41. Kejutan Malam Hari

136 16 0
                                    

"Ran, ntar malem sibuk gak?"

Rania yang tengah membereskan alat tulis untuk dimasukkan ke dalam tas menjawab, "Enggak. Mau ke rumah, ya?"

Kayla mengangguk sambil melukiskan senyum lebar di wajahnya. "Iya. Bosen di rumah."

"Fiki, 'kan, ada. Ajak jalanlah, Kay," usul Rania seraya menyampirkan tas pada bahu kanannya. Lantas, keduanya jalan bersisian. Tak lupa pula berpamitan pada satu dua teman yang masih berada dalam kelas.

"Malam ini dia gak bisa. Katanya ada kerjaan bareng Elang." Kayla tampak menaikkan kacamata yang sempat turun hingga ke ujung hidungnya. Padahal mereka baru berjalan sebentar, tapi Kayla terdengar menghela napas lelah.

Rania menoleh dan menemukan tampang Kayla yang kusut kasau. Dia bertanya, "Kenapa, Kay? Muka kaya baju belum disetrika aja."

"Gue kesel sama Fiki, Ran. Kesel banget, deh, pokoknya," adu Kayla setengah merajuk. Dia terlihat menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Seolah tengah memberi tahu bahwa apa yang dia rasakan saat ini memang benar adanya. "Akhir-akhir dia sibuk banget. Tiap gue telpon pasti bakalan ngomong gini, 'bentar, ya. Aku lagi sama Elang', atau, 'nanti, ya. Lagi sibuk banget ini'. Sebenarnya pacar dia itu gue atau Elang, sih, hah?!"

"Elo lah, Kay. Kalo Elang itu pacar gue," sahut Rania tak habis pikir dengan pertanyaan konyol dari Kayla.

"Tapi kenapa tiap gue butuh dia, dia lebih mentingin Elang daripada gue?"

Kali ini Rania tertawa. Bahkan dia harus berhenti berjalan hingga membuat Kayla juga melakukan hal yang sama. Glabela si gadis berkacamata bergelombang kecil demi melihat dan mendengar derai tawa Rania. Bingung, entah apa yang Rania tertawakan sementara dia sama sekali tidak menemukan sesuatu yang lucu dari pertanyaannya.

"Jadi--" napas Rania tersengal karena tertawa kencang terlalu lama, "--lo cemburu sama Elang? Astaga ... ada-ada lo, Kay. Kok, bisa, hm?"

Seketika ekspresi Kayla berubah pias. Dia memberengut tak terima. Dengan cara bicara yang tak santai, Kayla membalas, "Enak aja. Gue gak cemburu. Gue cuma kesel, Ran. Garis bawahi, 'kesel' bukan cemburu."

"Enggak, cemburu itu," timpal Rania tak mau mengalah. Membuat Kayla menggurutu, lalu melanjutkan langkahnya. Rania menggeleng pelan, mengejar ketertinggalan hingga akhirnya ia kembali berjalan di sebelah Kayla. "Gue akui kalo akhir ini mereka emang sibuk banget. Gue juga gak tau kenapa dan gue emang gak mau tau. Lagian biarin aja, sih. Gue, 'kan, ada. Kita juga bisa 'sibuk' kaya mereka, 'kan?"

"Iya," angguk Kayla, "makanya malam ini gue mau main ke rumah lo. Awas kalo sampai Fiki nelpon, gue bakalan jawab, 'Maaf, ya, Ki. Gue lagi sibuk ini'."

Sial. Rania harus benar-benar mengontrol diri untuk tidak tertawa lepas seperti tadi. Apalagi saat mendengar irama yang dibuat-buat pada akhir kalimat Kayla, membuat perut Rania sakit karena harus menahan derainya.

Tak lama kemudian, Kayla pamit ke toilet. Rania sempat menawarkan diri untuk menemani, tapi gadis berkacamata itu menolaknya. Baiklah. Rania melanjutkan langkah ke parkiran. Mengobrol sepanjang koridor dengan Kayla, pasti membuat Elang menunggunya dengan lama di sana.

Namun, niat itu kembali diurung. Rania melupakan Elang yang mengomel tak jelas di samping motornya hanya karena melihat secarik kertas hitam yang tertempel rapi pada mading. Rania melangkah lebih dekat. Di dalam kaca sana, dia bisa melihat lebih jelas sebuah puisi yang ditulis dengan pena bertinta putih.

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang