PART 24 ~Berbohong~

115K 6.8K 59
                                    

"Berbohong untuk kebaikan sepertinya lebih baik"

__Malaika Farida Najwa __

_ _ _

Gelap dan sunyi merupakan dua situasi yang menggambarkan bagaimana malamku hari ini. Cahaya lampu dari luar masuk melewati celah-celah lubang jendela. Membuatku bisa sedikit melihat kamar ini. Aku sedikit menggeserkan tubuh ketika sesorang di sampingku bergerak. Kami baru saja merasakan malam yang menjadi impian bagi pasangan suami istri. Namun sepertinya hanya aku yang mengingatnya, besok pagi mas Fadlan mungkin akan lupa.
Kulihat wajahnya dibalik remang-remang cahaya lampu. Pesona mas Fadlan selalu mampu membuatku jatuh. Wajahnya sangat tampan. Aku masih merasakan sosok Alan sepuluh tahun yang lalu. Mas Fadlan masih tetap sama, yang berbeda hanyalah cara ia memandangku.

"Apa mas tidak mengenaliku?" Pertanyaan itu masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Aku memberanikan diri untuk menyentuh wajahnya. Selama kami menikah, tak pernah sekalipun aku berada sedekat ini dengan sosoknya. Bahkan untuk mencium tangan mas Fadlan pun aku tidak pernah. Jika sekarang aku mampu menyentuh pahatan wajahnya, aku bisa menganggap itu sebagai sebuah anugerah. Aku mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan seperti ini lagi.

"Jika mas tahu aku adalah Aika, apa yang akan mas lakukan?" Aku masih tetap menelusuri wajahnya. Bayangan tentang kisah kami dahulu kembali mencuat dalam ingatan. Seperti tinta yang jatuh di atas kanvas, ingatan itu kembali menorah gambaran masa lalu kami. Tentang Alan dan Aika yang saling jatuh cinta.

"Mas mungkin akan membenciku setelah ini."

Benci? Aku tidak menyukai kata itu. Apalagi jika mas Fadlan yang melakukannya. Sudah cukup dia membenciku karena pernikahan kami. Aku tidak ingin dia membenciku karena apa yang telah kami lakukan malam iini.

Kudekatkan wajahku ke arah wajahnya. Aroma khas dari mas Fadlan langsung tercium. Aku selalu menyukai aroma tubuhnya. Sebentar lagi bibirku akan mendarat tepat di pipinya namun senyum Jihan tiba-tiba saja datang dalam ingatan. Sahabatku itu telah memberikanku kepercayaan untuk menjaga calon suaminya. Namun aku justru sibuk dengan perasaanku sendiri.

Aku langsung menjauhkan diri dari mas Fadlan. Seharusnya aku membuang jauh-jauh rasa untuk mas Fadlan sejak awal. Dan untuk malam ini, aku mengaku salah. Jihan pantas membenciku jika suatu saat nanti dia meminta mas Fadlan kembali.

Maafkan aku Jihan

_ _ _

Jantungku seperti berhenti berdetak ketika mendapati mbok Asrih di depan kamar mas Fadlan. Aku baru saja keluar dan langsung dikagetkan dengan kehadirannya. Wanita itu masih memakai mukena. Mbok Asrih melihatku tanpa berkedip. Sejak awal, dia sudah tahu masalahku dengan mas Fadlan. Termasuk tentang kami yang tak pernah sekamar. Dan sekarang mbok Asrih pasti bertanya-tanya alasan kenapa aku keluar dari kamar mas Fadlan subuh-subuh begini. Apalagi sekarang aku tak memakai cadar. Cadarku tadi malam terjatuh di lantai dekat pintu depan.

"Mbok sa—saya bu—"

"Alhamdulillah, akhirnya non Najwa sama pak Fadlan nggak marahan lagi." Mbok Asrih memotong ucapanku. Dia tersenyum. Bukankah seharusnya aku juga merasa senang?

"Jangan bilang sama mas Fadlan ya mbok kalo mbok liat saya keluar dari kamarnya," jelasku.

"Tapi non—"

Aku meraih tangan mbok Asrih dan menatap matanya dalam-dalam. Aku benar-benar tak ingin mas Fadlan mengetahui apa yang telah terjadi antara kami berdua semalam.

"Saya mohon mbok. Tolong jangan kasih tahu mas Fadlan tentang apa yang mbok liat sekarang. Berjanjilah demi saya mbok."

Mbok Asrih terdiam seolah tengah memikirkan sesuatu. Aku menghela nafas lega ketika jawaban yang kutunggu sesuai harapan.

"Mbok nggak bisa janji non tapi insyaallah mbok nggak akan kasih tahu tuan."

Aku memeluk mbok Asrih dengan erat. "Makasih ya mbok."

"Njih non, sama-sama."

Entah kenapa ketakutan menyergap diriku kala mbok Asrih juga mengetahui apa yang terjadi padaku dan mas Fadlan tadi malam. Aku berharap dia tidak mengetahui keseluruhannya. Semoga.

_ _ _

Mas Fadlan turun dari kamarnya dengan penampilan yang sama seperti hari-hari kemarin. Tas kerjanya ia letakkan di atas meja makan. Tanganku entah kenapa seperti bergetar. Keringat dingin sudah memenuhi sekujur tubuhku. Aku takut mas Fadlan mengingat sesuatu. Aku takut dia mengingat apa yang telah terjadi tadi malam. Aku menggeleng ketika mbok Asrih menatapku dari pintu dapur. Wanita itu pasti merasa aneh dengan sikapku. Seharusnya aku jujur kepada mas Fadlan. Dia juga berhak untuk mengetahui kejadian tadi malam. Tapi kemungkinan dia akan membenciku membuat rasa takut dan khawatir itu menyeruak.

"Ini mas sarapannya."

Aku meletakkan sepiring nasi di depan mas Fadlan. Tangannya sedari tadi memegang kening. Aku seperti bisu ketika mata kami bertemu. Mas Fadlan melihatku dengan lekat. Seolah ada sesuatu yang menjanggal di dalam hatinya.

"Jam berapa aku pulang tadi malam?" Tanya mas Fadlan. Aku menyiapkan diri untuk setiap pertanyaan yang mungkin sebentar lagi akan ia ajukan.

"Jam sepuluh malam mas."

"Apa aku pulang sendirian?"

"Iya. Mas pulang sendirian."

"Apa aku melakukan sesuatu tadi malam?"

Pertanyaan yang tak ingin kudengar kini datang juga. Aku tak tahu harus menjawab seperti apa. Tapi yang jelas aku akan berbohong. Hanya itu satu-satunya pilihan yang kupunya. Semoga Allah memaafkan kesalahanku yang satu ini.

"Mas langsung masuk ke kamar."

Semoga dia tidak mengingat apapun

"Aku ingin segelas kopi," pinta mas Fadlan. Aku menghela nafas. Semoga saja dia tidak mengingatnya.

Bersambung

Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now