39. Yang Patah Pagi Hari

147 11 2
                                    

Rania tidak percaya bahwa hari ini dia menjadi anak dalam artian yang sesungguhnya. Pagi-pagi sekali dia dibangunkan oleh alarm. Tanpa Luna, dia diharuskan untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya sendiri. Dia tak ingin jika bunda pulang, rumah masih berantakan. Rania harus mau lelah lebih lama lagi. Karena setelah mencuci pakaian, menyapu rumah, menyiapkan sarapan untuk bunda sekaligus mengantarkannya ke butik, dia masih mempunyai satu pekerjaan lagi.

Ke rumah Elang.

Sebenarnya Rania senang sekaligus kesal dengan pekerjaan yang satu ini. Senangnya karena Elang menginginkan kimbab buatannya. Tapi kesalnya, kenapa Elang harus menyusahkan dirinya dengan datang ke rumah laki-laki itu?

Sebelum memutar kenop pintu, Rania lebih dulu mengeluarkan handphone untuk mengecek tampilan wajahnya. "Bedak masih ada, lipstik masih bagus. Intinya gue masih cantik." Rania tertawa cekikikan karena ucapannya barusan. Ah, memuji diri sendiri tidaklah menjadi sebuah kesalahan, bukan?

Setelahnya Rania menunduk guna melepaskan sepatu yang dia kenakan untuk diletakkan di atas rak yang terdapat pada sudut teras. Namun, detik itu juga Rania dibuat bingung oleh salah satu sandal perempuan yang tergeletak di samping kakinya. Alis Rania kontan menyatu, berpikir. Mungkinkah lagi ada tamu di dalam sana? Karena Rania tahu betul, rumah ini adalah milik dua orang laki-laki. Elang dan papanya.

Rania mengangkat kedua bahu dalam waktu singkat. Berusaha mengabaikan tentang pikiran bodoh yang tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Bisa-bisanya dia berpikir bahwa Elang tengah berduaan dengan perempuan lain di dalam sana. Ingatkan Rania untuk meminta maaf kepada Elang karena pikirannya barusan.

Kenop pintu diputar ke bawah. Perlahan, Rania pun mendorongnya hingga terbuka. Langkah yang awalnya santai menapaki lantai rumah, mendadak terhenti begitu saja. Bibir Rania sedikit terbuka dengan kerutan halus yang bermunculan di sekitar dahinya. Rania tak percaya akan apa yang dilihat oleh netranya. Maka setelah ini, tolong ingatkan Rania sekali lagi. Bahwa dirinya sama sekali tidak perlu untuk meminta maaf kepada Elang.

"Kalian ngapain?"

Terlihat jelas dua orang di depan sana tersentak kaget hanya karena pertanyaan singkat darinya. Cepat-cepat Elang melepaskan tangan yang awalnya masih memegang kedua bahu Viola, lalu mendorong gadis itu agar menjauh darinya.

"Ra-Rani-a?" Suara Elang terdengar patah karena gugup. Tak lama setelahnya, dia berlari menghampiri Rania. Tanpa Rania sadari, tahu-tahu Elang telah memegang tangannya erat-erat. Sorot mata laki-laki itu jelas memperlihatkan binar ketakutan. "Jangan salah paham dulu sama apa yang lo liat barusan."

Ah, bukan. Bukan Elang yang menjadi titik fokusnya sekarang. Viola, dia yang awalnya terisak, kini perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Saat tatapannya dengan Rania bertembung, Viola kembali menangis. Pun dengan langkah pasti, Rania melepaskan tangan Elang darinya. Dia mendekati Viola dan berdiri tepat di depannya. "Kenapa?" Rania bisa bertanya dengan jelas tanpa terbata sedikit pun. Tapi jangan tanyakan tentang perasaannya saat ini.

Jantung Rania berdetak tidak tentu. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Rania marah? Jelas! Kalau tidak ingat bahwa dirinya masih mempunyai urat malu, maka bisa saja saat ini tangannya telah menjambak rambut Viola hingga terlepas dari kepala.

"Sorry, Rania. Gue gak sengaja." Begitu ucap Viola dengan tangis yang hampir reda.

Rania menutup matanya rapat-rapat. Dia menarik napas, lalu mengembuskannya. Setelah tenang, Rania berkata, "Lo boleh pergi."

"Hah?!"

"Iya. Lo boleh pergi," ujarnya dengan yakin. Sedetik setelahnya Viola terperangah tak percaya. Namun, detik berikutnya dia mengangguk, lalu bergegas minggat dari hadapan Rania. Saat bersitatap dengan Elang berdiri tak jauh dari Rania, Viola berkata dengan suara lirih, "Sorry. Gue janji bakalan jelasin semuanya ke dia."

Elang hanya mengangguk. Dia pasrah akan keadaan yang tengah terjadi. Lebih-lebih dirinya harus rela dan ikhlas, jika Rania marah hingga dirinya tak dapat memakan kimbab buatan Rania.

"Ran." Ragu-ragu Elang memanggil. Suaranya halus sekali. Dua menit Elang menunggu, tapi Rania tak kunjung memutar badan. Karena khawatir, Elang pun menghampiri Rania dan berdiri di hadapannya. Namun, hati Elang mencelus kaget. Dunianya seakan runtuh saat akhirnya dia tahu bahwa gadis ini tengah berurai air mata.

Elang sungguh merasa bersalah. Melihat Rania yang terisak dengan kedua mata sempurna memerah, ia kalut. "Astaghfirullah," ucap Elang sambil memegangi dada, seolah jantungnya akan ikut loncat begitu mendengar isak tangis Rania, "jangan nangis, Rania."

Isakan itu bukannya berhenti, tetapi malah semakin kencang. Pada saat Elang hendak menyentuh bahu Rania, gadis itu mundur secepat kilat. Dia menatap Elang tajam, marah. "Jangan sentuh aku," desis Rania yang membuat Elang tercenung lima detik lamanya.

Melihat Rania yang menolak dirinya, sedikit banyak membuat ruang hatinya terasa kosong, hampa. Elang ingin marah dan berkata bahwa dirinya tidak bersalah, tapi tentu saja percuma. Rania yang ini sungguh berbeda. Namun, sialnya Elang semakin menyayanginya.

"Aku mau pulang." Rania lantas berbalik, melangkah cepat. Tapi dia lupa bahwa ada yang lebih cepat dari kegesitan langkahnya. Tangannya serasa ditarik, membuat badannya ikut-ikut terseret ke belakang. Sebelun Rania paham akan situasi yang tengah terjadi, Rania dikagetkan dengan lengan-lengan berurat yang melingkari pinggangnya. Dan pada saat sesuatu terasa menekan bahunya, Rania kontan melupakan cara untuk bernapas.

Keduanya terdiam dalam posisi demikian. Keduanya larut dengan susunan kata yang muncul dalam kepala masing-masing. Rania ingin melepaskan diri, tapi tak sanggup untuk berkata. Elang berhasil mematahkan semua amarahnya. Elang juga berhasil menghilangkan separuh tenaga pada kedua kakinya. Karena jika Elang melepaskan dekapannya, akan dapat dipastikan bahwa Rania akan ambruk detik itu juga.

Maka, selain lupa untuk bernapas, Rania juga lupa bahwa tadi dirinya tengah menangis. Kini jangankan derai air mata, terisak pun tidak. Elang benar-benar membuat kacau dalam hal yang menyenangkan.

"Gue gak salah. Gue gak meluk Viola. Dia duluan yang meluk gue, Ran."

Tak dapat dicegah, alhasil semua bulu kuduk Rania berdiri tegak. Suara Elang yang lirih dan terkesan penuh dengan keputusasaan, kontan membuat Rania memejamkan mata rapat-rapat.

"Gue mohon jangan marah, ya. Gue udah mau menjauh, sumpah. Tapi waktu ngeliat dia nangis sesegukan, gue kasian. Karna mau bagaimanapun, Viola itu tetap teman gue. Dia baik, Ran. Lo tau sendiri kalo cuma dia di kelas yang suka kasih jawaban ke gue pas ulangan."

Relung hati Rania bergetar. Keringat sebesar biji kopi mengairi pelipis hingga turun ke lehernya. Rania hanya menelan luda saat Elang meletakkan dahi pada bahunya. Ah, seharusnya Elang tidak melakukan itu. Rania tengah berkeringat dan itu terlihat jorok. Tapi kenapa laki-laki itu seakan ingin terus menempel dengannya.

"Elang," cicit Rania dengan suara tertahan, "lepas."

Di belakangnya Elang menggeleng keras-keras. Dia semakin melekat, lalu mempererat tangannya. "Janji dulu kalo lo gak akan marah lagi."

"Iya, janji. Aku gak akan marah lagi."

Elang hampir bersorak senang. Dengan senyum yang merekah lebar, dia kontan melepaskan tangan lalu memutar tubuh Rania secepat yang dia bisa. Membuat gadis manis di depannya ini terhuyung pelan. "Janji dulu kalo setelah ini lo tetap akan buatin gue kimbab."

Rania menghela napas, memutar bola matanya malas.

Astagaa ....

* * *

EPIPHANYWhere stories live. Discover now