Delapan Belas: Hukuman

6.7K 1.2K 108
                                    

Now Playing:  BTOB - Only One For Me

***

"Sekarang aku mengerti kenapa kau tak mengenalinya langsung. Dia terlihat baik-baik saja, ada ataupun tidak adanya kita. Begitu baik-baik saja, hingga ia terasa asing."

***

"Selamat malam."

Kedua mata bulat Ochi melebar, keterkejutan terlihat jelas di wajahnya. Dahinya sedikit mengernyit, berpikir terlalu keras untuk memastikan orang yang ada di depannya memanglah orang yang sedang ia pikirkan. Sementara itu pria yang berdiri di depannya mengulas senyum lembut, nampak rapi dengan setelan jasnya. Terlalu formal untuk sekedar berkunjung.

"Kamu ingat saya bukan?" ucapnya menyadarkan Ochi dari keterkejutan. Pandangannya segera teralih ketika mendengar suara langkah mendekat dari belakang tubuh Ochi. Senyumnya semakin melebar, ketika mendapati sosok Tama yang mendekat. "Om gak nyangka ada Tama juga."

"Om Dikta," sapa Tama lirih entah kenapa menjadi gugup. 

Ia ingat betul siapa sosok di depannya, salah satu paman Alwan. Satu-satunya orang yang tidak menyalahkan Mama Alwan ketika kecelakaan itu terjadi, satu-satunya pula yang tidak berteriak penuh kemarahan. Ketika keluarga ayah Alwan dengan tidak tau malunya berdebat di depan sahabatnya yang berada diantara hidup dan mati. Om Dikta.

Entah bagaimana orang itu tau alamat mereka, yang jelas reaksi pertama orangtua Ochi kaget tentunya. Mereka juga masih mengingat sosok Om Dikta, yang tidak terlihat berbeda jauh dari bertahun-tahun yang lalu. Masih dengan ekspresi bingung, Tama dan Ochi berdiri bersisian memperhatikan bagaimana Om Dikta disambut begitu ramah dan basa-basi mengenai kehidupan keluarga Alwan. Basa-basi, karena siapapun tau bahwa mereka baik-baik saja.

"Saya kesini mau memberi kabar soal Alwan, ke Ochi dan Tama." Ucapan Dikta sukses membuat Tama dan Ochi menoleh ke arahnya. Akhirnya menyinggung terang-terangan maksud kedatangannya tanpa diminta. "Maaf baru bisa memberi kabarnya ke kalian setelah bertahun-tahun. Pasti amat sangat membosankan menunggu."

"Gak masalah, kami ngerti kok Tante Naya sangat sibuk. Lagian aku sama Ochi udah ada rencana buat nyapa Alwan-"

"Jangan."

Ucapan Tama langsung terhenti ketika Dikta melarang begitu saja. Ia mengernyitkan dahi, tak paham akan maksud larangan itu. "Pardon?" tanyanya berlagak tidak mendengar meski ucapan Dikta terdengar cukup jelas di telinganya.

"Mengapa jangan? Bukannya Alwan terbangun dari koma, dan melupakan beberapa ingatannya seperti peringatan dokter? Ochi jelas mengatakan Alwan tak mengingatnya sama sekali, padahal wajahnya tak begitu berubah dari dulu." Kini giliran ayah Ochi yang menyela, merasa bingung. Ayolah, dia tau betul bagaimana ketiga teman masa kecil ini dipisahkan dan terus larut dalam rindu. Dan ketika kesempatan itu ada, justru dilarang?

"Ketika terbangun, Alwan melupakan beberapa ingatannya. Dia juga mengalami PTSD yang membuatnya masih ditangani sampai saat ini. Dia mengunci ingatannya dari ingatan buruk yang ada, dan setiap ingatan itu berusaha terbuka. Alwan jelas tersiksa," jelas Dikta mengeluarkan salah satu map coklat berlabel sebuah rumah sakit. "Om bicara sesuai fakta, ini ada kopian rekam medis Alwan selama beberapa tahun ini. Dan grafik menunjukkan baik mental dan fisik Alwan sangat mengkhawatirkan ketika ingatan-ingatan itu muncul."

"Jadi, Om Dikta sebenarnya mau kita gimana?" tanya Ochi tak berniat memegang rekam medis, sementara Tama sudah membukanya tergesa-gesa. Rasa-rasanya ia sudah tau apa yang ingin disampaikan Dikta.

"Tolong banget, kalian gak maksa Alwan untuk inget kalian. Atau inget masa lalunya, dia belakangan ini suka nyelidikin masa lalunya lagi. Terakhir dia ngelakuin ini, dia harus istirahat selama satu minggu lebih." Dikta menoleh ke Ochi dengan senyum menenangkannya. "Dan kamu tau betul Alwan sedang mempersiapkan diri dalam lomba, kamu gak mau dia istirahat kan?"

Recallove [Tamat]Where stories live. Discover now