54. Janji di Malam Hari

Mulai dari awal
                                    

Rania bersyukur. Berkat selimut dan wedang jahe buatan Vernon, maka ia tak lagi merasakan kedinginan. Tegukan demi tegukan ia telan. Kecanduan menyesap habis semua bau jahe yang bercampur dengan gula merah itu. Namun, untuk detik kedepannya rasa manis dan hangat itu hilang mendadak hilang seketika. Tepat saat Vernon membuka suara dan bertanya, "Di sekolah kamu gimana sama Elang?"

Rania terdiam beberapa saat lamanya. Spontan saja ia menunduk, menatap ujung jari kakinya yang tertekuk kuat. "Um, gak gimana-gimana."

Detik itu juga Vernon menoleh dengan kerutan di dahi yang terlihat jelas. "Lho, kalian, 'kan, udah kenalan kemarin. Masa pas ketemu masih gak saling ngobrol? Emangnya Elang cuek banget, ya, di sekolah?"

"Um, maybe. Soalnya Rania juga gak berani ajak dia ngobrol. Jadi gak sepenuhnya Elang yang salah, sih, Bang." Rania memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Benar, ini memang bukan sepenuhnya salah Elang. Rania juga salah. Dia berbohong. Berlakon seolah dia dan Elang baru saja saling mengenal.

"Eh, Rania." Vernon memanggil dengan antusias. Dia bahkan meletakkan gelasnya di atas meja, lalu menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah gadis yang masih merasa gentar untuk menatapnya. Tampak senyum merekah menghiasi bibirnya. Indah. "Kamu kenal pacarnya Elang gak? Karna seingat Abang, Elang pernah ngomong kalo dia itu punya pacar."

Kedua tangan Rania bergetar. Jantungnya berdegup kencang. Hawa dingin yang sempat hilang, kini kembali datang. "Em, Rania gak kenal sama pacarnya Elang, Bang. Bahkan Elang jalan sama cewek aja Rania gak tau tuh." Bohong. Bahkan semua rintik hujan di luar sana pun tahu bahwa dialah satu-satunya gadis yang selalu dipegang tangannya oleh Elang.

"Yah ...," Vernon tampak putus asa, kedua bahunya luruh seketika, "kirain kamu tau, Ran."

Samar-samar Rania menganggukkan kepala. Dia kemudian meletakkan gelas yang sudah habis isinya ke atas meja kaca. "Kalo Abang sendiri gimana pas udah jadi barista? Enak gak?" Rania mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Beruntung siasatnya berhasil.

"Ada enaknya, ada enggaknya juga."

"Iyakah?" Rania bertanya antusias. Sedikit berharap bahwa Vernon akan menceritakan tentang pekerjaannya.

"Iya. Enaknya, sih, karna kita bisa ketemu banyak temen di sana. Bisa sharing ilmu, pengalaman, dan banyak lagi. Pokoknya kalo udah ketemu temen yang se-chesmetry itu rasanya udah beda. Dan gak enaknya kalo udah kebagian jatah buat lembur. You know lah, capek. Belum lagi kalo ada pelanggan yang suka komplain. Bilang kalo rasa minumannya gak enaklah atau tentang cara kerja kita yang kurang bersihlah. Dan yang lebih sakitnya lagi, pas ada pelanggan yang langsung minum minumannya tanpa perlu repot-repot buat liatin dulu line art yang udah kita bikin seindah mungkin buat mereka. Rasa-rasanya kaya itu gak ada harganya buat mereka."

Pertama kali dalam hidupnya, Rania mendengarkan Vernon bercerita dengan melibatkan semua emosinya. Pun untuk mengurangi sedikit marahnya itu, dia tertarik untuk mengelus punggung tangan Vernon menggunakan ibu jarinya dengan gerakan memutar. Sambil terus menyunggingkan senyum terbaiknya, ia bertanya tentang sesuatu yang jelas-jelas sudah ia tahu jawabannya. "Capek, ya?"

Vernon balas menatap Rania tanpa sedikit pun mengedipkan matanya. Lantas dirinya langsung menyadari bahwa malam ini Rania begitu terlampau manis untuknya. "Iya, banget," jawabnya dengan nada suara yang lebih rendah, "tapi Abang gak bakalan mundur, Ran. Karena dibalik itu semua, menjadi seorang barista itu nyenengin. Bisa capek dan bahagia dalam sehari. Kapan-kapan kamu dateng, ya, ke sana. Biar Abang buatin minuman paling istimewa buat kamu."

"Iya. Nanti Rania ke sana."

Baru saja dirinya selesai berkata, pada detik berikutnya ia dibuat terdiam karena Vernon tiba-tiba memeluknya. Awalnya Rania sempat kaget. Namun, tak lama setelahnya ia akhirnya bisa menguasi diri dengan sedikit kesenangan yang berangsur menjalari hatinya.

Rania bisa merasakan bagaimana hangatnya napas Vernon menyapu lembut area kulit di sekitaran lehernya. Dia bisa mendengarkan dengan jelas dan detail getaran kecil sewaktu kekasihnya itu mulai mengeluarkan suara. Katanya, "Rania jangan tinggalin Abang, ya. Sabar dulu. Abang janji akan sukses demi kamu. Abang janji akan berusaha buat terus bahagiain kamu. Abang janji akan selalu sayang sama kamu. Kamu mau nunggu Abang, 'kan, Rania?"

Rania mengembuskan napas pelan, sedikit mendorong bahu Vernon agar dirinya bisa memandangi lebih jelas raut muram lelakinya itu. Hanya perlu menunggu seperkian detik untuk Rania mengulas senyum terbaik yang ia punya. Dia merasakan cengkraman Vernon pada lengan kanannya semakin kuat. Baiknya, Rania tidak merasakan risi sama sekali.

Dari dulu sampai sekarang, Rania selalu menyadari bahwa sorot Vernon tak pernah berubah kala memandanginya. Cara menatapnya masih sama. Masih tenang dan dalam, seolah menegaskan kepada siapa saja bahwa memang Ranialah satu-satunya yang ia punya. Bahwa memang hanya gadis inilah yang menjadi pemilik hatinya.

"Abang juga harus janji satu hal lainnya sama Rania." Sekilas dia mengabaikan pertanyaan Vernon dan malah mengatakan hal lain yang mendadak muncul di kepalanya.

"Apa?"

Rania tak langsung memberikan jawabannya. Dia masih sibuk menjamah bagian wajah Vernon yang selalu tampak tenang di setiap waktunya. Rania ingin terus Vernon seperti itu. Selalu tenang, selalu damai. Dia ingin Vernon terus menjadi lautan yang kelebihannya tak bisa diterka hanya oleh mata. Dia ingin Vernon menjadi tempat berlabuh terbaik yang ia punya. "Cintai Rania secukupnya aja. Gak usah berlebihan. Rania gak sebaik yang Abang kira. Takutnya nanti Abang kecewa."

* * *

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang