File 22

974 129 13
                                    

"Kak Adam, sebenarnya ada apa?" tanyaku. Yang ditanyai hanya menghela napas panjang sebagai jawaban. "Kau sampai tidak mengenali adik sepupu sendiri. Pasti ada yang salah."

Kak Adam kembali menghela napas panjang. Ekspresi serius tergambar dengan jelas. "Aku diminta keluar dari penyelidikan," ucapnya. Aku mengernyit bingung, bagaimana itu bisa terjadi?

"Sebaiknya kita bicara di dalam saja," saranku. Kak Adam hanya mengiyakan lalu tanpa banyak komentar berjalan menuju kursi sofa di ruang tamu. "Bisa Kakak jelaskan sekarang?" tanyaku sembari mengambil posisi tiduran di salah satu tempat yang kosong.

Kak Adam kembali menghela napas panjang. "Apa yang harus kujelaskan? Semua sudah jelas. Aku ini aparat penegak hukum yang payah," ujarnya kesal sambil menyandarkan tubuh dengan keras. Aku hanya diam tanpa suara saat dia mengusap wajahnya karena frustasi.

"Apa Kakak berbuat kesalahan? Bisa Kakak jelaskan kronologinya?" tanyaku lagi. Aku membenarkan posisi menjadi duduk tegak dengan ekspresi serius yang biasa.

"Kemarin, saat aku masih saja memeriksa kamera CCTV, Komandan bertanya apakah aku mendapatkan sesuatu atau tidak. Tentu saja aku menjawab dengan jujur jika aku belum mendapatkan apa-apa. Lalu, yah ... kau sepertinya tahu sendiri apa yang dikatakan Komandan," paparnya. Ergh, penjelasan macam apa ini? Mengapa dia masih menyiskan misteri seperti trailer film?

"Kalau begitu biar kutebak. Kombespol Erlangga pasti berkata, 'keterlaluan jika kau tidak mendapatkan petunjuk, pantas saja kau belum bisa menemukan wanita untuk kau nikahi'," ujarku tanpa beban dan tanpa intonasi yang berarti.

"Jangan mengejek!" sentaknya. Aku hanya mengedikkan bahu tidak peduli. Yah, dia sendiri kan yang menyuruhku untuk menebak kelanjutan ceritanya. "Komandan hanya berkata, 'Keluarlah dari penyelidikan ini.' Itu pun masih dengan nada yang bersahabat, tidak sarkas. Tapi aku yakin ini semua karena aku tidak becus memeriksa rekaman CCTV," jelasnya. Aku mengangguk paham, setelah mengabaikan sindiran yang ditujukan kepadaku.

Jika bukan karena rekaman CCTV itu, lalu apa yang menyebabkan Kak Adam yang selama ini selalu loyal pada atasan diminta keluar dari penyelidikan? Aku yakin, Kak Adam sudah berusaha mati-matian menuntaskan kasus ini. Tidak mungkin dia dikeluarkan karena tidak bisa bekerja dengan baik. Jika memang itu penyebabnya, dia pasti sudah dikeluarkan sejak dulu.

Setahun lalu, dia mengajakku untuk terlibat dalam penyelidikan ini, dan Kombespol Erlangga menerima dengan senang hati. Meskipun aku tahu tujuan Kak Adam adalah agar aku tidak lagi melakukan peretasan komputer. Lalu, Kak Adam baru diminta keluar setelah aku mengungkapkan hipotesaku di hadapan Komisaris Polisi itu.

Tidak salah lagi, ini adalah rencana pelaku. Pelaku berpikir jika aku tidak akan melanjutkan penyelidikan jika Kak Adam keluar. Dia pasti merasa terpojok dengan analisisku. Aku tidak menyangka jika pemikiran pelaku sependek ini. Tentu saja aku akan semakin yakin dengan kesimpulan yang kudapat jika dia melakukan hal ini.

"Kak Adam, menurutku kau dikeluarkan bukan karena rekaman CCTV itu. Ini pasti salah satu rencana pelaku," ucapku. Kak Adam tampak terperanjat. Sesaat kemudian memasang wajah antusias.

"Hei, jangan melantur. Atau jangan-jangan kau mau mengejekku lagi. Mana mungkin Komandan mudah terpengaruh dengan ucapan para pelaku kriminal!" serunya. Aku menggeleng seraya meperlihatkan senyuman bangga.

"Ya, itu tidak mungkin kalau seandainya pelaku tidak memiliki hubungan khusus dengan Kombespol Erlangga," sanggahku. "Pelaku-lah yang merencanakan semuanya. Dia berpikir jika Kakak keluar dari penyelidikan, aku akan berhenti. Dia pasti melakukan ini karena merasa terpojok dengan analisisku. Hmph, apa dia berpikir aku tidak tahu identitasnya?"

"Kau sudah tahu pelakunya?" tanya Kak Adam tidak percaya bercampur penasaran. Aku tersenyum miring seperti detektif dalam film. "Jangan tersenyum seperti itu, kau terlihat seram. Nanti tidak ada gadis yang tertarik padamu," katanya dengan raut wajah yang berubah menjadi datar.

"Tentu saja, idealisme yang terlalu tinggi terkadang membutakan. Itulah yang membuat pelaku kehilangan rasa keadilannya yang sudah seperti puncak Everest. Tanpa rasa bersalah melakukan tindak kriminal dengan mengatasnamakan keadilan," jelasku sambil merebahkan kembali tubuh di atas sofa.

Kakak sepupuku berdecak-decak kesal. "Bisa jelaskan secara spesifik? Atau langsung saja katakan siapa pelakunya," pinta Kak Adam.

"Tidak akan kuberitahu," tegasku. "Aku masih kekuarangan bukti untuk menyeretnya ke balik jeruji besi. Akan kuberitahu jika kau mau memberiku rekaman CCTV itu. Kakak mau? Ini pertukaran yang adil."

"Aku tidak akan menjual integritasku demi nama pelaku yang cepat atau lambat pasti terungkap," sahutnya sok idealis. Aku menghela napas panjang. Memang sulit membuat kesepakatan dengan orang dengan loyalitas tinggi.

"Baiklah, kalau begitu aku punya rencana yang lebih baik agar kau diterima kembali. Kakak hanya diminta keluar kan, belum dikeluarkan secara resmi?" Kak Adam mengangguk lemah. "Katakan pada Kombespol Erlangga jika aku sudah menyerah dengan penyelidikan ini. Dengan begitu, kau pasti akan diterima kembali," jelasku.

"Hei hei, tidak akan semudah itu membujuk Komandan," protesnya.

"Aku belum selesai bicara. Jika bisa, lakukan dengan se-natural mungkin. Yah, Kakak bisa menggerutu seperti ini, 'Adikku memang payah. Jika aku tahu niatnya menyelesaikan kasus hanya lima puluh persen, aku tidak akan mengajaknya.' Lakukan seolah Kakak tidak sedang melapor pada Kombespol Erlangga," jelasku lagi. Kak Adam kembali mengangguk lemah, tampak jelas jika dia masih ragu dengan rencanaku.

"Rencana yang bagus, tapi aku masih ragu," ungkapnya.

Aku hanya mengedikkan bahu. "Jika Kakak ingin benar-benar dikeluarkan, aku tidak bisa memaksa. It's up to you," ujarku.

"Kau ini masih saja seperti dulu," ejek Kak Adam. Aku hanya mengangkat alis sebagai tanggapan. Aku yakin, di sudut hati yang terdalam, Kak Adam masih berharap bisa tetap terlibat dalam penyelidikan. Aku yakin sembilan puluh sembilan koma sembilan persen.

Sekarang, aku punya satu rencana baru. Aku akan memeriksa posisi kamera CCTV di sekitar tempat kejadian. Aku berpikir ada blind spot yang kemungkinan sudah bisa dibaca pelaku sebelum melakukan aksinya sehingga Kak Adam tidak menemukan apa pun dalam rekaman itu.

*

Entah kenapa akhir-akhir ini Ichi nggak dapet feel waktu mau nulis. Padahal udah sampe di klimaks. Segala cara sudah kucoba untuk dapetin si feel itu. Tapi nggak bisa. Mungkin Ichi perlu istirahat kali ya?

Maap ya, Minnasan. Update-nya dikit. Ini pun sebenernya draft yang udah beberapa hari kesimpen di word. Kita sambung di file selanjutnya aja. Oke 😀. Maap kalo misalnya nanti tiba-tiba nggak update. Makanya doakan si mbak yang namanya "feel" itu cepetan balik.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Cinereous CaseWhere stories live. Discover now