File 9

1.1K 134 5
                                    

Baru saja kami berbelok ke tikungan pertama, sebuah pemandangan yang sudah tak asing terproyeksi di hadapanku. Beberapa mobil patroli tampak berkumpul di tempat itu. Garis polisi dibentangkan. Tidak kurang dari sepuluh orang berkumpul di tempat itu. Sebagian besar merupakan penduduk kota yang penasaran, sisanya anggota kepolisian. Salah satu di antara mereka sangat kukenali. Tentu saja dia adalah kakak sepupuku.

"Apa itu?" tanya Sisi yang ada di depanku. Gadis itu tampak sangat penasaran hingga mengajak kami untuk ikut mendekat. Aku tidak banyak berkomentar. Lagipula, aku masih berharap semoga bisa segera menemukan titik terang.

Dugaanku tidak salah. Korban baru telah muncul, dengan ciri-ciri yang sekilas terlihat mirip dengan mayat yang ditemukan tadi pagi dengan beberapa bekas tembakan di dadanya. Polisi menjaga ketat tempat itu. Lagipula tidak mungkin aku memeriksanya jika sudah ada petugas yang lebih ahli di sini.

"Rupanya kau sudah pulang sekolah, ya?" ucap seseorang seraya menepuk bahuku. Aku segera berbalik menghadap orang yang baru saja mengajakku berbasa-basi. Ah, sudah kuduga.

"Tidak, aku bolos sekolah, Kak," sahutku dengan niat bercanda. Pria muda itu tertawa kecil. Sekilas, aku melihat ekspresi teman-temanku. Mungkin mereka menganggapku sedang berusaha sok-kenal dengan personil kepolisian.

"'Kakak'?!" seru mereka bertiga tidak percaya hampir secara bersamaan. Pria tadi tersenyum ramah hendak meperkenalkan diri.

"AKP Adam?! Ternyata kalian berdua ini ...." Sisi tampak heboh sendiri melihat kakak sepupuku. "Pantesan aja kalian ini keliatan mirip banget. Bahkan lebih mirip daripada Erick." Aku tercengung. Nama itu lagi  mengapa hidupku tidak bisa lepas darinya?

"Darimana kamu tahu namaku?" tanya Kak Adam dengan nada penasaran yang dibuat-buat. Yah, aku tahu itu karena sudah biasa jika dia disapa para gadis yang kebetulan bertemu dengannya di TKP. Aku sendiri bahkan ragu jika dia hanya aparat penegak hukum biasa yang anehnya hingga umur tiga puluh belum menikah.

"Sejak di sekolah kami sering terjadi kasus pembunuhan, kau kan selalu terlibat penyelidikan itu. Karena itu, teman sekelas sering membicarakanmu," jelas Sisi seadanya. Kak Adam mengangguk samar kemudian tersenyum lebar sebagai respons.

"Maaf, aku banyak pekerjaan. Sebaiknya kalian cepat pulang. Oh ya, Steve. Kapan-kapan aku datang ke rumahmu ya," ucapnya lalu kembali lagi ke TKP. Aku menghela napas, kemudian melanjutkan perjalanan pulang.

'Steve, apa dia benar-benar kakakmu?" tanya Kira yang berjalan di belakangku. Aku hanya mengiyakan. "Kenapa warna mata kalian tidak sama?" tanyanya lagi.

"Dia sepupuku dari pihak Ibu," jawabku singkat. Kuharap dia segera mengerti agar tidak perlu menanyakan hal tidak penting lagi. Lagipula, tidak ada satu pun keluarga dari pihak Ayah yang mau menerimaku, kecuali Ayah sendiri. Ya, mereka semua membenciku sebagai anggota keluarga mereka yang termuda saat ini.

"Kamu mau tau sesuatu nggak?" tanya Sisi, mencoba membuatku penasaran. Aku tidak menjawab. Apa yang dia katakan pasti bukan hal yang penting. "Aku nge-fans sama kakak sepupu kamu itu," terangnya, padahal aku tidak pernah meminta. Aku tersenyum tanggung, dia sudah seperti seorang idol papan atas saja.

"Terserah padamu," sahutku. Itu adalah pengganti kalimat pamitan karena tepat saat itu juga, aku tiba di perempatan jalan dimana aku harus berpisah dengan mereka karena rumahku berbeda jalur.

Hari ini, sepertinya tidak ada petunjuk yang berarti. Memikirkan strategi justru berakhir seperti kejadian di ruang loker. Memang, aku sempat bertemu dengan Kak Adam. Tetapi tidak sempat berbicara secara pribadi sehingga aku bisa mendesak sepupuku itu untuk memberitahu semuanya.

"Kau sudah pulang, Steve?" tanya Ibu lembut ketika pintu depan terbuka. Kebetulan dia memang sedang merajut di ruang tamu saat aku melangkahkan kaki ke dalam rumah. Aku mencoba untuk menjawab dengan ramah, demi melihat senyuman bahagia di wajah yang mulai memperlihatkan kerutan halus itu.

Aku memilih untuk memasuki kamarku yang berada di lantai dua karena tidak tahu lagi harus berbicara apa dengan Ibu. Kamarku berantakan, seperti kota Hiroshima yang baru saja dijatuhi bom atom oleh pasukan sekutu ketika Perang Dunia Kedua. Tetapi aku tidak peduli. Lagipula tidak ada orang luar yang akan melihat seberapa berantakannya ruangan ini.

Pandanganku justru tertuju pada handphone yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur yang dihiasi oleh seprai yang kusut serta selimut yang belum sempat kulipat. Ada banyak sekali notifikasi di sana. Salah satunya adalah spam chat dari Ellion dua hari lalu yang belum sempat kubaca. Sisanya hanya pesan dari grup chat kelas.

Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak terdaftar. "Edward, temui saya di kafe X, di dekat taman kota pukul lima sore. Tidak usah khawatir, saya bukan orang jahat." Begitulah isi pesan misterius itu. Cukup aneh. Aku sempat berpikir jika orang ini salah mengirim pesan hingga aku melihat nama belakangku di awal pesan. Dia benar-benar berniat menemuiku.

Bagaimana aku bisa memastikannya? Tidak ada 'Edward' lain di kota ini yang bebas ditemui kapanpun di luar jam sekolah selain aku. Ayah? Sudah pasti tidak bisa karena jadwal yang sudah menumpuk sejak sebulan lalu. Ibu? Kesehatan yang semakin menurun membuatnya tidak bisa bebas pergi kemanapun. Kakak? Oh, tolong, jangan bahas dia.

Baiklah, apa yang harus kulakukan sekarang? Menemui orang yang bahkan tidak kuketahui identitasnya tanpa persiapan sama sekali bukanlah ide yang bagus. Kemampuan karateku mungkin bisa diandalkan untuk melawan satu atau dua orang. Tetapi jika mereka lebih dari empat, aku sedikit ragu. Aku belum terlalu terbiasa membagi konsentrasi.

Ah ya, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Steve: Kira, jika aku tidak menelponmu hingga pukul tujuh malam, anggap saja sesuatu hal buruk terjadi padaku. Segera hubungi polisi dan katakan jika seseorang mengajakku bertemu terakhir kali di kafe X

Aku tersenyum tipis. Kurasa persiapan sudah cukup. Kira bisa kuandalkan. Lagipula, dia bukanlah gadis biasa yang akan ketakutan jika harus berurusan dengan Polisi. Selain itu, siapa pun tidak bisa menggertak karateka itu, kan? Walaupun sebenarnya, meminta Kira untuk melakukan hal itu sama artinya dengan melibatkan gadis itu dalam bahaya.

"Ibu, aku pergi keluar sebentar," pamitku. Ibu yang masih merajut di ruang tamu memandang khawatir. "Tidak perlu cemas. Aku sudah bisa karate." Aku mencoba untuk tersenyum lebar seolah tidak ada apa pun. Ibu terdiam, beberapa saat kemudian mengangguk memberiku izin.

"Terima kasih, Ibu," ucapku lalu melangkah pergi dengan berjalan cepat. Memang masih belum pukul lima sore. Tetapi, aku harus datang sebelum orang itu sampai. Aku harus memastikan banyak hal jika tidak ingin hal buruk terjadi.

*

Kalian bisa tebak siapa yang mau ketemu sama Steve, dan apa yang bakalan terjadi di file berikutnya?

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Cinereous CaseWhere stories live. Discover now