BAGIAN 44📌

1K 113 58
                                    

______

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

______

Vano ke rumah sakit dengan teregesa-gesa, dan ternyata orang yang Vano cari ada di depan ruangan Garlien. Ya dia Geno, Ayah kandung Garlien. Vano tak sabar bicara dengannya.

Tak lama Vano sampai di depan Geno, yang di samperin hanya merasa kebingungan. Itu wajar karena Vano belum bicara sepatah kata pun.

"Bisa bicara?"

Geno menangguki pertanyaan Vano. Sebenarnya Vano tak ingin membicarakan ini di sini karena terlalu sensitif, tapi biarlah. Vano tau Geno tak akan seperti Lino, dia lebih bisa menahan emosi.

Vano mengeluarkan foto yang dari tadi dia simpan di kantong celananya bersama dengan foto Lino dan Garlien. Dia akan menanyakan hal itu, semua harus jelas demi hubungannya dengan Garlien.

Vano memberikan foto dan Geno mengambilnya dia terlihat kebingungan dengan foto itu. Sangat terlihat dari mata dan alisnya yang bertautan.

"Ayah saya."

Ucapan Vano membuat Geno terkejut, dia tak percaya dengan semua ini. Sedangkan Vano masih dengan siap melihat bagaimana ekspresi Geno.

"Bisa cerita?" tanya Vano lagi mencoba untuk tenang tanpa emosi. Dan Geno mengangguk, tanda setuju.

"Apa yang kamu tau?" tanya Geno supaya dia bisa mengerti apa yang di pikirkan Vano.

"Om penghianat?" kata Vano jujur apa adanya.

Vano memang berpikiran jika Geno adalah orang yang bersalah akan hal ini, dia berhianat dengan temannya sendiri—ayahnya. Tanpa di sadari Geno tersenyum tipis membuat Vano bingung dengan tingkahnya.

"Itu benar."

Ucapan Geno membuat tangan Vano mengepal dengan sangat erat. Dia tak percaya jika Geno adalah orang yang membuat ayahnya berubah.

Saat ayahnya di hianati oleh Geno, dia benar-benar frustasi. Perusahaannya hancur, dan mimpinya hangus terbakar. Hingga akhirnya dia memilih untuk bersama wanita lain, dan demi wanita itu dia rela menabrakan dirinya untuk menolong wanita murahan yang bersamanya.

Vano meninju tembok untuk menetralisir kemarahan yang ada pada dirinya. Sangat sulit menerima kenyataan sepahit ini. Lalu bagaimana dia bisa menjalin hubungan ini jika masa lalunya serumit itu?

"Apa alasannya?" tanya Vano mencoba untuk sabar kembali, ingin rasanya Vano menonjok Geno, tapi dia tak bisa.

"Bagus."

Pujian Geno membuat Vano sedikit bingung, namun rasa bingungnya tertutup oleh amarah. Geno takjub dengan pemikiran Vano yang memberinya kesempatan bagi Geno mengutarakan opininya.

"Saya cemburu," jawab Geno membuat Vano kembali bingung. Dan Geno memahaminya hanya dengan melihat wajah Vano.

"Gina jalan sambil berpegangan tangan dengannya, bahkan berpelukan."

Perkataan Geno adalah kejujuran apa adanya. Jujur Geno mulai menyukai Gina dengan sikap ala kadarnya dia, namun saat tau istrinya lebih memilih untuk jalan dan berpelukan dengan suami orang lain. Membuatnya otaknya jadi tak berfungsi untuk sementara.

Saat pertama kali dia melihat Ayah Vano dan Gina bersama, Geno masih memakluminya. Mungkin mereka sedang melepas rasa rindu, namun jika itu selalu terulang Geno tak bisa. Dia juga manusia yang memiliki perasaan. Sakit rasanya saat melihat orang yang disayangi bersama dengan orang lain.

"Bunda," kata Vano lemas, Vano kembali terkejut untuk sekian kalinya. Dia terkejut atas sebuah kebeneran yang sungguh menyakitkan.

Bagaimana mungkin orang yang Vano anggap sebagai ibu melakukan itu? dia bahkan sudah memanggil Gina dengan sebutan Bunda. Tapi kenapa seperti ini?

Orang yang biasa Vano sebut sebagai wanita murahan, wanita jalang, pelakor dan sebagainya adalah Gina? Bunda? ingin rasanya Vano membuat takdirnya sendiri. Ingin rasanya Vano melupakan ini. Dan seharusnya Vano tak mendengarkan kebenaran ini. Setidaknya akan lebih baik, mungkin.

"Gina adalah mantan ayah kamu, dan mereka nggak bisa move on. Mereka akan menikah jika Gina tak di jodohkan dengan saya."

Vano benar-benar tak kuat mendengar kebenaran ini. Sungguh menyakitkan, kenapa Tuhan membuat jalan takdir yang serumit ini.

"Cukup."

Setelah mengatakan itu Vano pergi dari hadapan Geno. Dia tak mau mendengarkannya lagi, telinganya memanas begitupun amarahnya.

Vano pergi ke luar rumah sakit dengan tergesa-gesa, mungkin banyak orang yang melihatnya seperti orang gila, tapi biarlah untuk hari ini Vano memang gila. Gila dengan kenyataan yang ada.

Apakah Vano masih bisa menerima Garlien jika sudah mengerti masa lalu keluarganya? entah lah, Vano juga bingung. Di sisi lain Vano ingin bersama Garlien, tapi di sisi yang lainnya Vano sangat ingin menjauh dengan orang yang membuat keluarganya hancur.

Jika dia bersama Garlien maka dengan otomatis dia juga akan bersama Lino, Geno dan ... Gina. Apakah Vano kuat menahan itu semua? apakah Vano bisa melewatinya?

"AAAA!!!" teriak Vano saat sudah lumayan jauh dari rumah sakit. Namun tetap saja ada yang melihatnya berteriak seperti orang kurang sehat.

Vano kebingungan sekarang. Dia bingung akan melakukan apa ke depannya, bersama dengan Garlien? atau pergi menjauhi Garlien?

Vano duduk di kursi putih, dia menunduk. Memikirkan jalan keluar atas masalahnya, tak lama ada yang menarik kepala Vano untuk ada di pelukannya.

Vano diam cukup lama, ia nyaman dengan keadaan ini. Rasanya ia seperti sedang di peluk oleh ibu kandungnya. Dia mengelus rambut Vano dengan lembut, membuat Vano ingin menangis, namun tetap di tahan.

"Vano marah sama Bunda?"

Vano mengenali suara itu, dia adalah Gina, ibu Garlien. Kenapa dia disini? dan bagaimana dia tau Vano ada di sini? bukankah tadi dia pingsan?

Vano segera melepaskan pelukannya kemudian menunduk. Apa yang harus di lakukan Vano sekarang? memaafkan? Membenci? meninggalkan? atau menetap? Vano bingung.

Gina duduk di sebelah Vano kemudian dia melihat Vano yang tertunduk, sedih rasanya melihat Vano lemah tak berdaya seperti ini. Apalagi ini adalah kesalahan perasaannya.

Gina sudah tau semua, dia mendengar percakapan Vano dan Geno di samping tembok. Sungguh dia tak percaya jika Vano adalah anak dari mantan kekasihnya itu.

Memang Gina salah, sangat salah. Bagaimana mungkin dia jalan bersama dengan cowok lain, saat Gina sudah memiliki suami? itu adalah kesalah besar! walaupun Gina juga memiliki alasan. Namun sekuat apapun alasannya tak akan menutupi kesalahannya.

"Kamu sayang Garlien nggak?" tanya Gina sambil menghadap ke arah Vano, walaupun Vano tak melihatnya balik pun tak apa.

Vano hanya menangguk, dia tak mungkin membohongi perasaannya sendiri. Sekarang Vano seperti anak kecil, yang sedang ngambek dan di bujuk oleh orang tuanya.

"Lanjutin hubungan kalian, kalian masih bisa sama-sama. Jangan sampai nanti kalian menyesal."

"Mungkin masa lalu Bunda membuat kamu ragu, tapi ini masa lalu Bunda bukan masa lalu Garlien. Kamu nggak boleh menghakimi Garlien."

"Garlien nggak salah apa-apa, Garlien juga nggak tau apa-apa, dan Vano nggak boleh bohongin perasaan Vano."

"Jangan karena masa lalu Bunda, Vano sama Garlien kena imbasnya. Bunda nggak mau itu terjadi."

Gina berdiri kemudian kembali memeluk Vano seperti tadi. Kepala Vano ada di perutnya kemudian rambutnya di elus lembut oleh Gina.

"Bunda tau Vano kuat."

Garlievano |✓Where stories live. Discover now