TIGA PULUH: Never Let Go

5.7K 1.2K 224
                                    

Now Playing: Seventeen - Un Haeng Il Chil

***

"Setiap memori yang diperlihatkan kembali, semuanya terasa indah."

***

Ochi tak ingat sudah berapa lama, ia tak merasakan meja makannya seramai ini. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, melihat Bundanya dan Tante Naya bercengkrama di ujung meja. Ayahnya dan Om Aldi yang sedang bertukar candaan, ataupun Tama yang senang sekali menggoda Hanan akan foto pemotretannya. Ia masih tak mengerti, bagaimana bisa sepupunya itu begitu cepat akrab dengan Hanan.

"Dimakan itu." Suara Alwan yang menegurnya berhasil memecah lamunan Ochi. Ia menoleh, mendapati Alwan yang sedang melahap rotinya dengan alis berkerut. "Kenapa sih? Seneng banget kayaknya. Gak mikir jorok kan?"

Cepat-cepat pundak Alwan dipukul, oleh Ochi. Bagaimana bisa sahabatnya itu berpikir bahwa ia berpikir yang tidak-tidak? Tak sadarkah ia kalau Ochi bahagia karena semenjak Alwan mengingat mereka, pemuda itu seolah diam-diam berusaha menebus waktu yang terbuang. Namun, dibandingkan mengeluarkan seberapa bahagianya ia Ochi memilih berdecak lantas memakan makanannya.

"Kata Alwan, kamu ikut klub tari ya Chi?"

Pertanyaan Naya, berhasil mengalihkan atensi Ochi. Ia melirik Alwan sebentar yang memilih diam saja seraya membuat roti lapisnya yang ketiga. "Iya, Tante. Aku ikut klub tari yang isinya tuh kita nari sambil galang dana gitu loh. Jadi, hasil dari kita nari di tempat-tempat ramai itu kami gunain buat berbagi ke  yang membutuhkan."

"Kemarin baru aja kunjungan ke panti tempatku dulu loh, Tante Naya." Tama menyahut, seolah bangga akan pencapaian Ochi. "Bentar lagi, dia juga mau lomba cheers dan koreonya Ochi yang bikin tante."

"Wah,hebat banget kamu Chi." Naya berseru senang, terlihat sekali bangga akan apa yang ia dengar. "Apalah Alwan kerjaannya cuman belajar terus. Dia bahkan minta izin ke tante selalu soal dia ambil les baru. Sampai bosen loh tante."

"Apa sih Ma? Kemarin aku kan udah minta berhenti 2 les." Alwan memprotes, tak terima akan keluhan sang Mama. "Cuman sisa les yang aku minatin aja."

"Bentar, Kak." Suara Hanan mengintrupsi pembicaraan, ia mengerutkan dahi ke arah Alwan. Terlihat sekali kebingungan. "Lo les karena minat?" anggukan kecil Alwan berhasil membuatnya berdecak tak percaya. Ia memang mendengar dari sang ayah, bagaimana calon kakaknya itu begitu tergila-gila belajar dan pintar. Namun ia tak menyangka, akan sampai di level ia les karena minat bukan karena merasa kekurangan kemampuan di pelajaran tertentu.

"Jadi, les yang lo minatin itu sisa apa aja?" tanya Tama jadi penasaran juga. Ia mengaduk-aduk nasi gorengnya agar tercampur dengan bawang goreng yang baru ia tambahkan.

"Apa ya? Matematika, pelajaran MIPA sama gue lagi ambil sertifikasi buat bahasa Jepang sama China."

Jawaban tenang Alwan, justru membuat Tama tersedak nasi gorengnya sendiri. Aldi yang duduk tepat disebelahnya jadi terkekeh pelan dan menepuk-nepuk pelan pundak pemuda itu seraya memberikan air putih. Hanan mengerjapkan mata, walau sudah tau namun tetap merasa terkejut. Ia lantas berpandangan dengan Tama, sebelum menatap Alwan dengan mata menyelidik.

"Kak, lo manusia kan?"

"Wan,lo manusia kan?"

Di samping Alwan, Ochi sudah tersenyum kecil. Pantas saja satu angkatan tidak ada yang bisa menggeser posisi Alwan dari peringkat teratas, ataupun dari lomba-lomba yang ia ikuti. Ia mengakui bahwa sejak kecil pemuda itu memang sudah cerdas, ditambah keinginan belajarnya yang begitu tinggi membuatnya semakin cerdas.

"Wah, bahagia sekali kalian."

Sindiran yang diucapkan dengan keras itu, berhasil membuat semua orang terdiam. Seketika mereka menoleh, lantas mendapati beberapa orang dengan wajah tak ramah berdiri di depan ruang makan. Salah satu ART rumah Ochi nampak memasang wajah penuh penyesalan, karena tak bisa melarang orang-orang itu tak asal masuk.

Recallove [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang