitu mengetahui bahwa Elang jauh tertinggal di belakang.

Bulan separuh yang tadinya bersinar tenang, kini perlahan-lahan mulai tertutupi awan. Langit Jakarta kembali diselimuti oleh awan hitam. Lantas memperdengarkan bunyi gemuruh layaknya ombak yang menderu di bibir pantai. Nampaknya, malam ini takdir baik berpihak kepada orang baik. Di antara embusan angin yang bercumbu rayu dengan dinginnya kulit, Elang berhasil menyusul Kito untuk kemudian menang di akhir perlombaan.

Di sana Charlie berteriak senang, lalu melenguh lega saat mengetahui Elang kembali dalam keadaan baik-baik saja. Tak butuh waktu yang lama untuk Charlie berlari ke arah Elang yang saat ini terlihat melepaskan helm dan menyugar rambut tak lagi kering dengan tangan kanannya. "Syukur alhamdulillah lo selamat, Bro," ucap Charlie sambil memeluk Elang sekejap.

"Gue bilang juga apa. Kito itu emang berbahaya. Tapi dibanding gue, dia sama sekali gak ada apa-apanya," timpal Elang berlagak sombong yang dibalas dengan tawa ringan.

Sementara di dekatnya, lelaki yang tengah dibicarakan itu tampak memberikan tatapan tajam. Menggunakan telunjuk tangan, ia memberi kode singkat kepada salah satu temannya untuk menyerahkan amplop cokelat berisi uang kepada Charlie.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now