52. Amarah Terbesar Elang

Start from the beginning
                                    

Hanya demi manik obsidian yang saling bertemu dalam satu waktu, Rania merasakan kalau detakan jantungnya mulai menggila di dalam sana. Kedua tangannya sontak meremas angin, berusaha untuk tetap berdiri tegak walau sesuatu di depan sana membuat lemas kedua tungkainya seketika.

"Ah, akhirnya lo dateng juga." Itu suara Vernon, mendekati Rania dan berdiri tepat di sebelahnya. "Itu adik Abang, Ran. Namanya Elang Angkasa."

Refleks Rania menoleh ke samping, mendapati Vernon yang tersenyum begitu lebar hingga menampakkan deretan atas giginya. "Dan Elang, ini Rania. Pacar yang gue ceritain kemarin malam."

Oh, Tuhan! Katakan kalau ini hanyalah mimpi. Katakan bahwa ini hanyalah imajinasi yang disebabkan oleh pikiran Rania yang terus memikirkan Elang. Katakan jika ini bukanlah kenyataan.

"Ayo, salaman. Masa udah ketemu cuma diem-dieman aja."

Tidak! Rania tidak ingin hal itu terjadi! Rasa-rasanya dia hendak berlari secepat yang dia bisa agar bisa segera menghilang dari jeratan tatapan dingin laki-laki di depan sana. Dia ingin lenyap, hancur seperti debu. Namun, seyakin apa pun hati Rania berdoa, nyatanya dia masih berdiri di tempat yang sama. Kakinya seolah terbelenggu oleh rasa ketakutan yang menggebu.

Rania tidak tahu entah seperti apa ekspresi wajahnya sekarang. Dia kacau--teramat sangat kacau. Terlebih lagi saat Elang mendekat dan berdiri tepat di depannya. Elang memberinya tatapan yang begitu datar, membuat Rania kapayahan walau hanya sekadar untuk menarik napas. Saat Rania berpikir bahwa Elang akan mengatakan jika mereka sudah saling mengenal--bahkan sempat berpacaran--maka Rania salah besar. Tangan Elang terulur ke arahnya. Dengan wajah datar yang minim ekspresi, Elang berkata dengan lancar dan tenang. "Elang Angkasa. Adik kandungnya Bang Vernon."

Rania mendongak, bersusah payah untuk balas menatap Elang tepat di mata. Seketika kedua manik Rania terasa panas. Pandangannya berubah buram, membuat wajah Elang tampak tak jelas di matanya. Dan di samping itu semua, Rania tetap berusaha untuk mengangkat tangan, balas menggenggam tangan Elang dengan berani. "Rania Roosevelt."

Detik itulah Rania sadar satu hal. Tentang tatapan Elang yang semakin dingin, tentang genggaman tangannya yang semakin erat.

* * *

"Selama aku gak nemuin alasan buat ninggalin kamu, maka selama itu juga aku akan terus mencintaimu, Lang."

"Kalo gitu, maka selamanya gue akan buat lo kesulitan mencari alasan itu. Biar lo bisa terus sama gue."

Rasa-rasanya Elang ingin menertawakan kebodohannya sekarang juga. Kenapa pula dirinya bisa sepercaya diri itu dengan menganggap bahwa Rania tidak akan pernah menemukan alasan untuk meninggalkannya? Nyatanya tak lama setelah itu, gadis manis yang mengucapkan deretan kalimat indah penuh cinta yang seketika membuat Elang melayang, pada akhirnya juga pergi darinya. Sekarang Elang tahu dan sadar, tentang kebahagiaan yang Rania sebutkan itu ada bukan pada dirinya. Elang akhirnya dikalahkan oleh kenyataan, dipaksa mundur sewaktu dirinya berusaha untuk berjuang. Saat dia tahu satu hal baru yang sangat mengejutkan, membuatnya ingin mati berdiri beberapa menit yang lalu. Laki-laki yang kemarin siang Rania sebutkan--yang katanya mampu memberikan kebahagiaan yang lebih besar dari yang ia berikan--adalah saudara kandungnya sendiri.

Detik ini Elang berada dalam fase mengabaikan segala rasa sakit. Elang ingin melupakan, menganggap bahwa gadis yang duduk di antara dirinya dan Vernon itu hanyalah pacar dari saudaranya. Namun, untuk seseorang yang masih melekat di hatinya, bukanlah hal itu akan terasa sangat sulit untuk ia lakukan?

EPIPHANYWhere stories live. Discover now