Lamaran 2

428 44 4
                                    

“Aku pikir sekarang sudah waktunya Aku serius sama kamu. Aku ingin kita menikah.”

“Aku mau sekolah dulu, Ji, seperti saranmu.”

“Aku tahu, makanya Aku bilang sekarang sudah waktunya. Coba kamu pikir, kamu akan lebih tenang studi dan tidak akan ada laki-laki lain atau apapun yang akan mengganggumu. Iya, kan?”

Semua yang dikatakannya benar, Aji memang selalu logis dan yang pasti dia tahu sepak terjangku selama ini.
Aku memandangnya, andai aku bisa menambah kadar rasaku ini menjadi cinta seperti cintanya padaku, pasti tidak akan sesulit ini.

“Mm…By the way, Ika yang waktu itu siapa?”

Aku teringat nomor tak dikenal yang menelepon Aji tempo hari.
Aku sih gak pernah kepo, tapi kemarin lalu itu kebeneran banget hp Aji di aku dan cewek itu menelepon.
Aku masih mencoba berkelit.

“Itu anaknya teman Mama.”
“Kok bisa kenal kamu?”
“Satu sekolah dulu.”
“Kamu gak pernah cerita.”
“Gak penting.”
“Penting lah! Dia manggil kamu pake sayang-sayang gitu!”

Aji menghela napas, tampak mengurai kesabaran.

“Selama ini belum cukup waktu untuk menguji aku?”
“Aku gak pernah menguji kamu,” aku mengelak.

Aji menarikku duduk disampingnya.
“Azalea Zipora, aku gak tahu harus ngomong apa lagi, yang aku tahu hatiku untukmu. Semua yang sudah berlalu di masa lalu, apa pun dan siapa pun itu, biarlah berlalu. Aku tahu kamu hanya membunuh kebosananmu, but it’s okay, aku gak pernah mempermasalahkan.”

Makjleb!

Takjub aku mendengar pengakuannya dan ada haru yang menyeruak hingga tenggorokanku rasanya sakit sampai air mataku menetes perlahan.

“Aku hanya melihatmu, Lea. Selama ini cuma kamu. Mataku, hatiku hanya terarah kepadamu. Aku gak bisa ngomong membuai dan membual, aku juga mungkin gak romantis, tapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu.”

Aji memelukku penuh kehangatan di dada bidangnya. Tiba-tiba aku menyadari perasaan yang berbeda dipeluk olehnya, rasa yang membuncah dan hangat menjalari sekujur tubuhku.

Benar yang dikatakannya barusan, aku memang merasakan itu tapi  selalu menyangkalnya.

Aji mengeluarkan toblerone putih dari tasnya, “Nih, kamu jelek kalau nangis kayak gitu.”
“Udah tau jelek, kenapa mau!?” balasku sambil mengambil cokelat dari tangannya.

Beberapa potong cokelat yang masuk ke perut sedikit menenangkanku.

Mama datang menghampiri kami, “Gimana, udah ngobrolnya?”
“Sudah Tante, mungkin lusa Saya ke sini lagi sama Mama dan Papa,” Aji menerangkan rencananya.
“Nanti yang datang seluruh keluarga besar?” tanya mama.
“Enggak Tante, hanya keluarga inti saja.”
“Ji, bentar dulu. Emang kamu udah siapin cincinnya?” tanyaku ditengah-tengah keasikan rencana mereka.
“Kok gak ada rencana banget, gak berunding sama aku, gak kayak di film-film, sih!” protesku.

Aji tergelak, lesung pipi imutnya muncul.
Benar juga melihatnya tertawa lepas begitu, menularkan kebahagiaannya padaku.

“Film apaan? Aku bukan pemain film, wek!” ledeknya.

“Lea!” tegur mama.

“Iya, Ma…” jawabku nyengir.

“Tante ke dalem lagi ya, Ji. Pokoknya Tante agendakan lusa Om gak pergi kemana-mana.”
Mama masuk lagi ke dalam sambil mengajak Berry, mungkin membicarakan perihal ini juga. Tiba-tiba dia menoleh ke arah kami, mengacungkan jempol.

“Lea, nih lihat,” Aji mengeluarkan kotak cincin merah tua berbentuk hati dan membukanya.
Sebuah cincin berlian solitaire yang cantik berkerlip indah.

Would you marry me?”

Aku terkesiap, gak nyangka bakal dilamar dengan pakaian rumah seadanya oleh pria yang baru pulang kerja dan belum mandi. Untung yang kupakai bukan baju kebesaranku yang bolong-bolong.

Yeah, this is so me, damn!

(Not) Only YouWhere stories live. Discover now