PART 15 ~Kedatangannya~

102K 6.7K 141
                                    

"Mas akan menunggu hingga cincin di jari manismu menghilang”


__Muhammad Adam Faiz __

_ _ _


Membangun rumah tangga yang bahagia merupakan impian semua orang. Apalagi ketika rumah tangga yang kita bangun diselingi dengan kisah-kisah romantis dari rumah tangga yang dibangun Rasulullah SAW. Kisah hidup beliau seperti mimpi indah yang diharapkan semua orang. Setiap cerita tentang kehidupan rumah tangga Rasulullah selalu berhasil membuat siapapun yang mendengarnya tersenyum.

Cara Rasulullah memperlakukan istri-istrinya membuat wanita manapun akan iri. Panggilan sayang yang beliau lantunkan untuk istri-istrinya membuatku tak pernah lupa untuk memanjatkan doa di sepertiga malam. Doa agar suatu saat nanti suamiku memperlakukanku layaknya Rasulullah memperlakukan istri-istrinya. Tapi sepertinya doaku masih belum sampai di hadapan sang maha kuasa. Tak ada sikap manis atau romantis yang suamiku lakukan. Ia justru bersikap seolah aku bukan siapa-siapa. Mas Fadlan bahkan dengan tega membuat sebuah perjanjian diatas janji suci sehidup semati.

Rasulullah SAW pernah bersabda “Dan jika seorang istri bersabar menghadapi keburukan akhlak suaminya, maka Allah akan memberikan kepadanya pahala seperti yang diberikan kepada Asiyah istri Fir’aun”. (HR. Muslim).

Pahala seperti Asiyah yang dimaksud adalah dijamin masuk syurga. Allahuakbar segala sesuatu memang selalu memiliki hikmahnya sendiri. Aku akan selalu bersabar menghadapi perangai suamiku. Kesabaranku menghadapi sikap mas Fadlan insyaallah akan menunjukkan jalan yang terbaik menuju ke syurga-Nya Allah. Tempat yang paling dirindukan oleh seluruh umat islam. Aku selalu berdoa semoga mas Fadlan selalu disertai rahmat dan perlindungan Allah SWT. Semoga suatu saat nanti pernikahan kami menemukan kisah yang lebih baik. Amin.

Setelah kejadian penolakanku terhadap perjanjian pernikahan yang mas Fadlan ajukan, pernikahan kami seolah berada diujung tanduk. Padahal ikatan suci ini masih belum genap dua bulan. Namun rasanya akhir dari pernikahan kami sudah semakin dekat. Hari demi hari seperti cobaan paling menyakitkan. Aku harus menerima sikap mas Fadlan yang semakin menjauh. Kami sudah seperti orang asing yang hidup dalam satu atap yang sama.

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Sekarang aku benar-benar merindukan kehadiran sahabat-sahabatku, termasuk Zahra. Dia selalu berhasil membawaku pergi dari kesedihan. Zahra selalu menghiburku jika hatiku sedang bergejolak. Dia selalu berhasil membuatku tersenyum dan tertawa. Namun kini Zahra sudah tidak ada. Dia menyalahkanku dengan semua yang terjadi dan memilih untuk pergi. Aku tak pernah bertemu lagi dengannya selama dua bulan ini. Zahra seolah sudah lenyap. Hanya aku sendiri yang masih bertahan di tempat yang sama.

“Nyonya Najwa.” Mbok Asrih membangunkanku dari lamunan. Aku terlalu sibuk dengan pikiran sendiri hingga tak tahu mbok Asrih sejak tadi menungguku. Tangannya yang keriput menyerahkan tas kecil yang biasa kupakai ketika keluar rumah.

“Makasih ya mbok.”

Injih non.”

Aku tersenyum kepada Mbok Asrih. Wanita paruh baya itu adalah asisten rumah tangga baruku. Usianya tidak jauh dari umi Asma. Sekitar 50 sampai 60 tahun. Mas Fadlan mempekerjakannya beberapa hari yang lalu. Dia pasti tidak ingin melihatku terus mengurusi kebutuhannya. Oleh karena itu dia membawa mbok Asrih ke rumah. Alhamdulillah semenjak mbok Asrih datang, rumah ini terasa sedikit bernyawa. Aku tak lagi merasa sendirian.

“Nyonya yakin mau belanja perlengkapan dapur sendiri? Nggak mau mbok temenin?” tawar mbok Asrih.

“Tidak usah lah mbok, Insyaallah saya bisa sendiri.”

“Ya sudah kalau begitu. Nyonya hati-hati ya.”

“Iya mbok, kalau begitu saya pergi dulu. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Aku menutup pintu rumah lalu berjalan ke arah gerbang. Kondisi jalanan terlihat sepi. Beberapa menit kemudian sebuah taksi berhenti di depan rumah. Itu pasti taksi online yang tadi kupesan. Sebelum melangkah, aku mengawali perjalananku dengan mengucap bismillah. Semoga Allah menyertai segala aktivitasku hari ini.

_ _ _


Waktu dzuhur sebentar lagi akan tiba. Troli belanjaanku sudah penuh. Segala jenis keperluan dapur sudah kubeli. Mulai dari sayur, buah, gula, garam, kecap, minyak goreng, dan masih banyak lagi. Aku hanya perlu menuju kasir untuk membayar semuanya. Namun kedatangan seseorang membuatku berhenti melangkah. Tatapan kami bertemu beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskannya secara sepihak.

Astaghfirullah Najwa. Berhentilah menatap seseorang yang bukan mahrammu

“Bagaimana kabarmu?”

Mas Faiz membuka pertemuan kami dengan menanyakan kabar. Apakah aku harus menjawab yang sejujurnya? Jika iya maka aku akan menjawab jika kabarku tak baik-baik saja.

Alhamdulillah mas. Mas sendiri bagaimana kabarnya?”

Alhamdulillah. Kamu ngapain kesini?”

“Lagi belanja perlengkapan rumah mas. Kalau mas sendiri kenapa kemari?”

“Mas ada urusan pekerjaan disini.”

Aku tak tahu ingin melanjutkan perbincangan kami ke arah yang mana. Kedatangan mas Faiz yang tiba-tiba membuat seisi otakku buntu. Bibirku bahkan kelu ketika dia mengajakku berbicara.

“Najwa, lau samatha (maafkan saya).”

“Kenapa mas minta maaf?”

“Karena mas menghilang akhir-akhir ini.”

Mas Faiz tidak seharusnya minta maaf. Dia tidak salah atas apapun. Kepergiannya justru adalah pilihan yang terbaik.

“Kamu tidak bertanya kenapa mas menghilang?” Mas Faiz menatapku lekat-lekat. Aku menundukkan wajah untuk menjauhkan diri dari pandangannya.

“Aku tidak berhak untuk menanyakan hal itu mas.”

“Kamu sangat berhak untuk menanyakannya Najwa karena mas masih mencintaimu. Ana uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah).”

Aku memegang troli dengan erat. Bagaimana bisa mas Faiz mengatakan hal itu disaat seperti ini. Di tengah keributan super market dan lalu lalang orang yang berbelanja. Ditambah dengan sekarang aku bukan Najwa yang dulu ia kenal. Sekarang aku adalah istri dari orang lain. Mas Faiz tidak seharusnya mengatakan perasaannya di depanku seperti ini.

“Aku sudah bilang kan mas, aku tidak bisa mene—“

“Tolong jangan katakan apapun Najwa. Mas tidak ingin mendengar jawabanmu sekarang.”

“Maksud mas apa?”

“Mas akan menunggu hingga cincin di jari manismu menghilang.”

Mas Faiz berlalu pergi setelah mengatakan kalimat terakhirnya. Ia pergi tanpa mengucap salam. Seolah ada makna dari kepergiannya. Tapi apa maksudnya dengan menunggu hingga cincinku menghilang? Apa mas Faiz sudah tahu tentang pernikahanku?

Aku menggenggam deretan pertanyaan itu dalam hati. Aku masih bingung dengan kedatangan mas Faiz, begitupula dengan kalimat-kalimat membingungkan yang ia ucapkan. Pernyataan cinta yang tiba-tiba ia utarakan membuatku bertanya-tanya. Apa ada sesuatu yang mas Faiz sembunyikan?

Bersambung

Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now