Lamaran 1

450 44 3
                                    

Oh...My...

Kakiku auto berhenti.

What? What?

Kalau ada perumpamaan jantung copot saking kagetnya, kayaknya aku lebih dari itu. Jantungku bagai dicabut begitu saja, langsung direnggut oleh tangan Freddy Krueger dari dadaku.

Aku bergidik ngeri, balik badan kembali ke dapur.

Jantungku masih ada dan berdentum keras, sampai sesak rasanya.

Inhale...

Exhale...

Inhale...

Exhale...

Aku mengatur napas berusaha menenangkan diri sambil mengingat lagi yang Aji ucapkan tadi ke mama.

Mau nikah sama gue?!

Aku gak ngerti maksud Aji apa, gak ada angin gak ada hujan, tadi datang juga masih normal, tiba-tiba mau kawin sama aku.

Aku bukannya gak mau, tapi aku sama dia sudah terlalu nyaman begini. Aji yang gak pernah macem-macem dan bisa diandalkan, kok bisa-bisanya terpikir kawin sama aku. Apalah aku ini dimatanya, dia tahu perjalanan aku menggebet cowok-cowok. Itu bukan prestasi yang bisa dibanggakan. Ah, big no lah!

"Lea, kok malah di sini?" mama tiba-tiba sudah ada di dapur, "Sana, disuguhin atuh tamunya," sindir mama.

Aku hanya sanggup menatap mama, kosong.

"Lea, lagi ngapain, lama bener gak keluar?" Aji menyusul ke dapur juga.

Aku kaget dan tanpa kusadari aku berlari melewati Aji masuk ke kamar. Bukan ini yang kuharapkan, bukan ini pengantar kepergianku yang tinggal satu minggu lagi.

Nikah!

Nikah!

Nikaaaahhh...

Kata itu terus berputar-putar di kepalaku.

Bakal banyak sekali persiapan yang harus dilakukan dan itu gak mungkin terjadi dalam waktu satu minggu.

Minimal kita harus punya rencana, ya rencana!

Aku terpikir menjadikan ini alasan untuk menolak Aji, kan gak mungkin kita menjalani sesuatu yang jadi "this is my moment" dengan asal-asalan. Kita harus merencanakan semua dengan baik, aku juga gak mau dong kalau pernikahanku tanpa rencana, semrawut gitu, it's a big big no!

Lagian kenapa aku jadi mikir nikah segala, sih!

Kuambil diary yang masih tergeletak di atas meja, kubuka lagi halamannya satu per satu. Kuperhatikan tiap kenangan yang telah kami lalui dengan ceria. Kartu ujian penerimaan pegawai milikku masih tersimpan rapi. Aji yang membantuku melewati drama ujian waktu itu.
Lalu struk pembayaran makan-makan gaji pertama bareng teman sekantor yang aku suka, Anton.

Syilla protes keras pakai aksi mogok nelepon aku segala, sedangkan Aji waktu tahu itu, ekspresinya sih santai aja, malah dia ajak aku diner di Menara Imperium.

Jelas aku sudah nyaman dengan Aji dan Aji jelas memiliki perasaan lebih buatku tanpa ikatan kasih.

Hubungan yang selama ini kubanggakan karena bisa mematahkan teori gak akan ada persahabatan cewek dan cowok tanpa rasa suka.

Hari ini malah jadi pembuktian telak kalau teori itu benar adanya, aku kesal.

Tok tok tok!

"Lea, buka pintunya. Kunaon, sih?" mama masih gak tahu kalau aku dengar yang Aji bicarakan tadi.

Tok tok tok!

"Lea! Buka atuh!" nada suara mama meninggi.

Dengan langkah malas, aku buka pintu.

"Kenapa jadi ngurung di kamar? Itu Aji kasihan di depan."

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Baru sehari di rumah, kok ada aja peristiwa gak disangka. Padahal aku sengaja pulang ke rumah, mau menghabiskan waktu bareng keluarga.

"Iya Ma, ini Lea mau ke depan." Aku menggumam sambil menuju ruang tamu.

Aji dan Berry sedang tertawa terbahak di ruang tengah, pasti si Berry lagi cerita-cerita receh.

Begitu melihatku, Aji pindah ke ruang tamu.

"Kenapa Lea?"

"Enggak apa-apa. Aneh aja kamu tadi ngobrol sama Mama." Aku mancing pembicaraannya tadi.

Aji menghela napas, "Kamu gimana?"

Aku diam.

"Lea, jujur Aku dari dulu sudah jatuh cinta sama kamu. Cuma kamu dan selalu kamu."

Aku menunduk, hilang kata-kata.

(Not) Only YouWhere stories live. Discover now