Tiga Puluh Tujuh: The War

6.7K 1.2K 594
                                    

Now Playing: IOI - Whatta Man

***

"Lo gak akan mau tau, apa aja yang bisa Alwan lakuin kalau dia udah marah."

***

"Jadi hari ini, ortu lo balik?"

Tama mengangguk kecil, masih memfokuskan diri untuk menyetir. Di depan sudah terlihat jelas, gerbang DHS dan murid-murid yang mulai berdatangan. Ia memasukkan potongan terakhir stroberi ke dalam mulut, lantas memberikan kotak bekalnya pada Ochi yang duduk di belakang. "Kemarin sih gue ditelponnya gitu, makanya pakaian gue dirumah Ochi udah dipindah ke rumah gue sendiri."

"Lagian, lo kenapa sih gak tinggal di sana dari awal?" tanya Alwan menatap Tama tak habis pikir. Cuman karena kedua orangtuanya menunda kepulangan selama beberapa minggu, sahabatnya itu enggan sama sekali pindah ke rumahnya sendiri. Memilih menumpang di rumah Ochi saja.

"Penakut dia Wan," ledek Ochi menyahut dari belakang. Mulai memakai tasnya ketika mobil yang dikendarai Tama mulai memasuki area parkir. "Soalnya rumah di amrik sana, rada serem gitu."

"Lo tuh ngerasa gak enak ya, sehari aja gak bongkar aib gue?" Tama berdecak kesal, langsung menoleh ke Ochi yang hanya terkekeh kecil.

Tepat ketika suara pintu terbuka, Ochi langsung bergegas keluar. Gadis itu sedikit kerepotan akan miniatur kota kecil yang menjadi tugas seninya. Entahlah sepertinya Bu Myria memang tidak suka memberi anak muridnya tugas yang sederhana saja. Namun, ketika Ochi hendak melangkah menuju gedung IPS. Kerah almamaternya tiba-tiba ditarik dari arah belakang, membuatnya terlihat seperti anak kucing.

"Wan, ngapain sih?" tanya Ochi menepis pelan tangan Alwan dari kerah almamaternya. Sahabatnya itu hanya tersenyum miring, lantas menyodorkan selembar tisu padanya. "Apa nih?"

"Bibir lo kemerahan, lo mau sekolah bukan perform."

Ochi tersedak, merasa tertohok akan ucapan Alwan. Ia lantas mendorong Alwan untuk menyingkir, dan mengecek dirinya di kaca spion mobil. Dahinya mengernyit, tak merasakan bahwa bibirnya terlalu merah seperti kata Alwan. Lagipula, ia cuman memakai lipbalm yang biasa ia pakai. Dia lantas melirik ke siswi lain, lantas menggembungkan pipi ketika mendapati banyak yang bibirnya lebih merah dari miliknya.

"Ini gak merah,Wan. Lagian masih banyak yang lebih dari gue, kenapa gak ikut lo tegur?" tanya Ochi menatap Alwan dengan dahi berkerut. Entahlah Alwan sedikit berbeda sepulangnya dari pertandingan kemarin, seolah ada saja yang membuat pemuda itu jengkel. "Lo kenapa sih?"

"Gue-"


"Oi Chi!"

Belum sempat Alwan menjawab, tiba-tiba suara berat seseorang berhasil mengalihkan perhatian mereka. Mendadak, Erik muncul dengan senyum lebar khasnya. Di kedua tangannya juga membawa miniatur kota, yang terlihat lebih tersusun rapi daripada punya Ochi. "Udah kelar? Katanya gak mau ngerjain."

"Kalau gurunya bukan Bu Myria juga gak bakal gue kerjain," keluh Ochi teringat betapa ia kesusahan sendiri mengerjakan tugasnya di sela-sela jadwal latihan menarinya. Untung saja anggota klubnya ada yang merupakan mahasiswa desain interior sehingga bisa menolongnya. "Rik, emang bibir gue merah banget ya?"

"Enggak kok, biasa aja." Erik menjawab santai, tak menyadari kalau jawabannya itu langsung membuat Ochi melirik tajam Alwan. Sahabatnya itu hanya menarik senyum tipis, pasrah saja akan tatapan menghakimi Ochi. Tatapan Erik tanpa sengaja terjatuh pada kotak transparan yang dipegang Alwan. "Mau praktek ya?"

"Hm, menurut lo ngapain lagi anak IPA bawa kodok ke sekolah selain buat praktek?" ucap Alwan sedikit kasar. Tama yang sedari tadi sibuk mencari sosok 'gebetannya memasuki gerbang, sontak menyikut sahabatnya itu. Sementara itu Erik hanya tersenyum, sudah tau betul pola bicara Alwan. Beberapa kali ia memang sering melihat Alwan berdebat dengan murid lain, hanya karena ucapannya.

Recallove [Tamat]Where stories live. Discover now