File 28

1.1K 143 30
                                    

"Orang yang telah membunuh mereka — para koruptor — tak lain adalah ...." Aku terdiam sejenak, mengarahkan jari telunjukku pada si pelaku yang mengatasnamakan keadilan.

"Kombespol Erlangga, Andalah pelakunya," ujarku. Semua yang berada di tempat ini terheran-heran mendnegarnya, termasuk orang yang kumaksud.

"Woi, Steve. Jangan ngomong yang aneh-aneh," ucap Sisi yang berdiri tepat di belakangku. Hmph, kurasa aku berhasil menbuat mereka terkejut.

"Hei, berhentilah bermain-main, Steve," sambung Kak Adam. Loyalitas, itulah yang terkadang membuat orang sulit menerima kebenaran.

"Aku tidak sedang bermain-main, Kak. Pelakunya memang dia. Sejak awal memang sudah kuberitahu jika si pelaku memiliki hubungan khusus dengan Kombespol Erlangga. Ya, hubungan khusus yang kumaksud itu 'pelakunya adalah dirinya sendiri'," jelasku. Kak Adam masih tampak tidak percaya, begitupun dengan Ipda Randy.

Sementara itu, Kombespol Erlangga menatapku dingin. Aku membalas dengan tatapan yang hampir sama persis. Aku sama sekali tak gentar oleh sorot mata itu. Karena kulakukan tak lain adalah meluruskan keadilan yang dia salah pahami. Keadilan yang sebenarnya ditegakkan dengan cara yang tidak menyalahinya.

"Saya tahu, kau memiliki potensi untuk menjadi seorang detektif sungguhan. Saya tidak akan marah jika ucapanmu itu didasari bukti," kata Kombespol Erlangga dingin. Perkataan yang secara tidak langsung berhasil memojokkanku.

"Baiklah, saya memang tidak memiliki banyak bukti. Tetapi saya harap semoga ini cukup," ujarku memulai deduksi. "Tidak ada petunjuk berarti di rekaman CCTV, juga keterangan para saksi. Tentu saja itu sangat aneh jika pelaku adalah orang yang awam dalam dunia kriminal. Pelaku sudah mengetahui semua letak pasti kamera CCTV sehingga bisa memanfaatkan blind spot."

"Lalu, waktu kematian para korban tak menentu. Bahkan ada yang tewas pukul sembilan malam. Tempatnya juga cukup terbuka. Jika pelaku adalah warga sipil biasa dan terus berkeliaran di sekitar sana, tentu saja akan menimbulkan kecurigaan orang-orang yang melintas pada jam-jam itu.

"Lalu mengenai Kepala Sekolah kami, itu seharusnya menjadi hal yang asngat mudah untuk ditebak karena  Ellion pindah keesokan harinya. Sangat wajar jika Anda datang ke sekolah kami sebelum hari kepindahan. Anda juga sudah beberapa kali datang ke sekolah ini, jadi menghindari CCTV sama sekali bukan hal sulit," jelasku.

"Hanya itu?" tanya Kombespol Erlangga datar. Namun aku bisa mendengar anggapan remeh yang ditujukan untukku.

"Saya baru pemanasan," sahutku kemudian tersenyum sinis. Walaupun masih ada rasa pesimis, aku melakukan ini agar dia merasa terpojok dan segera mengaku. "Nama samaran pelaku, the eraser, membuatku merasa ada kejanggalan dalam penyelidikan ini. Bukan karena artinya, tetapi karena reaksi Anda saat menemukan pesan yang ditinggalkan pelaku.

"Anda tetap menganggap ini bukan pembunuhan berantai. Anda menganggap jika setiap para pelaku meniru modus kasus sebelumnya. Padahal, Anda melihat dengan mata kepala Anda sendiri jika setiap pesan mempelihatkan nama samaran yang sama. Menurut logika, apa mungkin seseorang yang tidak ada hubungannya dengan Kepolisian mengetahui persis pesan serta nama samaran pelaku?" aku memberikan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dengan maksud memojokkan si pelaku.

"Di koran, hanya dijelaskan jika korban mendapat luka di bagian dada kiri. Jadi sangat mustahil bagi seseorang untuk mengetahui setiap detail dengan rinci. Tetapi Anda tetap mengatakan jika ini bukan pembunuhan berantai. Sebagai Polisi yang berpengalaman, saya ragu Anda tidak bisa mengetahui ini. Karena itu, saya yakin jika Anda melakukan itu untuk menghindarkan diri dari kecurigaan," ujarku lagi.

"Ngomong-ngomong soal anak angkat Anda, Ellion. Sepertinya dia adalah anak yang berbakti ya," ungkapku sembari menyingkirkan rambut yang kembali mengganggu penglihatan.

[END] High School of Mystery: Cinereous CaseWhere stories live. Discover now