File 5

1.4K 149 0
                                    

"Good afternoon, Edward! Thank you for your help," ucap Rangga, ketua kelas XII-IPA 2 dengan pronounciation yang membuat telingaku terasa sakit. Namun, aku tetap berusaha untuk berekspresi datar ketika menerima buku catatanku yang dipinjamnya selama berbulan-bulan. Tidak masalah, itu hanya buku catatan sastra Inggris yang tidak akan berpengaruh banyak walaupun tidak dikembalikan.

"Dont mention it," sahutku singkat. Berharap dia segera pergi menjauh. Tetapi ternyata, dia justru memilih untuk mengambil tempat di depanku. Ini aneh, mengapa dia masih diam padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi? Oke, baiklah. Aku juga harus pulang secepatnya.

Oh, ya. I can speak Indonesian. Maksudku, kau tidak perlu bersusah payah memakai bahasa Inggris,” ucapku seraya bangkit meninggalkannya sendirian di dalam kelas. Berjalan cepat menuju ruang loker.

Jika dia berbicara dengan diriku lima belas tahun lalu dengan cara seperti tadi, itu masih wajar karena aku belum bisa menggunakan bahasa Indonesia. Aku baru bisa menguasainya setelah usiaku delapan tahun. Lagipula, waktu itu aku kan masih tinggal di Manchester.

Argh! Mengapa aku justru mengucapkan kata itu, seolah aku lupa jika nama kota yang kusebutkan tadi merupakan kata yang bisa mewakili trauma masa lalu yang hingga sekarang memiliki pengaruh begitu besar. Trauma, seharusnya bisa disembuhkan dengan beberapa prosedur terapi. Tapi mengapa yang kuderita ini tidak bisa?

Sial! geramku seraya memukul pintu loker. Jangan tanya apakah Hukum Ketiga Newton bekerja padaku atau tidak. Tentu saja tanganku menerima gaya reaksi yang sebanding dengan gaya aksi. Tapi aku tidak mengerti, mengapa mereka tidak pernah mendapat gaya reaksi yang sebanding dengan apa yang mereka lakukan padaku? Apa hukum fisika tak berlaku pada mereka? Oh, pasti ini yang disebut unrequited pain.

Aku menghela napas panjang, melupakan sejenak kekacauan yang terjadi. Sudah cukup, Steve. Kau butuh istirahat.

Aku sedikit heran melihat benda aneh yang tertempel di pintu loker, pesan yang ditulis menggunakan stick note. Terlihat seperti pesan yang ditulis dengan tulisan dokter. Entah si pengirimnya terburu-buru menulis, atau memang tulisannya yang tidak bisa disebut rapi. Tanpa pikir panjang, aku segera mencabutnya.

Ah, aku tahu siapa yang melakukan ini.

"Hi, my great rival! Maaf sedikit mendadak. Tapi aku harus pergi ke pertemuan pengurus OSIS antar sekolah selama seminggu. Selama aku pergi, aku harap kau bisa memimpin penyelidkian sementara. Oke, semoga kalian bisa menemukan pelakunya. Dan aku tahu kalian pasti bisa : )"

Aku menghela napas panjang, meremas stick note itu hingga tidak berbentuk lagi. memimpin penyelidkan? Sejujurnya aku tidak terbiasa bekerja dalam tim, apalagi memimpin. Biasanya aku lebih memilih melakukan semuanya sendiri. Sekarang, aku harus bekerja sama dengan anak itu? Yang benar saja.

Kelumparkan pesan itu ke tempat sampah terdekat. Tanpa sengaja berpapasan dengan Riyan yang mendapat pesan — dari orang yang sama — yang isinya tidak jauh berbeda denganku. Bagaimana aku tahu? Tentu saja aku ikut membaca pesan itu hingga selesai.

"Sayang sekali, ya," ucapku. Riyan yang sama sekali tidak menyadari keberadaanku terkesiap. Namun, kali ini aku tidak ingin tertawa walaupun melihat ekspresinya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya.

"E-eh, iya sepertinya begitu," sahut Riyan gugup. Aku memicingkan mata. Tentu saja karena gugup adalah salah satu indikasi bahwa seseorang tengah menyembunyikan sesuatu. Tapi  ah, sudahlah. Riyan tidak akan tahan jika aku terus seperti ini.

"Tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu selama kau bersikap baik," ujarku seraya menepuk bahunya. Anak itu terlihat semakin aneh saja, alih-alih menjadi tenang. Apa kalimatku ada yang salah? Aku kan hanya ingin meyakinkan jika aku bukan pembunuh seperti yang dia pikirkan selama ini. Selama Riyan bersikap baik, sisi lainku tidak akan bangkit.

"Eh, ternyata kalian di sini ya." Aku segera mengalihkan pandanganku menuju ke arah sumber suara. Mendapati seorang gadis berkacamata tipis yang sudah bersiap-siap pulang bersama tetangga sebelah rumahnya. Mereka berdua juga terlihat menggenggam sebuah stick note.

"Dari tadi kita udah keliling sekolah tujuh kali buat nyariin kalian." Aku tidak berkomentar. Itu pasti hanya hiperbol. Tidak mungkin dia bisa berkeliling bangunan sekolah — walaupun hanya satu putaran — dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Kecuali jika dia bisa bergerak dalam kecepatan cahaya, dan itu jauh lebih mustahil lagi.

"Kalian dapet pesan yang sama ya?" tanya Kira saat melihat stick note yang masih dipegang Riyan. "Sayang sekali, anggota tim kita berkurang lagi. Apa Kevin nggak bisa izin ke pembina OSIS dengan alasan persiapan ujian?"

"Kayaknya, nggak selamanya jelek kok. Kalo Kevin nggak ada, otomatis aku nggak akan berantem lagi. Masalahnya, kurang seru kalo berantem sama Steve yang hampir nggak punya selera humor," ungkap si gadis bermata empat itu tanpa rasa bersalah. Kurasa dia ada benarnya. Aku memang tidak punya selera humor.

"Ya sudah, kita harus melanjutkan penyelidikan ini berempat," ucap Kira. Tanpa menunggu lama, aku segera balik kanan. "Steve, kau mau kemana?" tanyanya. Aku tersenyum tipis.

"Maaf, aku sedikit sibuk," jawabku lalu berjalan pergi menjauhi mereka. Baiklah, aku memang tidak suka jika Riyan bebas bersama Kira. Tetapi setidaknya, mereka tidak berdua saja. Aku hanya tidak siap jika Kevin menyerahkan tongkat komando kepadaku.

Jika aku boleh jujur, aku hampir tidak punya jiwa kepemimpinan. Aku terbiasa melakukan semuanya sendirian. Iya, benar-benar sendirian.

Gelombang cahaya matahri sore menyiram jalan raya kota yang mulai ramai setelah melewati ruang hampa sepanjang jutaan kilometer di angkasa luar. Gas karbonmonoksida yang dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna kendaraan memenuhi udara, membuat paru-paru sesak. Untungnya di samping trotoar terdapat barisan pepohonan yang menyuplai oksigen sehingga aku tidak perlu menghirup gas rumah kaca itu.

Aku memandang lurus ke depan, namun pikiranku mengarah ke lain tempat. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering merasa pikiranku kacau. Trauma masa laluku mendominasi, tetapi ada sesuatu yang sekarang jauh lebih menyebalkan jika ia muncul. Karenanya aku sering menjadi insomnia.

Tiba-tiba, kakiku tersandung sesuatu yang menjulur dari bawah pohon. Tentu saja aku langsung terjatuh karena tidak bisa melawan hukum gravitasi. Aku meringis menahan sakit yang ditimbulkan dari kerikil tajam yang berada tepat di bawah lututku. Untung saja tidak sampai mengakibatkan pendarahan yang akan memberiku masalah yang lebih besar.

Baru saja aku menghela napas, sebuah aroma yang sangat familier itu kembali menyergap indra penciumanku. Jantungku tiba-tiba berdebar lebih kencang. "Ahh ... this infinity illusion. Why ...?" Aku menggeleng cepat, menghalau pergi ilusi yang selalu saja muncul akibat aroma itu

Aroma yang seperseribu detik kemudian membuat mataku melebar saat berusaha mencari sumbernya. Ini ....

"Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?" tanya seseorang dengan nada cemas. Aku menoleh, tidak menjawab. Membiarkan pria berwajah oriental itu melihat sendiri apa yang baru saja kutemukan dari balik kaca mobilnya yang terbuka setengah.

“Mr. Ishida, can you help me?”

*

Bye bye, Kevin. Sampai jumpa di akhir seri ketiga, hehe ....

Maaf ya, minnasan. Ichi nggak berniat mengusir Kevin. Ichi cuma mau dia istirahat sebentar dan memberikan otoritas penuh kepada Steve sebagai ketua tim. Kevin nggak pergi selama-lamanya, cuma seminggu aja kok. Ichi harap kalian nggak pergi kayak dia, ehhe 😅 ....

Oke, jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Cinereous CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang