"Eh, si Anza dateng! Si Anza dateng!" Seru Vanya yang sedang berdiri diambang pintu bertugas untuk mengamati kedatangan Anza ke dalam kelas.
"Inget ya, kali ini kita harus berusaha sebisa mungkin buat gak ngingetin sama sekali tentang ulang tahunnya si Anza. Terutama lo, Vanya. Biasanya mulut yang selalu ember itu elo. Awas aja lo sampe keceplosan. Gue bogem." Ancam Zara sembari mengepalkan tangannya ke hadapan Vanya.
"Nggak kok, kali ini gue gak bakal ngecewain lo berdua sama Bundanya Anza. Tenang aja..." sahut Vanya sembari membanggakan diri.
"Kita nyibukkin si Anza pake cara apa ya?" Tanya Debi.
"Soal itu kan nanti biar jadi urusan Kak Daven, lagian gue percaya kalo Kak Daven bakal lebih tau bikin si Anza kesel." Kata Vanya.
"Suttt... si Anza dateng. Bersikap biasa aja, inget!" Ucap Zara kembali mengingatkan.
Anza masuk ke dalam kelas dan mulai duduk dikursinya.
"Abis darimana lo, Za? Tumben jam segini baru masuk ke kelas?" Tanya Debi.
"Oh itu. Gue abis dari perpus. Coba-coba nyari buku-buku referensi buat olimpiade gue," jawab Anza.
"Lo antusias banget ikut olimpiade ini, Za. Jangan bilang karena lo dimentorin Kak Daven?" kata Vanya menebak-nebak.
"Sebenernya sekarang juga karena itu. Tapi, gue antusias karena emang Fisika ini mata pelajaran yang paling gue suka. Lagian, malu juga kan kalo gue sampe kalah di olimpiade kali ini. Malu-maluin banget gak sih? Udah beberapa tahun terakhir ini kan sekolah kita selalu masuk top 3."
"Iya juga sih, lo emang bener. Gue dukung lo dibalik layar deh. Gue ber'doa supaya lo dapet juara pertama, aamiin." Kata Debi.
"Aamiin..." ucap Vanya dan Zara berbarengan.
Anza mengangguk. "Makasih ya," ucapnya.
***
"Terus cara gue keluar dari sekolah gimana? Digerbang pasti ada satpam yang jaga. Gagal dong gue beli kado buat surprisein Anza," kata Daven yang mulai frustasi.
"Gue ada ide!" Kata Abay dengan raut wajah yang meyakinkan.
"Please! Kali ini jangan sesat kayak yang dulu-dulu, Bay." Sahut Ravis dengan malas.
"Coba bilang apa ide lo kali ini?" Pinta Daven.
"Jadi, si Ravis kali ini pergi ke Guru piket buat minta surat izin buat keluar dari sekolah selama satu jam pelajaran. Pura-puranya lo disuruh sama Pak Katro aja disuruh beli bola basket baru. Lagian kan yang jadi guru piket sekarang Bu Widia. Lo tau sendiri kan, dia pasti bakal ngeiyain lo keluar begitu aja. Karena apa? Karena lo pake nama Pak Katro. Udah jelas seisi sekolah ini udah tau kalo Bu Widia naksir banget sama Pak Katro," kata Abay.
"Terus nanti dikasih ke Pak Satpamnya gimana? Kan yang ada disurat itu nama gue bukan si Daven," tanya Ravis.
"Gampang. Lo kan tinggal bilang, kalo lo tiba-tiba sakit perut dan yang gantiin lo buat pergi itu si Daven."
"Terus tugas lo apa? Kok kalo dipikir-pikir jadi gue susah amat. Kalo ketauan gue ngibul, bisa-bisa dijemur sampe pulang sekolah gue." Kata Ravis tidak terima.
"Kan gue yang ngasih ide? Masa gue harus ikutan turun tangan juga sih?" Kata Abay dengan santainya.
"Seharusnya ya lo berdua berterima kasih sama gue," lanjutnya.
Ravis menoyor kepala Abay secara cuma-cuma. "Goblok lo!" Sentak Ravis.
"Jangan itu, Bay. Terlalu berat resikonya. Ngebohong kan dosa, apalagi bohongnya sama orang yang tua dan berilmu. Nanti ilmu yang udah lo terima gak berkah. Lo mau?" Kata Daven.
DU LIEST GERADE
DEARANZA (Completed)
Jugendliteratur(PENTING! CERITA INI SEDANG DALAM MASA REVISI) Cerita ini menceritakan tentang kisah cinta klasik antara seorang Kakak kelas yang menyukai Adik kelasnya. Perjuangan penuh liku yang di alami keduanya seakan sudah menjadi makanan setia. Dibumbui oleh...
