On The Way

389 38 2
                                    

Bandara International Soetta

Demi apa aku yang akan terbang menuju Negeri Sakura dalam hitungan jam, sekarang sedang duduk bersama tunanganku menunggu boarding.

Tunangan!

Perasaanku masih tak menentu telah bertunangan dengan si the most eligible man di mata para lajang bergincu merah metropolis but he’s not quite my type.

He is perfect!

Ganteng (yup).
Pinter (certified).
Bermasa depan cerah (soon to be area manager).
Baik hati (udah distempel).

“Sayang, hp kamu dari tadi bunyi tuh.” Aji menyentuh pipiku lembut.
Aku yang masih bengong dengan pikiran penuh list why I must with him, menatapnya bingung.

“Hp kamu,” ujarnya sambil menunjuk tasku.
Aku buru-buru mengambil hp, sekilas terlihat wajah konyol Syilla di layar.

“Yo!”
“Dut, udah naik pesawat belom?”
“Masih nunggu. Kangen? So sweet banget siiihhh, unyu unyuuu…,” aku sengaja menggodanya dengan suara manjis, manja najis, yang gak pernah gagal bikin Syilla sebel.

“Jijik!”

Aku terbahak-bahak mendengarnya memaki kesal.

“Dut, woy! Anak orang Lu bawa-bawa tuh!”
“Sirik aja lu, ah! Mau honeymoon, nih Gue!” jawabku masih tertawa.

Syilla dan seluruh keluargaku serta keluarga Aji tadi mengantar kepergian kami dengan sukacita.
Setelah keluarga Aji datang ke rumah dalam rangka meminang aku, Aji langsung urus ijin cuti dan mencari tiket pesawat yang sama dengan penerbanganku.

Beruntung dia karena bukan peak season jadi penerbangan agak kosong, ditambah promo midnight sale dari situs ticketing online, dapat deh tiket murah pulang pergi.

Keberangkatanku di setting malam agar sampai di Jepang pagi keesokan harinya oleh kampusku.

“Beloman aja udah gatel honeymoon-an aja, Lu!” sembur Syilla.
“Hahaha…kepooo!”
Take care, Dut. Jangan lupa bawa kantong plastik bakal Lu jekpot, hahaha…”
“Siaapp!”

Kututup sambungan teleponnya sambil masih tertawa.
Aji memeluk pundakku, otomatis kutepis, dan aku segera menyadari kesalahanku setelah melihat ekspresi wajahnya yang sekilas tampak heran dan bt mungkin.

“Aku mau ke toilet sebentar.” Kupikir itu alasan yang gak terlalu kelihatan canggung.

Aku cuci muka berusaha menepis bayangan raut wajah Aji yang kelihatan sedikit jengah tadi.

Ya Tuhan, kenapa sih gue!

Aku menenangkan diri sejenak sebelum keluar dari toilet.

Oke, sekarang aku akan keluar dan try not to be silly.

Dari kejauhan terlihat Aji sedang menerima telepon. Aku duduk lagi disampingnya. Dia mengisyaratkan sesuatu tanpa suara, aku mengangguk saja walau tidak mengerti.
Tak lama Aji selesai menelepon.

“Sayang, kamu mau makan dulu, gak? Tadi kita semua dikasih snack, nih,” sahutnya sambil mengangsurkan dus makanan ringan.

Aku mungkin belum terbiasa mendengarnya memanggilku sayang dengan kondisi sudah dalam hubungan super serius dengannya.
Kalau cuma dipanggil sayang dengan kondisi temenan sih beda rasa, ya hanya semacam lip service lah.

“Ji…”
“Ya, Sayang,” jawabnya lembut.

Ih, aku sedikit bergidik. Aku ingin jujur tapi takut dia kecewa.

“Apa?” tanyanya lagi.
“Hmm, bisa gak kita kayak biasa aja panggil nama masing-masing?”

Aji terdiam beberapa saat.
“Hahaha…kirain apa, boleh lah…Sayang,” Aji tertawa meledek mencoba terlihat biasa saja.

Setelah itu dia segera memalingkan wajah dan diam. Kadang menyibukkan dirinya sendiri.

Akhirnya panggilan untuk masuk pesawat terdengar. Aji membawakan kopor kabinku, sementara aku hanya menggendong tas ransel.
Sebenarnya kursi kami berjauhan tapi karena penerbangan agak kosong, Aji bisa tukar nomor seat sewaktu kami menunggu boarding.

“Ji, aku duduk di kursi dekat lorong, biar gampang kalau mau ke toilet.”
Aji sedang menyimpan kopor-kopor kami.
“Ya,” jawabnya singkat tanpa melihatku sama sekali.

Begitu duduk aku minum obat anti mabuk perjalanan. Ya, aku memang tidak bisa naik pesawat, hahaha…mabok, bo!

Tak berapa lama setelah pesawat mengudara, aku pun tertidur dengan sukses.



(Not) Only YouWhere stories live. Discover now