Di Apartemen

354 29 3
                                    

Tak terasa sudah satu semester aku menjalani perkuliahan yang banyaknya mendekam di laboratorium dan bedah tikus bersama Sienna dan Ekida sensei di rumah sakit Setagaya.

Selama itu Sienna banyak bercerita tentang dirinya yang bekerja di Lembaga Penelitian Sains Indonesia. Dia dua bersaudara dengan adik perempuannya yang baru menikah sebelum dia berangkat ke Jepang.

Dan Anin adalah kekasih yang hampir menikah dengannya namun nahas kecelakaan lalu lintas merenggut nyawa Anin seketika itu juga. Padahal Sienna sudah berusaha sebisanya untuk melindungi Anin.
Menurutnya aku mirip sekali dengan kekasihnya yang sudah tiada itu.

Sorry to say but I’m not her and you have to face it, boy!”
Tegasku di suatu saat ketika kami baru pulang dari Setagaya.
“Lo mesti terima cewek lo udah gak ada,” kataku bersimpati.
“Ya…and thanks to you,” sahutnya sambil merangkul pundakku.

Awal musim semi di Bulan Maret masih terasa dingin meskipun tidak sedingin bulan Desember. Suhu mencapai minus lima derajat celcius di musim dingin kemarin.
Rangkulannya menghangatkanku sedikit.

“Enggak ah! Gue gak ngapa-ngapain, gak usah berterimakasih!” ujarku.
Sienna semakin mempererat pelukannya padaku. Aku pun jadi terbiasa menerima perlakuannya yang memanjakanku.

Sebegitu akrabnya kami rupanya cukup memberi Sienna keberanian untuk tinggal berlama-lama di apartemenku.
Seperti sekarang ini, dia sedang mengerjakan paper dan laporan hasil penelitiannya ditemani lagu-lagu dari playlist di diska lepasnya yang disimpan di apartemenku.

Vokal Fred Durst Limp Bizkit yang menyanyikan cover lagu Faith George Michael memenuhi ruangan tengahku.


Lama-lama mendengarkan selera musik Sienna, aku jadi terbiasa juga.
Waktu awal mendengar musik yang isinya orang teriak-teriak, otomatis kumatikan playerku.

“Gila lo! Mau bikin tetangga gue yang isinya kakek nenek pada kolaps!?” amukku padanya.
“Ya maaf, kita pelanin aja suaranya ya,” rayunya.
Ketika ku-iya-kan dia langsung memberiku coklat segitiga berwarna putih favoritku.

Kalau bosan dan penat mengerjakan paper dan laporan serta menghitung banyaknya sel hati yang mati, aku dan Sienna duduk menghangatkan diri di bawah pemanas sambil menikmati secangkir coklat hangat.
Banyak hal yang menjadi bahan perbincangan kami, dari mulai masalah penelitian kami tentang transplantasi sel hati, kehidupan pribadi, sampai ke lelucon-lelucon receh.

Kuperhatikan Sienna yang sedari tadi mengerjakan penelitian kami, kemudian dia meregangkan badannya dan mengambil cangkir coklat hangatnya lalu bergabung denganku duduk di sofa ruang tengah.

“Le!” panggilnya.
“Hm?” jawabku tanpa menoleh.
“Tebak-tebakan!”
“Hm,” aku mengangguk sembari menyeruput coklat hangatku.
“Siapa nama nyamuk?” tanyanya dengan semangat.
Pandanganku menerawang teringat Berry yang suka sekali tebak-tebakan.

“Heh! Ngelamun jorok lo! Senyuman lo mesum!” Sienna mengusap wajahku dengan tangannya.
“Cuih! Cuih! Jijay ih tangan lo asin!”
“Lebaaay! Jawab dong, cepetan!”
“Nyamuk yang tadi?” 
“Iya!” jawabnya mulai kesal.
“Namanya Mae!” tebakku asal.
“Salah! Namanya Tatang!” jawabnya.
“Kan ada lagunya…cicak-cicak di dinding diam-diam merayap, tatang seekor nyamuk!” lanjutnya sambil terbahak.

Kupikir dia kelelahan sekali setelah menghitung jumlah sel hati yang mati, sampai heboh amat ketawanya.
Di tengah riuhnya tawa kami, hp ku berdering. Dari deringnya aku tahu panggilan itu dari siapa, Sienna pun sudah hapal.

Kuberi tanda agar dia diam, ia pun memberi tanda oke dengan jarinya sambil memeletkan lidah.

“Hai hunny,” senyumnya dengan dekik imut di pipi.
“Hai bunny,” aku membalasnya dan memberi kecupan virtual.
“Gak kemana-mana hari ini?”
“Enggak, kemarin abis dari rumah sakit. Sekarang bagian ngitung-ngitungnya di rumah aja, deh.” Jawabku.

Tiba-tiba Sienna berlari ke toilet dan aku tidak sempat mengalihkan layar hp.

“Hun, siapa tadi?” tanya Aji.





(Not) Only YouWhere stories live. Discover now