Dua Puluh Tiga: Tears

7.3K 1.4K 171
                                    

Now Playing: Raisa - Lagu Untukmu

***

"Terima kasih sudah menunggu, dan tetap menjadikan kami sebagai rumah."

***

Selama bertahun-tahun mengenal Tama, ini pertama kalinya Ochi melihat sorot mata tajamnya. Tak ada kesan hangat yang biasa diberikannya, dingin dan terselip kemarahan yang sebisa mungkin ia sembunyikan. Ia sempat terdiam saat Tama berani sekali melemparkan tuduhan pada nenek Alwan yang langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia sebenarnya tak paham apa yang terjadi, ataupun apa yang Tama ketahui. Tapi, tangan Tama yang diam-diam menggengam tangannya di balik punggungnya menandakan kalau pemuda itu masih ada sedikit ketakutan di hatinya.

Berhadapan dengan Nyonya besar Kusuma jelas bukan hal yang main-main. Cukup dengan satu bisikan atau jentikkan jari, ia bisa menjatuhkan siapapun dan sebesar apapun kekuasannya. Beliau mungkin bukan di puncak tertinggi keluarga kalangan atas, tapi ia salah satunya. Keluarga Ochi yang hanya mengandalkan usaha arsitektur sang ayah, dan Tama anak dari diplomat jelas cukup mudah untuk dibuat jatuh olehnya. 

"Kamu menuduh saya?" tanya Nenek Alwan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Sedikit tak menyangka pemuda polos yang ditemuinya beberapa tahun lalu, amat sangat berani melawannya sekarang. Bahkan melemparkan sebuah tuduhan yang terdengar cukup keji bagi siapapun. Wajahnya berusaha tetap terlihat tenang, namun jelas terlihat kalau pertahanannya sedikit goyah akan serangan mendadak tadi.

"Tidak, hanya heran saja. Om Indra meninggal dunia dalam kecelakaan, dan kunci dari apa yang terjadi malam itu ada di ingatan Alwan yang terkunci. Apa nenek tidak penasaran? Kalau aku sih penasaran, apalagi Om Indra anak kesayangan nenek tapi sayang memberontak keluarganya sendiri." balas Tama diam-diam menyadari ada sebuah pergerakan dari sudut matanya. Ia menarik senyum lagi, seolah perkataanya tak membuat Nenek Alwan seolah terhantam sesuatu.

"Kamu tau apa soal cucu saya? Saya benar-benar menyayanginya, pengembalian ingatan itu mengharuskannya menghadapi segala traumanya. Dia harus kembali mengonsumi obat penenang, dan mengunjungi psikiater lebih sering lagi. Kamu tau apa?" tuduh Nenek Alwan dengan nada bergetar, antara menahan amarah dan kesedihan yang entah tulus atau tidak.

Tama beranjak dari sofa, sedikit menunduk sebelum menatap  kembali Nenek Alwan. Perempuan paruh baya di depannya sedikit terkesiap, tak menyangka akan tatapan dan senyuman yang ia lihat dari Tama. Sebuah senyuman yang terlihat begitu mengejek.

"Aku tau banyak hal yang bahkan tak diketahui cucu nenek sendiri, termasuk fakta bahwa nenek tak pernah mencintai Alwan." Ucapan Tama berhasil memancing kemarahan Nyonya besar Kusuma itu, hingga sebuah suara lain bergabung dalam percakapan mereka.

"Apa maksud lo?" Tepat di depan pintu utama, Alwan berdiri tegap disana menatap sang Nenek datar. Kardus yang ia bawa diserahkannya ke Bagas yang menatap ke dalam rumah penuh rasa penasaran. Ia berjalan mendekat, bergabung dengan sang nenek.

"Alwan, kamu-"

"Fakta apa yang diketahui Tama tapi tak aku ketahui?" potong Alwan sedikit mengambil langkah mundur ketika sang nenek berusaha menggapai wajahnya.

Tatapan Alwan penuh kebingungan dan juga kecurigaan, tertuju jelas pada sang nenek yang sedikit panik. Tama menatap Alwan sesaat, lantas tersenyum sedih sebelum akhirnya menaiki anak tangga. Ochi menatap Alwan cukup lama, hingga akhirnya menghela nafas dan menyusul sepupunya ke kamar.

Recallove [Tamat]Where stories live. Discover now