PART 32 ~Imam~

81K 5.1K 68
                                    

"Aku imam dan kamu makmumku"

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

"Aku imam dan kamu makmumku"

__Muhammad Fadlan Al Ghifari__

_ _ _

Lombok. Sebuah pulau indah dengan kekayaan alamnya yang menyejukkan mata. Pantai bak primadona. Gunung menjulang menempati singgahsana. Air terjun mengalir jernih melewati bebatuan ditengah rimbunnya hutan. Lombok sangat indah.

Aku tidak bisa mengelak jika tempat kelahiranku disebut sebagai surga dunia. Setiap harinya orang-orang datang dengan tujuan yang berbeda. Ada yang hanya sekedar berwisata dan ada pula yang ingin menetap dan membangun tempat tinggal. Bagiku, dua hal itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak ingin menginjakkan kaki lagi di tempat yang menjadi saksi bisu kisah masa kecilku. Terlalu banyak kenangan pahit yang tersimpan di dalamnya.

Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana abi dan umi dikuburkan tanpa jasad. Kecelakaan pesawat yang menimpa mereka membuat tak ada harapan untuk menemukan tubuh mereka lagi. Kejadian itu membuatku terpukul dan tidak bisa menerima diriku sendiri.

Aku menganggap diriku bersalah atas kepergian abi dan umi. Oleh karena itulah aku memilih menjauh dari tempat ini. Namun sekarang aku justru kembali. Sesak kurasakan ketika pertama kali menghirup udara tanah seribu masjid itu.

"Kita akan menginap di hotel untuk beberapa hari," jelas mas Fadlan.

Lamunanku langsung buyar. Kucoba untuk tetap fokus. Jangan sampai aku terjatuh disaat yang tidak tepat. Apalagi di depan mas Fadlan.

"Dimana tasmu?" Mas Fadlan menatapku. Aku melihat kesana-kemari. Tasku tidak ada.

"Mungkin tertinggal di pesawat mas. Aku akan segera mengambilnya."

Belum juga lima menit berada di Lombok, aku sudah berubah menjadi pikun. Mas Fadlan terlihat memutar bola matanya. Dia pasti kesal.

"Jangan ceroboh," peringat mas Fadlan ketika aku sudah kembali.

Aku mengangguk. Selama perjalanan menuju hotel aku hanya diam. Begitupula dengan mas Fadlan. Pikiranku terlalu sibuk memikirkan setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi selama aku berada disini. Apalagi mas Fadlan akan membawaku ke tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Aika. Jika aku sedikit berbuat kesalahan maka dampaknya akan fatal. Mas Fadlan mungkin akan tahu siapa aku sebenarnya.

_ _ _

Disinilah aku sekarang. Ditengah keramaian pesta pernikahan. Setelah meletakkan barang-barang di hotel, aku dan mas Fadlan langsung bergegas menuju tempat pernikahan dilaksanakan. Kami bahkan tidak banyak mempersiapkan diri. Sapuan make-up diwajahku juga tidak terlalu banyak. Beruntung kemarin aku sudah membeli gamis yang selaras dengan warna pakaian yang dikenakan mas Fadlan. Setidaknya kami harus terlihat serasi dalam berbusana agar sandiwara yang mas Fadlan katakan bisa berjalan dengan maksimal.

"Berikan tanganmu." Mas Fadlan mengulurkan tangannya. Aku sedikit ragu untuk meletakkan tanganku di atas tangannya. Namun mas Fadlan dengan cepat menarik tanganku dan kami pun akhirnya berpegangan tangan.

Aku seperti merasa ada sesuatu yang menggelitik hatiku. Rasanya aneh. Jantungku bahkan ikut-ikutan berdebar tidak karuan. Sudut bibirku membuat lengkungan ke atas lebar-lebar. Aku tersenyum senang. Ini adalah kali pertama aku menggenggam tangannya seperti ini. Mas Fadlan memperlakukanku seperti suami kebanyakan.

"Pengantin baru akhirnya datang juga," ucap umi Asma menyambut kedatangan kami. Mas Fadlan mengambil salah satu kursi. Ia memintaku duduk disana.

"Duduklah."

Umi Asma tersenyum melihat interaksi antara aku dan mas Fadlan. Sesal tiba-tiba saja menyelimutiku. Senyum umi hadir karena sandiwara yang kami buat. Bukan karena kami benar-benar melakukannya atas dasar perasaan.

"Kabar kamu gimana sayang? Kemarin umi dengar kamu sempat masuk rumah sakit?" Umi Asma bertanya perihal kejadian yang menimpaku beberapa hari yang lalu.

"Alhamdulillah mi. Najwa baik-baik saja. Mas Fadlan banyak membantu Najwa agar lekas sembuh," jawabku. Umi melirik kea rah mas Fadlan. Laki-laki itu terlihat sibuk mengobrol dengan seorang temannya. Tapi aku yakin dia tetap mendengarkan pembicaraanku bersama umi.

"Kalian tinggal dimana selama di Lombok?"

"Di hotel mi."

"Nggak mau nginep di rumah abi sama umi aja?" Umi Asma membujukku.

"Najwa te-"

"Kita akan tetep di hotel mi. Sekalian bulan madu," sela mas Fadlan. Aku membulatkan mata ketika mendengar kalimat terakhirnya. Bulan madu? Apa aku tidak salah dengar?

"Masih bulan madu aja." Umi terkekeh. "baguslah. Biar umi cepet dapet cucu," tambah umi.

Mas Fadlan terlihat biasa-biasa saja ketika umi membahas tentang cucu. Berbeda denganku yang justru seperti kepiting rebus. Wajahku sudah memerah. Membahas tentang anak membuatku salah tingkah.

"Kalau sudah waktunya, umi akan secepatnya menggendong cucu." Mas Fadlan semakin membuat suasana hatiku tidak karuan. Apa dia tidak tahu candaannya itu membuatku mati rasa?

"Umi akan tunggu kabar baiknya," balas umi. Dia terlihat sangat bahagia dengan respon mas Fadlan yang sangat mendukung keinginannya untuk segera memiliki cucu.

Aku menatap mas Fadlan dengan perasaan kesal. Dia tidak seharusnya memberikan harapan semu kepada umi. Walaupun aku tahu bahwa kemungkinan terwujudnya keinginan umi bisa saja terjadi. Aku dan mas Fadlan pernah melewati malam bersama. Dan itu sudah cukup membuatku semakin khawatir. Apa aku mungkin akan menjadi seorang ibu?

_ _ _

Sejak pulang dari acara pernikahan, perasaanku jadi semakin tidak karuan. Pembahasan tentang cucu membuat pikiranku kacau. Apa yang harus kulakukan jika aku benar-benar hamil? Sedangkan mas Fadlan sendiri tidak tahu tentang apa yang telah kami lalui bersama. Perasaan khawatirku semakin menjadi-jadi ketika tamu bulananku tidak hadir bulan ini. Kenapa aku tidak berpikir tentang hal itu?

"Astaghfirullahaladzim." Istighfar kugaungkan ketika pikiranku semakin rumit. Kugelar sajadah menghadap kiblat. Aku membutuhkan Allah sebagai tempat untuk berkeluh kesah terhadap masalah yang tengah kuhadapi.

Belum sempat kuucap Allahu Akbar, sajadah yang lain baru saja digelar di depanku. Mas Fadlan yang melakukannya. Wajahnya terlihat basah oleh air wudhu. Mas Fadlan membenarkan posisi pecinya sebelum menoleh ke arahku.

"Aku imam dan kamu makmumku."

Masyaallah

Apa yang baru saja terjadi? Kenapa tiba-tiba mas Fadlan datang? Apa aku bermimpi?

Aku menepuk-nepuk pipiku beberapa kali. Aku merasakan sakit. Itu artinya ini bukan mimpi.

"Kamu tidak bermimpi," jelas mas Fadlan.

Aku memegang cadarku. Kami akan shalat, itu artinya aku harus membukanya.

"Aku tidak akan melihat," ucap mas Fadlan. Aku menatap punggungnya dari belakang.

"Percayalah." Mas Fadlan berusaha meyakinkanku.

Aku menutup mata. Mas Fadlan bukan laki-laki yang senang mengingkari perkataannya sendiri. Dengan hati yng bergetar hebat, kubuka cadar lalu meletakkannya di sisi kanan sajadah.

"Allahu Akbar."

Mas Fadlan mengucap takbiratul ihram sambil mengangkat kedua tangannya. Masyaallah. Apa yang terjadi? Mas Fadlan sekarang berdiri di depanku sebagai seorang imam. Harapanku untuk bisa shalat bersama dengannya kini terkabul. Air mataku jatuh di atas sajadah. Aku segera menghapusnya. Kutatap sosok laki-laki hebat di depanku sekarang. Semoga ini bukan kali pertama dan terakhir kami seperti ini.

"Allahu Akbar."

Bersambung

Mahram Untuk Najwa (END)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن