30. Jangan Benci Aku

151 18 0
                                    

Hawa panas jelas masih terasa. Entah itu dari langit yang bersih dari awan, ataupun dari pertanyaan Rania barusan. Keheningan mendadak tercipta di antara mereka. Di antara banyak pekerjaan, Elang lebih memilih untuk bersandar pada pohon ketapang seraya menutup mata menggunakan lengan. Laki-laki itu menelan ludah, membuat sedikit pergerakan kecil pada lehernya yang tidak dapat Rania lewatkan sama sekali.

"Elang, jawab," pinta Rania sekali lagi. Kedua alisnya hampir saja menyatu karena menahan rasa penasaran untuk sekian banyak waktu.

"Apa?" Ah, laki-laki itu akhirnya mau menatapnya. Dengan wajah lebam yang membuat mulut meringis kala melihatnya, Elang memberikannya sorot mata polos.

"Apa yang terjadi? Kenapa Fiki marah banget dan nonjok muka kamu kaya tadi, Lang?" Rania mengulang pertanyaannya dengan sangat sempurna. Dan sampai detik berikutnya, Rania memberanikan diri untuk menyentuh sudut bibir Elang, tepat pada lukanya yang seketika membuat si lelaki meringis pelan. "Ini ... kamu gak nyembunyiin sesuatu dari aku, 'kan?"

Namun, Elang memalingkan muka dengan cepat. Entah dirinya sadar atau tidak, tapi yang pasti Rania merasa bahwa Elang tengah menghindari bersitatap dengannya. "Bukan apa-apa, Ran. Cuma masalah sesama cowok," jelas Elang dengan harapan kalau Rania akan berhenti menanyainya.

Tapi untuk saat ini Rania tiba-tiba saja menderaikan tawanya. Tangan yang menggantung beberapa saat pun dibiarkan jatuh ke dalam pangkuan. Rania tak lagi menatap Elang bahkan ketika laki-laki itu mendadak memandanginya dengan wajah heran. Pandangan si perempuan malah jatuh ke arah lapangan yang kosong. "Kamu emang pacar aku, Lang. Tapi sayangnya aku gak tau apa pun tentang kamu. Kamu emang terlihat dekat sama aku. Tapi dalam satu waktu, aku merasa kalo kamu juga begitu jauh. Bahkan sesekali aku juga kaya gak pernah mengenali kamu." Lantas tawa tak bersahabat itu kembali terdengar. Dari cara Rania yang terlihat jelas menolak untuk menatap lagi ke arah Elang, membuat laki-laki itu paham bahwa gadisnya itu juga tengah berada pada puncak amarahnya.

"Oke, Lang. Kali ini aku gak bakalan marah-marah ataupun maksa kamu buat bicara. Tapi aku mau kasih tau kamu satu hal," Rania bangkit, menyapu debu yang menempel pada rok abu-abu miliknya, "selamat, Elang Angkasa. Kamu berhasil buat aku kecewa."

Dan tubuh itu perlahan menjauh. Elang menatapnya, membiarkannya hingga gadis itu tak lagi bisa disentuh. Sebuah fakta yang baru Elang sadari. Bahwa 'pasrah' Rania terlihat lebih mengerikan daripada marahnya. Sebuah kecewa yang elengan, yang tanpa sadar membuat Elang menggepalkan tangan.

"Elang, Rania mana?"

Entahlah. Pertanyaan Kayla juga dibiarkan begitu saja. Elang hanya ingin tahu satu hal yang lainnya, apakah nanti Rania masih ingin berbicara dengannya?

* * *

Tepat pukul 3 siang, bel kembali dibunyikan. Sepeninggal Pak Jovan sesaat setelah mengingatkan mereka untuk mengerjakan PR, Kayla buru-buru berdiri. Gadis itu juga memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan gerak cepat, menimbulkan suara berisik yang seketika membuat Rania menoleh ke arahnya. "Kenapa, sih, buru-buru amat? Kebelet lo, ya?" tanya Rania asal saja. Namun, dirinya tidak menyangka bahwa Kayla akan menganggukkan kepala.

Sekilas menatap Rania, Kayla menjawab dengan suara pelan seraya meringis, "Iya, Ran. Duluan, ya." Si kacamata itu segera bergegas pergi, berlari tepatnya. Dia meninggalkan Rania yang masih duduk pada kursinya. Alhasil, Rania hanya bisa menghela napas lelah.

"Punya temen gini amat," gumamnya, lalu melangkah ke arah kelas. Namun, belum pun dirinya meninggalkan ruangan yang telah kosong tanpa ia sadari, seseorang lebih dulu masuk ke dalamnya. Rania berhenti, sontak tangannya tiba-tiba memegang erat pinggiran meja.

"Nia, dengerin aku dulu, ya," pinta sosok itu dengan wajah memelas.

Jika dulu Rania mungkin akan goyah. Namun, hari ini dia tak lagi bisa dibodohkan. Rania jelas masih sakit hati atas perlakuan cowok itu kepadanya. "Enggak. Gue mau pulang," ketus Rania, lalu berjalan lebih dulu. Namun, selangkah ia melewati tubuh itu, lengannya lekas ditarik.

"Pergi, Raka!" teriak Rania dengan berani. Suaranya menggelegar, lalu menyisakan hening untuk beberapa saat ke depan.

"Ya ...." Raka masih memelas. Dia tak gentar walau Rania telah meneriakinya seperti tadi. "Aku tau kalau aku salah. Aku udah kasar sama kamu. Aku akui itu, Ya. Tapi kali ini izinkan aku untuk dapat maaf kamu. Aku janji gak bakalan ngulangin itu lagi." Dia mengutarakannya dengan begitu sempurna. Suaranya tak goyah apalagi bergetar. Tatapannya sendu, jatuh pada manik Rania.

"Gue gak mau deket-deket sama lo lagi. Asal lo tau, Raka, gue nyesel karna udah pernah kagum sama lo," kata Rania dengan suara rendah.

Raka menggeleng tak percaya. Astaga, hatinya nyeri ketika Rania mengeluarkan kalimat seperti itu. Sungguh, kemarin itu di luar kendalinya. Raka sama sekali tak sadar saat menampar Rania. Dia hanya marah. Dia hanya tak suka saat Rania mengungkit kembali tentang Tania. Lantas laki-laki yang satu ini tak ingin kehabisan cara. Dia mendekati Rania, berkata, "Tampar aku kalau kamu mau, Ya. Aku rela. Aku pantas--!" Raka kaget bukan main. Kalimatnya terputus. Suara tamparan yang menggelegar serta pedih pada area pipinya, membuat Raka sadar bahwa Rania benar-benar tak ingin bercanda dengan marahnya. Rania telah membalasnya dengan bahagia. Dia menampar Raka. Ya, walaupun sakitnya tak sebanding, tapi tetap saja Rania puas.

Kontan Rania melangkah tanpa ingin berbasa-basi lebih banyak. Pada saat selangkah hampir mendekati pintu, Rania lagi-lagi dikagetkan dengan tubuh lain yang terlihat menyandarkan bahunya pada pintu. "Elang, aku ...." Ah, sial! Rania tergagap di saat dirinya hendak menjelaskan. Hingga pada detik berikutnya, dia dibuat heran karena Elang tiba-tiba saja menepuk puncak kepalanya. Sebentar! Ini artinya ... Elang tidak marah, bukan?

Dan ... ya! Tentu saja tidak! Elang tersenyum lebar hingga membuat sipit kedua sudut matanya. Dengan bangga ia berkata, "Keren! Gue gak nyangka kalo lo akhirnya bisa tegas sama dia. Thanks karna udah ngehargain perasaan gue."

Masih dalam keadaan syok, akhirnya Rania hanya mengangguk patah tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan dirinya masih diam, lalu mengikuti Elang dengan telapak tangan yang digenggam.

Sepeninggal keduanya, tinggallah Raka seorang diri di sana. Detak jarum jam terdengar jelas. Gemersik angin serta ranting-ranting pepohonan yang bergesekan dengan atap juga dapat ia rasakan. Saking sunyinya, Raka juga seakan bisa mendengar tiap detak jantungnya yang bertalu kencang. "Nia," gumam Raka sekilas mengusap tempat bekas tamparan Rania, "gimana? Aku udah sayang sama kamu."

Raka tertawa getir di antara ribuan kecaman rasa sakitnya. Jika diperhatikan lebih dekat, maka dengan jelas akan dapat terlihat genangan kecil pada sudut kiri matanya. Bukan! Bukan karena tamparan itu, tapi ini tentang Rania yang pergi tanpa sekali pun mau menoleh ke arahnya. Raka ditinggal sendiri, lagi.

"Aku cuma mau sayangi kamu, Ya. Tiap liat kamu, aku selalu keinget Tania. Aku mau nebus semua kesalahan aku ke dia melalui kamu. Please, Ya, jangan benci aku."

* * *

EPIPHANYDove le storie prendono vita. Scoprilo ora