43. Si Tangan Penghancur

162 14 4
                                    

Rania terlihat menetengi kantong belanjaan. Dirinya baru saja kembali dari supermarket. Sambil berjalan pulang, ia bersenandung untuk mengusir rasa bosan. Sapuan angin menerpa kulit wajahnya secara perlahan. Tak lama setelahnya, Rania merasakan sesuatu menetesi tubuhnya. Ia mendongak dan menemukan beberapa tetes air lainnya jatuh dari awan. "Hampir hujan. Gue harus bergegas," gumamnya seraya menambah kecepatan langkah.

Namun, sekilas Rania mendengar suara sol sepatu dari arah belakang. Suara itu mengarah ke arahnya dengan tergesa. Saat Rania mencoba berhenti, suara itu juga ikutan menghilang. Dengan mudah Rania menyimpulkan bahwa seseorang sedang mengikutinya.

Alhasil, pikiran-pikiran buruk pun mulai bermunculan. Apakah dia penjahat, pembunuh, atau psikopat? Rania belum berani memutar tubuh. Takut kalau orang itu membawa senjata lalu menebas lehernya.

Hingga saat setelahnya, Rania merasakan sesuatu menyentuh pundaknya. Orang itu tidak menyakiti, tapi tetap saja Rania merasa tak aman. Wajahnya memanas, menjalari seluruh tubuhnya. Dia ingin berlari, tapi kakinya terlalu sulit untuk diajak kompromi. Dengan tubuh bergetar ketakutan bersama peluh yang mulai menetes, Rania menoleh sedikit dan mendapati tangan laki-laki lah yang memeganginya.

"Siapa?" tanya Rania dengan suara bergetar.

"Aku." Rania kaget begitu mengetahui bahwa suara itu tidak asing lagi di telinganya. "Aku pulang, Rania."

Kedua mata Rania kontan terbuka. Dia menatap ke segala arah dan menemukan dirinya masih berada di dalam kamar. Buru-buru Rania mengganti posisi tidurnya menjadi duduk. Dengan tangan bergetar, Rania mengusap wajahnya perlahan. Napasnya masih berderu tidak beraturan saat ia meyakini bahwa tadi itu hanyalah mimpi.

Tiap potongan yang terasa begitu nyata, membuatnya menjadi mimpi yang paling sempurna. Rania memejamkan mata, berusaha menenangkan diri dari gejolak perasaan aneh yang muncul seketika.

"Bang Vernon pulang?"

* * *

Telah menjadi kebiasaan bagi Elang untuk menyugar rambutnya ketika melepaskan helm. Sama seperti saat ditepuk kepala, maka untuk gerakan yang ini Rania juga menyukainya. Baginya, Elang akan terlihat semakin tampan ketika jemari lentiknya bermain di sela-sela rambut. Dengan berlatarkan bangunan sekolah tiga lantai, Elang mengambil helm di tangan Rania untuk diletakkan di dasbor motornya. "Kuy," ajak Elang sambil menggerakkan dagunya sekali.

"Bentar, Lang," cegah Rania saat Elang hendak melangkah melewatinya. Saat ini, Rania menemukan sesuatu yang aneh pada Elang. Dengan kening terlipat, Rania selangkah maju mendekatinya. Rania menelisik pipi kiri Elang dengan mata menyipit, tepatnya ke arah plester berwarna cokelat yang menempel erat di sana.

"Itu pipi kenapa? Kamu luka lagi, Lang?"

Sejenak Elang menyentuh bagian yang ditatap Rania dengan jarinya. Detik berikutnya seutas senyuman terkulum manis di bibirnya. "Ini bekas dicium pacar semalam. Niatnya, sih, mau gue jaga."

Sontak Rania membulatkan mata seusai Elang berbicara. Apa tadi? Dia tidak salah dengar, 'kan? Wajah Rania bersemu merah pada waktu yang sama. Ini sungguh memalukan! "Kamu apa-apaan, sih?" Rania memukul lengan Elang tanpa ampun, "malu-maluin tau gak?"

Elang mundur, menghindari Rania yang terus-terusan melayangkan tinju pada lengannya. "Gue yang dicium malah biasa aja. Kenapa kudu malu coba?"

EPIPHANYNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ