File 7

1.2K 140 3
                                    

Aku mengamati kelopak mataku yang tampak menghitam. Benar-benar terlihat kontras dengan kulit pucatku. Insomnia memang tidak baik untuk kesehatan. Jika begini, aku bisa disangka sebagai panda yang kabur dari kebun binatang. Sekarang, tidak ada yang bisa kusalahkan selain bayangan masa lalu yang selalu mengganggu. Menyebalkan sekali.

"Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?" tanya sopir pribadi ayahku bersamaan dengan turunnya kaca mobil yang aku gunakan untuk bercermin, yang bahkan sempat kupukul sebagai pelampiasan kekesalan. "Apa perlu saya antar, Tuan Muda?"

Aku segera berbalik menuju halte bus terdekat tanpa mengucapkan sepatah kata, kecuali alis yang terangkat sebagai isyarat jika aku sudah bosan dengan pertanyaan yang seolah tidak ia ketahui jawabannya. Apa rutinitas pagi ini tidak bisa berubah walaupun hanya sehari. Aku sudah bosan mendengar pertanyaan yang selalu sama setiap hari.

Aku menghempaskan diri di salah satu tempat duduk kosong. Manatap ke luar jendela bus yang mulai berjalan. Berharap bisa menemukan ketenangan. Namun sayangnya tidak. Trauma seolah sudah mendominasi seluruh sudut kehidupanku.

Atau memang semua ini akan selalu sama, membosankan. Seperti hidupku yang hampir tidak pernah berubah hingga sekarang. Semuanya seperti rekaman video yang terus berputar dalam otakku tanpa ada perubahan. Mengerikan sekali, hingga aku hanya bisa memandang horor dari pojok ruangan seperti anak kecil. Bahkan mungkin, aku masih tak ada bedanya dengan hari itu.

Kepalaku berdenyut nyeri, hampir bersamaan saat aku turun dari bus. Oh sial, sebaiknya aku segera pergi ke tempat dimana bayangan itu tidak pernah muncul, ruang kelasku. Aku memang tidak mengerti mengapa, rasanya memang sedikit aneh jika bayangan itu memilih tempat untuk muncul. Itu sebabnya aku sering tidur di kelas. Baiklah, Steve. Tiga puluh menit sebelum bel masuk kelas sudah lebih dari cukup untuk meredakan rasa sakit ini.

"Kak Edward!" Suara itu terdengar tepat sedetik setelah aku meletakkan kepalaku di atas meja. Aku berdecak kesal kemudian memandang lurus ke arah pintu, ke arah seseorang yang melanggar isi 'kesepakatan' kemarin sore. "Kak Ed- ... eh! Maksudku, Kak Steve!" serunya lagi. Apa dia pikir suaranya itu tidak membuat burng-burung yang hinggap di atap sekolah langsung beterbangan?

"Apa?" Aku mengusap mata yang terasa perih, sesaat kemudian menguap lebar sembari meregangkan tubuhku yang terasa pegal. Ah, apa anak ini tidak bisa melihat kelopak mataku yang menghitam akibat terjaga semalaman?

"Maaf mengganggu tidur pagimu, Kak. Tapi  ini benar-benar mendesak," katanya. Aku tetap bergeming, apa yang dia katakan masih belum jelas. "Aku menemukan korban lagi, Kak." Nah, sekarang barulah ucapannya bisa deisebut 'penjelasan'. Jika seperti ini, aku sudah tahu apa yang akan dan harus kulakukan.

Riyan berjalan cepat di depanku. Aku hanya mengikuti arahnya dengan berjalan santai. Lagipula, insomnia membuatku lelah sehingga harus menghemat energi sebanyak mungkin. Dia tampaknya sedikit panik walaupun ini bukan kali pertama dia menemukan mayat. Hmm ... kurasa dia harus belajar untuk bersikap tenang di saat seperti ini.

"Catat Riyan! Ini ketiga kalinya kau menemukan mayat," sentakku saat Riyan menunjukkan lokasi dimana satu korban lagi ditemukan terkapar tak jauh dari tempat kemarin. Tanpa pikir panjang, aku segera mendekati korban untuk memastikannya. Aroma amis pekat menguar. Aku mencoba untuk menutup hidung, tetapi aroma itu masih bisa tercium dan membangkitkan kembali ... infinity illusion.

Penglihatanku memudar, digantikan oleh sebuah pemandangan mengerikan yang terlihat seperti video berkualitas tinggi. Tampak begitu nyata, hingga aku tidak lagi bisa membedakan yang nyata dan yang hanya ilusi.

Di antara cahaya remang-remang, aku hanya bisa duduk meringkuk ketakutan. Tubuh kecilku kini dipenui sayatan melintang dimana-mana yang menyebabkan pendarahan hebat. Sakit, benar-benar sakit. Tapi, apa yang bisa kulakukan selain memeluk lutut? Aku tidak bisa menghentikan pendarahan, juga rasa takut ini.

"Rupanya kau masih di sini." Aku terperanjat mendengar suara itu. Suara yang sama seperti saat itu. Sebuah kilatan muncul dari sebuah pantulan cahaya benda yang dipegangnya. Meskipun aku tahu jika itu tidaklah tajam, rasa takutku sama sekali tidak hilang. Justru semakin besar.

Seluruh tubuhku gemetar saat pemuda itu mengangkat benda yang dipegangnya itu tinggi-tinggi. "Siapa pun tolonglah. Jangan bunuh aku, kumohon," gumamku berulang-ulang. Namun, seringai kejam justru tercetak jelas di bibir pemuda itu. Suara tawa menggema di seluruh penjuru ruangan yang sama sekali tidak kukenali ini.

"Matilah kau, Steve," ucap laki-laki itu di ujung tawa jahatnya. Ini benar-benar menyakitkan. Aku sudah muak dengan semua ini. Kumohon hentikan. Jangan bunuh aku .... Aku mohon, jangan ....

Aku hanya bisa menatap pasrah ujung pisau mengkilat yang semakin dekat. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. "Baiklah, Steve. Kurasa ini saatnya untuk mengucapkan ...." Mataku melebar. Tubuhku sudah tidak bisa bergerak lagi walaupun hanya satu inchi karena energiku yang semakin terkuras habis.  " ... selamat tinggal."

.....

"Kak Steve!" Perlahan. Aku bisa mendengar Riyan berseru-seru memanggilku sambil menepuk bahuku beberapa kali. Dia sukses membuat kesadaranku kembali penuh. Napasku tersengal, seolah tidak melakukannya selama dua menit terakhir. Kedua tanganku juga masih saja bergetar.

"Apa yang .... Ada apa sebenarnya ini?" gumamku. Kini aku sadar jika sejak tadi aku memang dalam posisi terduduk. Kepalaku kembali berdenyut nyeri. Bahkan setelah kembali ke alam nyata pun, rasanya masih saja menyakitkan.

"Kakak tidak apa-apa?" tanya Riyan cemas. Aku tidak menjawab. Dari segi manapun, aku tidak bisa disebut baik-baik saja. "Tadi, aku dengar kau berkata-kata aneh seperti ... 'siapa pun ... tolonglah', 'jangan bunuh aku ....' Aku khawatir sekali. Padahal tidak ada yang ingin membunuhmu," jelasnya. Aku hanya mengangguk samar.

"Tolong jangan bahas itu lagi, Riyan," ucapku seraya bangkit lalu mendekati mayat itu lagi. Sejauh ini aku tidak khawatir, karena biasanya ilusi itu tidak akan muncul dua kali dalam waktu yang berdekatan.

Aku bisa melihat sebuah luka tembak di bagian dada korban. Kemungkinan itulah penyebab kematiannya, berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya. Estimasi waktu kematian cukup lama, sekitar sembilan jam yang lalu. Tidak ada bukti lain yang terlihat. Sebaiknya aku harus segera meminta seseorang yang berada di sekitar sini untuk menghubungi polisi.

"Riyan, cepat cari bantu- ...." Aku tidak bisa melanjutkan ucapanku saat menyadari jika yang diajak biacara tidak ada di tempatnya. Sial, kemana anak itu pergi? Mengapa dia justru menghilang di saat seperti ini?

Tiba-tiba, aku mendengar beberapa suara langkah dari belakang. Ternyata penjaga sekolah yang datang bersama Riyan  yang entah sejak kapan bisa membaca keadaan. Padahal aku baru saja hendak menyuruhnya berlari menuju kantor polisi jika dia tidak menemukan orang untuk dimintai bantuan. Tapi yah, bagus kalau dia sudah bisa membaca keadaan. Aku tidak perlu membuang waktu dan energi untuk menceramahinya habis-habisan.

*

Update kali ini agak pendek ya. Yah, karena sempet jelasin infinity illusion yang juga potongan ingatan Steve.

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] High School of Mystery: Cinereous CaseWhere stories live. Discover now