File 19

1K 135 9
                                    

"Maaf, jika seandainya kau tidak suka. Tetapi Ibu yakin, suatu saat kau akan mengerti tentang dia," kata Ibu lalu kembali mengecup pipiku. Beringsut keluar dari kamar dengan sebuah senyuman hangat.

Aku menghela napas panjang, untuk ke sekian kalinya. Aku selalu mencoba untuk mengerti. Tetapi yang kutemukan hanya jalan buntu. Tidak ada jawaban selain bayangan saat dia mencoba untuk .... Argh! Sial, kepalaku selalu saja berdenyut keras setiap kali mencoba mengingat kejadian utuhnya.

Sudahlah, Steve. Mungkin ada hal lain yang lebih baik untuk mengusir bisikan menyebalkan itu. Yah, memikirkan kasus ini misalnya. Sejujurnya, aku sedikit menyesal karena meminta mereka untuk keluar dari penyelidikan. Jika seandainya hanya Kira yang bersedia membantu, bagaimana aku bisa menjamin informasi yang diketahui oleh Riyan dan Sisi tidak bocor?

Selain itu, aku masih belum bisa menemukan kesimpulan. Haruskah aku meneruskan penyelidikan ini dan menangkan pelaku — a.k.a. the eraser — yang seolah sedang memperjuangkan keadilan. Seandainya aku menangkap pelaku, secara otomatis perjuangan-nya juga terhenti. Jika sudah begitu, apakah aku tetap berada di pihak keadilan?

Aku belum bisa memutuskannya. Lagipula jika kepolisian mendukung tindakan pelaku, apakah masih ada celah bagiku untuk menangkapnya? Jelas tidak ada. Aku ini hanya seorang siswa SMA yang menjadi detektif amatir demi menghilangkan kebosanan akibat tugas sekolah yang menumpuk.

Apa pun alasannya, aku tidak bisa memaksa jika kepolisian ingin menarik diri dari penyelidikan. Lagipula tidak ada tuntutan bagi kami untuk menyelesaikan kasus ini — seperti yang terjadi tahun lalu — yang membuat kami terpaksa melakukan penyelidikan secara sembunyi-sembunyi.

Bagaimana ini? Aku tidak akan menarik kembali kata-kataku yang sudah telanjur membuat mereka pergi. Tidak, keputusanku tidak salah. Lebih baik aku melakukannya sendiri, dengan aturan yang juga kubuat sendiri. Aku bukan tipe pemimpin. Karena itu, aku yakin bisa dengan mudah melakukannya. Aku tinggal mencari lebih banyak bukti. Hanya itu.

------x---x------

Bel tanda waktu istirahat akhirnya berbunyi. Waktu yang tidak lebih dari dua puluh menit ini harus kumanfaatkan dengan sebaik mungkin. Tetapi bagaimana aku harus menemukan cara pelaku untuk mendapat informasi tentang korban? Kak Adam melarangku mendekati komputer untuk melakukan peretasan. Peraturan yang menyebalkan sekali.

Aku menghela napas panjang, memandang ke sekeliling koridor. Hanya ada pemandangan membosankan. Lebih baik aku berjalan berkeliling bangunan sekolah saja. Siapa tahu aku bisa menemukan orang yang mencurigakan di antara para gadis yang suka berteriak-teriak tidak karuan setiap kali aku lewat. Menurutku, itu adalah respons paling aneh yang pernah kutemui.

Langkahku seketika terhenti melihat beberapa orang yang tak jauh dari tempatku berdiri. Hatiku terasa seperti hangus karena reaksi yang tidak kuketahui secara pasti. Kedua tanganku terkepal geram. Ellion ... apa yang dilakukannya pada gadis itu? Mereka terlihat sangat akrab, tidak bisa diterima.

Aku berjalan mendekat, menggenggam erat pergelangan tangannya. "Kira, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapku cepat lalu membawanya menjauh seraya menatap tajam Ellion yang memperlihatkan senyuman aneh.

"Ada apa?" tanya Kira penasaran setelah aku melepaskan genggamanku. Aku menarik napas perlahan, berpikir apa yang harus kukatakan demi menghindari kesalahpahaman.

"Aku tidak bisa menjelaskannya. Tetapi, kau harus berhati-hati pada anak itu," tegasku. Kira yang sepertinya sudah mengerti dengan gaya seriusku mengangguk mantap tanpa banyak berkomentar.

"Kira, maaf aku lama!" seru seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri. "Hai, lama tidak bertemu," sapanya saat bertatapan denganku. Dia tak lain adalah gadis yang ayahnya memintaku untuk merahasiakan penyelidikan ini, Mia.

"Ergh ... Mia, kayaknya aku nggak bi- ...."

"Tidak apa-apa. Kalian berdua, pergilah," ujarku agar dia tidak curiga jika kami dengan ada kasus. Mia memiringkan kepala heran. Tetapi aku tidak merespons dan segera berbalik. Rencanaku tidak batal, aku akan pergi berkeliling lewat arah yang sebaliknya.

"Ehem! Ternyata kamu di sini ya. Nggak pergi kencan kek kemarin?" ucap gadis bermata empat yang tiba-tiba muncul secara misterius di depanku. Aku menatapnya sebal. Sekarang apa yang dia inginkan? Bukankah dia keluar dari penyelidikan dan tidak ada urusan denganku?

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," sahutku datar. Dasar gadis aneh. Memangnya kapan aku pergi berkencan? Terakhir kali aku keluar  hanya untuk menemui Dokter Hary di kafe X.

"Udah, lupain aja. Ada yang jauh lebih penting daripada ngomongin soal kencan," kata gadis berkacamata itu. Aku hanya diam, enggan merespons. "Aku nggak akan keluar dari penyelidikan ini. Tapi yang jadi gantinya, kamu harus jelasin secara rinci siapa sebenernya anak pindahan yang manggil kamu 'Senior' itu, dan kenapa dia kelas sebelas padahal umurnya lebih tua daripada aku," katanya lagi dengan nada mengancam.

"Ellion?" tanyaku. Sisi berpikir selama beberapa saat, kemudian mengiyakan. "Sebenarnya dia adalah anak angkat dari Kombespol Erlangga. Dia kehilangan orang tua sejak kecil karena sebuah kecelakaan. Aku tidak tahu pasti kecelakaan apa, dia tidak pernah menceritakannya secara detail," jelasku.

"Sekarang jelasin. Darimana kamu kenal dia?" tanya Sisi. Tetapi mengapa kesannya justru seperti sedang menginterogasi? Selalu saja mengacaukan rencanaku.

"Aku tidak ingat kapan. Tetapi aku mengenalnya lewat direct message yang dia kirimkan padaku. Dia berkata jika dia juga seorang hacker komputer sepertiku. Entah bagaimana caranya dia bisa tahu, tetapi sejak saat itu dia sering bertanya banyak hal padaku, termasuk tentang sekolah kita," terangku lagi.

Tunggu sebentar! 'Bertanya banyak hal.' Mengapa aku melewatkan fakta itu. Ellion sudah mengetahui setiap detail, bahkan dari jauh sebelum ia pindah. Artinya, dia sama sekali tidak akan mengalami kesulitan berarti saat ingin melakukan apa pun di sekolah ini. Selain itu, korban terus bertambah setiap harinya setelah dia pindah sekolah.

Selain itu, mengapa aku bisa lupa? Hacker bisa dengan mudah mendapat informasi apa pun yang mereka inginkan, dengan atau tanpa diketahui oleh siapa pun. Bahkan aku juga sering melakukannya. Pelaku bisa mendapatkan informasi lengkap tentang korban, tentu saja itu adalah jawabannya.

Bahkan di hari sebelum dia kemari, kepala sekolah kami menjadi korban. Jelas itu bukan hal sulit bagi si pelaku. Aku mengerti sekarang. Percakapan tak berguna dengan gadis bermata empat ini ternyata membawaku menuju kesimpulan yang sebenarnya. Hanya tinggal mencari bukti yang bisa memperkuat deduksi.

"Hmm ... gitu ya? Ya udah, kamu boleh pergi, deh. Makasih infonya," ucap Sisi lalu beranjak pergi meninggalkanku.

"Sisi," panggilku lagi sebelum terlalu jauh. Gadis itu hanya mengangkat kedua alis. "Tidak ada. Seharusnya, aku yang berterima kasih," ucapku singkat. Sisi tampak heran, tetapi aku mengabaikannya.

Aku tak acuh melangkah pergi. Memperlihatkan senyum miring. Tentu saja, semuanya masuk akal sekarang. Meskipun aku belum memutuskan apakah harus menangkapnya atau tidak, setidaknya aku sudah tahu orang di balik nama the eraser. Sudah kuduga, pelakunya ... pasti orang itu.

*

Wahahaha .... (ketawa jahat lagi 😂). Menurut kalian siapa 'orang itu' yang dimaksud Steve. Ayo dong jawab. Ichi juga penasaran, apakah pemikiran kita sama 😀.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Cinereous CaseWhere stories live. Discover now