TIGA PULUH LIMA

115 9 0
                                    

Malam harinya Ria masih setia disana, dia sudah meminta ijin kepada ayahnya dan akan pulang setelah acara tahlilan selesai. Didapur Ria sedang membuatkan teh hangat untuk Pandu. Bi Inah, asisten rumah tangga disana yang penasaran tentang Ria berjalan mendekatinya.

"Eneng pacarnya Den Pandu ya?"

"Doain ya Bi." Jawab Ria sambil tersenyum.

"Den Pandu gak pernah bawa perempuan ke rumah. Baru eneng yang diajak kesini."

"Sok tau bibi, masak iya baru aku yang main kesini." Balas Ria sambil menuangkan air panas.

"Dibilangin gak percaya mah sih eneng. Bibi mah yakin, Den Pandu pasti ada rasa sama si eneng."

"Doain aja ya bi." Ucap Ria sambil mengaduk tehnya.

"Kalau emang beneran mah, eneng beruntung atuh. Meskipun diluar Den Pandu nakal, aslinya mah dia baik dan lembut pisan."

Ria mendengarnya dengan diringi senyum.

"Eneng mah kalau udah sama Den Pandu, jangan berpaling. Jaga perasaannya, Den Pandu mah orangnya baik." Nasehat Bi Inah.

"Iya Bi. Aku ke atas dulu ya." Pamitnya diringi senyum

Ria berjalan sambil tersenyum-senyum sendiri.

Di balkon lantai dua, Pandu masih setia duduk disana sambil menghadap jalanan. Ria yang datang langsung meletakkan tehnya di meja dan duduk dikursi satunya.

"Gak bosen apa disini, masuk yuk? Ntar sakit lho, siapa yang rawat coba." Bujuk Ria

Pandu menoleh sebentar, dia tersenyum kecil menanggapinya lalu kembali memperhatikan jalanan.

"Oma meninggal karena serangan jantung, harusnya gue sebagai cucunya bisa merawatnya. Bukan tiap hari bikin oma marah dan kepikiran terus sama gue. Gue bodoh ya.. Padahal gue cuman punya oma disini. " Cerita Pandu.

"Doain aja yang terbaik buat Oma, meninggalnya seseorang itu udah takdir dan jangan menyalahkan siapapun. Rezeki, jodoh dan maut kan udah diatur semenjak kita didalam kandungan." Balas Ria sambil menggenggam tangan Pandu.

Pandu yang diperlakukan seperti itu langsung melihat tangan Ria yang berada diatas tangannya. Entah kenapa hatinya menghangat, dia membalasnya dengan meremasnya erat sambil tersenyum.

"Makasih ya." Tutur Pandu.

Ria tersenyum membalasnya.

Saat ingin berpamitan kepada papanya Pandu, beliau meminta Ria untuk duduk sebentar. Ada hal yang ingin beliau bicarakan sebentar. Ria nampak canggung duduk berhadapan dengan papanya Pandu.

"Saya Rahmad, papanya Pandu." Ucapnya memperkenalkan diri.

"Aku Ria Om." Balas Ria.

"Terima kasih untuk hari ini karena kamu bisa meluangkan waktu untuk Pandu."

Ria tersenyum menanggapinya.

"Saya belum bisa menjadi orang tua yang baik untuk Pandu. Semenjak mamanya meninggal saya jarang memperhatikannya karena kesibukan saya. Jadilah dia yang seperti ini hingga saya berfikir ini semua karena kesalahan saya. Dia hanya tinggal bersama neneknya. Bahkan kasih sayang dari neneknya lebih banyak dia dapatkan dari pada kasih sayang dari saya. Kepergian neneknya pasti membuatnya sangat terpukul. Bahkan saya bingung bagaimana saya mulai berbicara dengannya saat saya bersamanya."

Ria yang mendengarnya merasa kasihan. Om Rahmad sebagai orang tuanya Pandu namun terasa seperti orang asing jika bersama putranya.

"Saat saya pulang, saya selalu menyempatkan waktu bersamanya. Tapi mungkin karena terbiasa tanpa kehadiran saya dirumah ini, respon yang dia berikan ketika saya mengajaknya berbicara begitu singkat. Mungkin hanya kata iya atau tidak. Pernah neneknya melihat kami yang begitu jauh meskipun bersama. Sampai akhirnya beliau ikut bergabung dan mencairkan kecanggungan diantara kami. Selepas kepergiannya, saya bingung siapa nanti yang akan menggantikan posisinya."

Entah kenapa mata Ria mulai berkaca-kaca mendengarnya.

"Saya berharap sama kamu. Semoga dengan keberadaan kamu bisa mengubah Pandu bisa dekat dengan saya. Bisa memulai obrolan dengan saya tanpa harus saya yang memulai. Bisa bercerita sesuka dia tanpa harus ada neneknya. Dan semoga bisa menyayangi saya seperti dia menyayangi neneknya."

Air mata Ria akhirnya jatuh. Meskipun tanpa isakan, namun tenggorokannya terasa sakit. Om Rahmad yang terlihat sibuk dan mementingkan pekerjaannya tetapi sebenarnya dia begitu menyayangi putranya. Tanpa sepengetahuan mereka, Pandu mendengarkan semuanya. Mendengar apa yang sebenarnya papanya rasakan selama ini hingga melihat air mata Ria yang mengalir. Kenyataan yang harus dia dengar, papanya merasa bersalah dengan perubahan Pandu yang sekarang dan bingung ingin berbicara apa saat bersamanya. Pandu merasa bersalah setelah mengetahuinya.

RIA LOVES PANDUWhere stories live. Discover now