PART 8 ~Permintaan Jihan~

113K 8K 163
                                    

"Percayalah, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya."


__Malaika Farida Najwa__

_ _ _

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Pergantian detik ke menit, menit ke jam dan seterusnya seperti angin lalu yang hanya numpang lewat. Tak terasa. Waktu seminggu untukku berfikir tentang lamaran mas Faiz sebentar lagi akan berakhir. Besok aku harus memberikan jawaban. Alhamdulillah aku sekarang sudah mempersiapkan diri. Berbekal nasehat dari umi Bushra dan kode yang Allah berikan lewat mimpi, aku memantapkan hati.

Seminggu lagi pernikahan mas Fadlan dan Jihan akan dilaksanakan. Berbagai persiapan banyak dilakukan. Mulai dari dekorasi aula pernikahan hingga pemilihan gaun pengantin. Aku yang bertugas dalam dekorasi bunga pernikahan juga tengah sibuk-sibuknya. Pemesanan bunga mawar merah sebagai bunga utama dalam dekorasi membutuhkan waktu tiga hari lagi untuk sampai. Aku menghela nafas lega, beruntung persediaan bunga mawar merah tak menjadi kendala.

Aku harus segera tidur malam ini, besok adalah hari penting yang mungkin akan merubah kehidupanku kedepannya. Ditambah lagi dengan bejibun pekerjaan yang tengah menunggu untuk segera dikerjakan. Saat aku hampir masuk ke dalam alam bawah sadar, tiba-tiba ketukan pintu membuatku langsung kembali ke dunia nyata. Perlahan kusingkap selimut lalu berjalan ke arah pintu depan. Aku merasa aneh ketika mendengar ketukan pintu semakin kencang. Ketika kubuka pintu, aku kaget karena mendapati Jihan dengan kondisi berantakan. Wajahnya nampak kusam dengan mata yang terlihat sembab. Dia bukan seperti Jihan yang kukenal.

"Najwa." Jihan berhambur memelukku dengan erat. Tangisnya tumpah membasahi pundakku. Aku tak tahu harus merespon apa. Aku juga bingung dengan sikap Jihan yang sangat berbeda. Kuusap punggungnya sambil mengucap istighfar. Setelah dirasa wanita itu lebih baik, akupun bertanya.

"Ada apa Jihan? Kenapa kamu seperti ini?"
Jihan menatapku lekat-lekat. Air matanya terus mengalir membasahi pipi. Aku terhenyak beberapa saat. Hatiku terasa pilu ketika melihat kondisi sahabatku sekarang.

"Ada apa Ji? Tolong katakana sesuatu?"

"Aku tidak bisa menikahi mas Fadlan Naj."
Aku kaget mendengar jawaban Jihan. Apa maksudnya dengan tidak bisa menikahi mas Fadlan? Pernikahannya sebentar lagi akan berlangsung. Undangan pernikahan bahkan sudah disebarkan. Ada apa ini sebenarnya?

"Aku nggak ngerti maksud kamu apa? Kenapa kamu bilang tidak bisa menikahi mas Fadlan? Bukankah kamu sangat mencintai dia?"

Jihan hampir saja terjatuh jika saja aku tak menahan tubuhnya. Apakah yang membuatnya sesedih ini sampai-sampai tak ada kekuatan untuk berdiri?

"Ayo Ji, kita duduk dulu." Aku mengarahkan Jihan untuk duduk di sofa. Setelahnya aku mengambil air dan menyuruhnya untuk minum. Aku dapat melihat tangan Jihan gemetar ketika memegang gelas. Ia pasti tengah mendapati masalah yang cukup besar. Tapi apa?

"Sekarang kamu tenangin diri dulu. Kalo kamu udah siap, kamu bisa cerita sama aku."

Jihan kembali menangis. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Jihan menatapku lekat-lekat. "Kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan Naj."

"Memang ada apa Ji?"

"A-a---aku tertular HIV."

Aku melihat kehancuran dalam tatapan Jihan ketika mengatakan hal itu. Begitupula dengan diriku yang sangat terkejut hingga tak bisa mengatakan apapun. Seolah ada sesuatu yang menyangkut di dalam tenggorokan. Aku benar-benar tidak percaya dengan semua ini. Bagaimana mungkin Jihan mengidap penyakit seperti itu? Dia bukan seseorang yang bisa melanggar aturan Allah begitu saja. Jihan tidak seperti itu.

"Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun Naj."

Aku bernafas lega ketika pikiranku tak terbukti benar.

"Terus bagaimana kamu bisa tertular penyakit itu?"

"Aku tidak sengaja menggunakan jarum suntik yang sama dengan pasien pengidap HIV ketika melakukan tranfusi darah. Aku benar-benar tidak tahu kalau ternyata di-"

Aku memeluk tubuh sahabatku itu dengan erat. Air mataku keluar tanpa bisa kutahan. Rahasia Allah memang tidak bisa ditebak, kebahagiaan yang seharusnya Jihan dapatkan di detik-detik menuju pernikahannya justru berubah menjadi kesedihan yang amat dalam. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Jihan bisa menghadapi hal ini. Semoga Allah memberikan kesabaran dan jalan keluar yang terbaik untuknya.

"Akan selalu ada jalan keluar untuk semua masalah Ji. Allah nggak akan pernah memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya."

"Aku tahu Naj, tapi masalahnya penyakit ini tidak memiliki obat. HIV tidak memiliki obat. Aku tidak bisa sembuh Najwa."
"Allah memegang kendali atas semuanya. Jika ia berkehendak, detik ini pun penyakitmu akan diangkat. Jangan putus harapan, obat bukan satu-satunya penyembuh di dunia ini."

Jihan memelukku dengan erat. Kami berada dalam posisi itu cukup lama hingga akhirnya Jihan melepaskan pelukan kami. Aku dapat meihat matanya memerah dan bengkak.

"Aku tidak bisa menikah dengan mas Fadlan Naj. Aku tidak mau menularkan penyakit ini kepada mas Fadlan."

"Jangan mengambil keputusan ketika kamu sedang dalam kondisi seperti ini. Pikirkan baik-baik, keputusanmu bukan hanya berpengaruh untuk kehidupanmu saja tapi juga kehidupan mas Fadlan."

"Aku sudah memikirkannya matang-matang Najwa. Pernikahan ini tidak boleh terjadi."

Aku meraih tangan Jihan dan memohon agar dia tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Namun sepertinya permohonanku akan sia-sia. Jihan sudah bulat akan keputusannya.

"Aku akan berjuang untuk bisa sembuh Naj. Sesuai ucapanmu, Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya. Lusa aku akan pergi ke luar negeri untuk mencari pengobatan yang terbaik. Entah itu di Singapura, Amerika atau belahan bumi manapun aku akan tetap berjuang Naj. Tapi sebelum aku pergi, aku ingin meminta sesuatu darimu."

Jihan menjeda ucapannya. Tangannya kembali meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.

"Aku minta kamu menikah dengan mas Fadlan."

Bersambung

Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now