45. Pulang dan Kekacauan

128 18 0
                                    

Hari ini Rania mencoba mencari sensasi baru untuk hatinya. Usai diporak-porandakan semalam, kini Rania ingin menatanya kembali dengan rapi. Rania akan membuang apa yang sepatutnya dibuang. Menempatkan cerita masa lalu di tumpukan yang jarang disentuh, dan meletakkan perasaan sayang yang besar di tempat teratas. Hingga sampai detik ini, Rania bersyukur lega. Semua masih baik-baik saja.

Tengah asyik memfokuskan mata pada layar ponsel yang menyala, Rania dikagetkan dengan pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Dari luar, Rania bisa melihat kemunculan sosok Luna. "Rania, kamu Bunda tinggal sebentar gapapa, ya? Bunda mau meeting dulu. Tapi kalau kamu bosan, kamu boleh pulang duluan, kok."

Rania tersengih dan menganggukkan kepala. "Nanti kalo Rania pulang, Rania bakalan kabari Bunda."

Tanpa membalas lagi, Luna langsung menghilang dari jangkauan mata. Terlihat jelas bahwa wanita itu sedang sibuk sekali. Maka Rania memutuskan untuk tidak langsung pergi. Dia masih ingin bersantai di ruangan kerja Bunda.

Pagi tadi Rania merengek kepada Luna untuk dibolehkan menemaninya pergi ke butik. Namun, Luna melarang dengan mengatakan bahwa duduk seharian di butik hanya akan membuatnya bosan. Apalagi hari ini dia memiliki banyak jadwal penting dengan kliennya.

"Gapapa, Bun. Rania sendirian di ruang kerja Bunda juga bisa, kok," ucapnya waktu itu. Setelah melewati beberapa perdebatan kecil lainnya, alhasil Rania diberikan izin.

Namun, ini sungguh di luar dugaan. Belum dua jam Luna meninggalkannya, Rania telah kesepian. Dia menghela napas, lalu meregangkan tulang-tulang. Mungkin dengan membeli minuman di kafe sebelah akan membunuh semua rasa jenuhnya.

Jika sedang mengunjungi butiknya bunda, maka wajib bagi Rania untuk mampir ke Aluna's Café. Ini adalah sebuah gerai kopi sederhana yang diapit oleh banyak bangunan tinggi di sekitarnya. Tempat ini memiliki konsep yang begitu klasik dan tidak berlebihan. Mereka menjual berbagai aneka minuman kopi lengkap dengan beberapa jenis kue dan makanan ringan lainnya. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, Rania tidak bisa mencegah mulutnya untuk berdecak kagum berulang kali. Bau kopi dari mesin grinder , musik yang mengalun merdu dari pengeras suara di sudut ruangan, membuat Rania betah berlama-lama di sana.

Cahaya matahari menembus dinding kaca dan menyinari ubin tempatnya menginjakkan kaki. Sepagi ini Aluna's Café masihlah sepi. Rania langsung menuju ke seorang barista dan menyebutkan pesanannya. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya segelas kafelate telah tersaji di depannya.

Rania mengambilnya setelah meletakkan uang di atas meja. Dia mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke butik sang bunda.

Sambil berjalan keluar kafe, tanpa sadar Rania bersenandung pelan. Dengan segelas kafelate di tangan, maka Rania akan mengatakan bahwa ini bukanlah pagi yang membosankan. Dia hanya perlu bersabar hingga Luna mempunyai waktu sebentar, lalu mengajaknya pergi makan di luar. Saat ia tengah larutnya berpikir nama-nama restoran yang ingin dikunjungi bersama bunda, Rania mendengar derap kaki berlarian dari arah belakang.

Awalnya Rania berencana untuk mengabaikan saja. Toh, mempercepat langkah agar bisa bersantai di ruang kerja bunda jelas lebih menyenangkan daripada harus mengurusi hidup orang. Namun tidak jika pemilik derap langkah itu berteriak dan memanggil namanya.

Otomatis kedua kaki Rania berhenti melangkah. Dia berbalik untuk mencari tahu siapakah yang berkepentingan dengannya sepagi ini sehingga harus mengejar dan berteriak memanggilnya. Namun, saat tubuhnya belum sempurna berputar dan matanya belum jelas melihat akan sosok di depannya, perasaannya berguncang hanya karena orang tersebut langsung mendekap tubuhnya.

EPIPHANYWhere stories live. Discover now