58 - Tak Biasanya

654 26 1
                                    

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Daven kini terlihat tengah sibuk membereskan pakaian-pakaiannya ke dalam koper karena lusa dia akan pergi menuju Jerman untuk mengikuti tes seleksi masuk ke universitas yang dia idamkan.

Ceklek...

Suara knop pintu yang terbuka.

"Eh, Papa..." ucap Daven saat melihat ke arah pintu yang memperlihatkan sosok Tuan Jeff disana.

Tuan Jeff tersenyum ke arah Daven. "Besok kamu jangan sekolah dulu ya? Nanti Papa izinin..." katanya sembari mulai duduk mendekati sang anak.

"Kenapa emangnya, Pa?" Daven bertanya keheranan, melirik sekali Tuan Jeff lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.

"Ke rumah Kakakmu, Ven. Papa lupa kalo paspor sama visa milik Alan ada sama Nasya."

"Emang Kak Nasya gak bisa nganterin kesini, Pa?" Tanya Daven lagi memastikan, barangkali sang Kakak bisa mengantarkannya karena sudah dari seminggu yang lalu Daven meniatkan dirinya untuk masuk sekolah pada esok hari. Daven berniat untuk bertemu dengan Anza karena selama persiapan ujiannya ini, dia tidak bertemu dengannya. Dia juga berniat akan menghabiskan waktu seharian dengan Anza sebelum dia pergi ke Jerman untuk mengikuti tes seleksi esok lusa, tetapi ini...

"Kamu ini... kalo Kakakmu bisa nganterin kesini Papa gak akan ngajak kamu kesana, Ven." Sahut Tuan Jeff heran.

"Daven gak ikut deh, Pa. Mau sekolah aja..." kata Daven menolak dengan halus.

"Kamu gak mau main ke rumah Kakakmu di Bandung. Kita belum pernah sama sekali lho kesana, ngunjungin rumah baru Kakak kamu saat Kakak kamu pindah dari dua bulan yang lalu. Kamu gak inget Nasya pengen banget kamu berkunjung ke sana, gak kasian sama dia?"

Daven meneguk salivanya. Terdiam, mencerna baik-baik ucapan dari Tuan Jeff itu yang memang benar adanya.

"Udah, Abang... ayo ikut ke lumah Kak Nasya kasian lho Kak Nasya nungguin..." Arland juga ikut berbicara.

"Iya... Daven ikut," ucap Daven dengan mantap setelah terdiam beberapa saat.

"Yeay!" Sorak Arland antusias.

***

"Za, Kak Daven sama temen-temennya pada sekolah?" Tanya Zara memastikan saat mereka sedang duduk dikursi tempat duduknya.

Anza menghela nafasnya sekali lalu menghembuskannya. "Kak Daven sih bilangnya ke gue sehari sebelum dia berangkat, dia bakal temuin gue, ya gue berharapnya dia sekolah. Udah lama banget lagian gue gak ketemu sama dia..." katanya.

"Kak Daven gak ngabarin lo emang, Za?" Tanya Debi.

Anza menggeleng.

"Aelah... lo gengsi banget si ngabarin Kak Daven duluan. Kabarin, Za. Kalo lo diem doang nunggu Kak Daven yang ngabarin duluan mah lama. Lo bisa mati keheranan yang ada. Sekarang aja cepetan!" Titah Vanya yang sudah dibuat kesal oleh Anza.

"Gue gak berani, gue gak mau ganggu Kak Daven." Sahut Anza.

"Cih... bilang aja kalo lo gengsi ngabarin Kak Daven duluan!" kata Vanya lagi.

"Iya udah, Za. Mending lo chat Kak Daven sekarang biar gak penasaran. Takutnya lo nungguin Kak Daven tapi nanti Kak Davennya gak bisa kesini kan..." kata Zara juga menyuruh.

"Iya, iya... bawel banget si lo semua, oke gue kabarin Kak Daven." kata Anza sembari mulai mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Dia langsung membuka lockscreen dan langsung mencari nama kontak Daven untuk dia hubungi.

Daven
Call...

Anza menatap pasrah ke arah para sahabatnya, lalu kemudian menggeleng. Seakan sudah tahu jika Daven memang tidak ingin dihubungi.

DEARANZA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang