Beginning

361 38 6
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, udara semakin dingin, anginnya pun sedikit kencang. Perutku nagih minta diisi akibat skip makan siang karena ngejar waktu.

“Oya Suzuki san, let’s diner with us,” aku mengajaknya makan bersama sebagai rasa terima kasih.
Aji mengangguk tanda setuju.

“Sorry, I have another appointment—” Suzuki menerima telepon dan menjauh sedikit dari kami.

Aku dan Aji masih menunggu, lalu dia berbalik kembali.
“Sorry, appointment just canceled. I’m free,” katanya sambil tersenyum.

Kuserahkan pada Suzuki pilihan kami makan di mana, yang jelas dia mengerti aturan makanan halal.
Suzuki membawa kami ke restoran tak jauh dari kantor pos. Kami memesan pizza keju dan sup krim kabocha hangat, cocok di cuaca dingin begini.
Minum free refill, menu makanan tidak mahal, dan tidak jauh dari stasiun, langsung kutandai restoran ini.

Selesai mengisi perut, Suzuki mengajak aku dan Aji pulang berjalan kaki. Lumayan, aku jadi punya alternatif jalan selain jalur yang biasa dilalui bus.

Sepanjang jalan aku perhatikan selain deretan toko, di Tama Center ini ada perpustakaan, klinik dokter umum dan dokter anak, apotik, dan masih banyak lagi yang lainnya. Salah satunya adalah kantor cabang provider seluler Softbank.

Aku bertanya pada Suzuki gimana cara mengganti nomor hp, dia malah bersedia mengantarku besok untuk mendapatkan nomor hp baru.

Tak terasa kami berjalan kaki sudah empat puluh lima menit, lumayan bisa olahraga ngurusin body yang semlohay ini.
Kami berpisah di taman dekat apartemenku dan besok jam sepuluh Suzuki akan ke tempatku.
“Oyasumi nasai…good night. Bye,” pamit Suzuki.

“Tuh, kamu tiap hari aja jalan kaki ke stasiun kalau mau ke kampus.” Aji memikirkan hal yang sama juga rupanya.
“Iya sih kepikiran, kan lumayan penghematan juga ya, tapi betis nih bakal kayak taleus Bogor.” Aku tertawa sambil memperlihatkan betisku.
“Uuu…seksi!” Aji melotot menggoda sambil terbahak.
“Ssstt…berisik, ah!” aku tonjok pelan lengannya.

Lingkungan apartemenku sangat sepi, kebanyakan penghuninya sudah berusia lanjut. Siang saja sepi, apalagi malam, padahal sekarang masih jam delapan. Ukuran Jakarta sih jam delapan malam masih dibilang sore, rame terus.

Pusat kota seperti Shibuya sih rame, kalau daerah apartemen dan kampusku terbilang daerah pinggiran yang rata-rata memang sepi.

“Aku mandi duluan ya,” begitu masuk apartemen, aku langsung ambil handuk dan mandi air hangat. Terpikir untuk berendam di bathtub memanjakan kaki yang senut-senut, tapi takut ketiduran.

Keluar dari kamar mandi, aku bikin teh panas dua gelas. Aji duduk di ruang makan menungguku sambil memilih-milih lagu di hp nya.
Udah capek seharian di luar rumah Aji masih aja manis, bisa diabetes aku.


“Ji, mandi dulu sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ji, mandi dulu sana.”
“Iya sebentar."

Lagu Nothing's Gonna Stop Us Now memenuhi ruangan melalui speaker portable Aji yang disambungkan via bluetooth.


Kuambil laptop di kamar dan mulai cek e-mail, ada beberapa e-mail dari kelompok penelitian tentang beberapa progres pekerjaan dan laporan proposalnya.

Hp ku berbunyi dari kamar, kutinggalkan laptopku menuju kamar, wajah Syilla memenuhi layar hp.

“Cay…”
“Gilingan Lu, Gue dicuekin seharian!”
“Hahaha…sensi deh kaya testpack!”
“Mana si Semut? Udah pada ngapain aja Lu berduaan!?”
“Kepooo!!”

Kami tertawa bersama. Hal-hal yang biasa kami lakukan ketika sesi bincang hangat pulang kantor sambil ngopi cantik, untuk tiga tahun ke depan terpaksa akan dilakukan lewat jaringan internet. Aku harus pasang wifi kayaknya nih,  besok aku akan sekalian tanyakan pada Suzuki.

Aji masuk kamar dan mengecup puncak kepalaku. Rambutnya masih sedikit basah, wangi sabun menguar segar dari tubuhnya yang sudah bersih.
“Cay, entar Gue telepon lagi, ya. Ciao!”
Tak kugubris teriakan protes Syilla.


(Not) Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang