In Between

1.7K 100 2
                                    

Ruang Kepala Pusat Penelitian 09

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ruang Kepala Pusat Penelitian
09.00 pagi


Aku duduk dengan tenang, berusaha tenang sebenarnya, sambil memainkan pulpenku dengan menekan tuas kecil di bagian atasnya sehingga terdengar bunyi klik yang teratur seirama dengan tekanan jariku.

Ruangan yang tak begitu besar ini rasanya adem, cenderung dingin, eh atau aku yang tegang, sehingga terasa jadi lebih dingin, padahal aku berusaha tenang.

Sederet piala penghargaan terpampang di hadapanku, mataku membaca tulisan di salah satu piala itu.
Penghargaan juara tiga turnamen golf di Bukit Giri Gahana.

Padang golf itu dekat tempat kuliahku dulu.
Aku jadi teringat kejadian konyol teman kuliahku.

Waktu itu masa ujian tengah semester, jelas tercantum dijadwal, ujian dimulai jam tujuh pagi, dan temanku baru datang ketika kami semua sudah bubar kelas.

Aku tersenyum mengingat ekspresi kagetnya dia, apa yang ada dipikiran dia waktu itu, sungguh tak terduga.

Hmm, hebat juga Pak Gultom bisa main golf, aku senyum sendiri membayangkan gayanya mengayunkan stik golf.

"Azalea!" tiba-tiba suara berat membuyarkan lamunanku.

Pak Gultom masuk ruangan, aku berdiri menyambutnya dan kaget kemudian demi melihat benda yang bertengger di atas kepalanya.

Pak Gultom Sinaga adalah atasanku langsung, usianya sudah setengah abad lebih, orangnya agak kocak, tidak kenal basa basi, dan pakaiannya selalu ajaib.

Seperti hari ini, beliau memakai atasan kemeja pink fanta, celana coklat muda dengan rempel sejajar saku, ikat pinggang dengan bandul kuning besar di tengah perutnya yang sudah mulai maju ke depan, dan untuk menutupi kekurangan di bagian rambut yang sudah jarang beliau memakai topi anyaman yang kelihatannya asal pakai saja di puncak kepalanya.

Pokoknya asal rambutnya tak kentara, deh. Padahal kan kami semua sudah tau juga, kali.

Duh, itu topi benar-benar mengganggu konsentrasiku, tak sengaja aku tersedak sedikit karena menahan senyum dan langsung kuubah menjadi pura-pura batuk kecil.

"Sakit kamu?" pertanyaan dengan nada curiga nih kayaknya.

Oops...

"Enggak, Pak, maaf." Aku berdehem untuk menghentikan tarikan bibirku yang bakalan nyengir.

Sepertinya orang-orang dengan selera aneh dianugerahi kelebihan feeling yang kuat, apalagi menyangkut keanehannya itu. Eh, maksudku unik bukan aneh.

"Saya tidak akan tandatangani surat ijin tugas belajar kamu."

Duaarr ... kaya di sambar petir di pagi hari. Menggelegar mengejutkan, tak disangka tak dinyana, apalagi tak terdeteksi kemungkinan itu juga sebelumnya.

Klik
Klik klik
Klik

Seketika hening, cuma suara pulpenku yang terdengar saat ini.

"Duduk Azalea," perintah atasanku ini demi melihat aku yang sedari tadi berdiri dan sekarang ditambah berita tak mengenakan itu, jadi seperti orang linglung tidak tau mesti ngapain.

Oke ... aku harus tenang dulu sebelum menjawab, tarik napas buang napas, lakukan perlahan.

Tenaaang ...

"Gak bisa gitu dong, Pak!" aku otomatis berdiri lagi dengan kedua tangan menopang di meja atasanku.

"Apa alasannya, Pak?"

"Pekerjaanmu di sini belum kamu selesaikan hingga tuntas!" beliau menjawab sambil membungkuk menggaruk kaki atau apalah di bagian bawah sana yang terhalang meja.
Bikin tambah emosi jiwa nih, pagi-pagi udah ngajak keringetan, keringet apek gak sehat, huh.

Tarik napas ...

"Pak, tugas-tugas saya kan bareng tim, kalau nanti saya berangkat, ya sisanya dikerjakan oleh tim. Masa saya semua yang kerjakan, namanya kerjaan saya sendiri, dong." Dalam satu hembusan napas keluarlah cerocosanku.

"Job pasta tomat dari saya, mana hasilnya?"

"Saya sudah kasih ke Bapak, kan."

"Itu baru laporannya saja. Saya tanya hasilnya. Mana!?"

Oke ... tenang, tarik napas lagi

"Kalau yang Bapak maksud adalah hasil akhir, ya belum ada, Pak. Itu kan harus melalui riset panjang dulu."

"Nah, ya itu. Jadi surat ijin tugas belajar kamu tidak saya tanda tangan."

___

Nah, gimana perjuangan Lea selanjutnya demi mendapatkan tanda tangan Pak Gultom?
Tanpa tanda tangan beliau, kesempatan Lea untuk berangkat studi ke luar negeri, pupus sudah.

Simak kelanjutan ceritanya besok, ya.

Makasih udah baca kisah Azalea ini, jangan lupa klik bintang dan komennya, juga masukin ke library, yaa 😊

*asli deg-degan saya nulis perdana

(Not) Only YouWhere stories live. Discover now