Anza tetap diam. Dia terus memainkan ponsel ditangannya tanpa perduli sedikitpun perkataan dari Juan barusan.

"Kenapa si? marah gara-gara Daven gak jadi sekolah hari ini?" kata Juan. "Seharusnya lo bisa ngertiin Daven, Za. Dia mungkin punya alesan gak jadi ke sekolah..." lanjutnya lagi. Jujur, Anza memang pernah bilang jika sehari sebelum Daven pergi ke Jerman Daven akan sekolah untuk menemuinya, tapi mau bagaimanapun disusun secara rapi, namanya rencana pasti bisa berubah.

"Gue tau," ucap Anza yang akhirnya mau menyahuti, meski tak menoleh ke arah Juan dan memilih fokus pada ponsel miliknya.

"Terus kenapa ngambek?" Juan bertanya lagi.

"Siapa yang nggak ngambek kalo pacarnya bohong terus," sahut Anza lagi.

"Daven mungkin gak niat buat gitu ke elo, ini mah elo nya aja yang mikirnya kemana-mana..."

"Males banget ah ngomong sama lo," kata Anza yang mulai beranjak dari tempatnya. Kakinya mulai melangkahkan kaki pergi keluar kelas.

"Za, mau kemana?" tanya Vanya yang melihat Anza keluar dari kelas.

Anza yang ditanya seperti itu hanya diam, tak tahu mau bilang apa. Dia benar-benar malas sekali kalau sudah begini, tak mau ngomong pokoknya.

Tak lama kemudian, Juan juga muncul dari arah pintu kelas.

"Noh si Anza pergi kesana..." kata Debi memberitahu Juan kemana Anza pergi, seolah sudah tahu pasti ini Juan akan mengejar Anza karena Anza kembali merajuk.

Juan mengangguk. Dia mulai berlari mencari Anza, berniat agar tak ketinggalan jejaknya.

Beberapa menit setelahnya... yang dicari-cari sudah ada didepan mata, sedang duduk di atas anak tangga didepan sebuah gudang di sekolahnya dengan tak lupa mengenakan earphone ditelinga.

Juan langsung menarik salah satu earphone yang tengah dikenakan Anza. Anza hanya melirik tajam ke arah Juan yang saat ini sedang sibuk menghayati lagunya.

"Galau banget..." ucap Juan ketika suara dari earphone itu terdengar di telinganya.

"Sana ah... gue pengen sendiri," kata Anza sembari sedikit mendorong Juan yang ada disampingnya untuk pergi.

"Nggak ah... gue gak mau pergi," sahut Juan juga mengikuti nada bicara Anza tadi.

"Ih apaan si, nyebelin..." kata Anza lagi.

"Gih, vidcall Daven kalo emang lo kangen." titah Juan yang langsung membuat mata Anza melotot.

"Apaan? nggak, nggak gue gak mau." sahut Anza dengan spontan.

"Gue tau lo kangen sama Daven, tapi lo gengsi kan buat bilang itu..."

"Sok tau," ucap Anza.

"Gue tau, udah sana cepet vidcall Daven." titah Juan lagi.

"Gue gak mau, Juan." kata Anza kekeh.

"Yaudah kalo gitu gue yang vidcall Daven," kata Juan yang lagi-lagi membuat mata Anza kembali melotot.

"Ah gak mau..." ucap Anza sembari mulai merebut paksa ponsel Juan.

"Yah udah ke sambung," ucap Juan seolah disengaja. Anza saat itu terlihat mengusap gusar wajahnya sendiri menggunakan telapak tangannya.

"Halo..." suara dari sambungan telepon yang mulai terdengar tak lupa juga mulai terlihat wajah tampan dilayar ponsel milik Juan walaupun hanya dengan rambut yang acak-acakan.

"Hai... ada yang ngambek nih gara-gara kangen," kata Juan yang terlihat akrab dengan Daven. Tentu ini membuat Anza keheranan sendiri, bagaimana bisa? yang Anza tahu mereka berdua selalu tak pernah akur, bahkan untuk bertegur sapapun tak mau, lalu ini?

DEARANZA (Completed)Where stories live. Discover now