PART 23 ~Hak Suami~

122K 7K 94
                                    


“Berikan hakku Najwa dan lakukan kewajibanmu sebagai istri”

__Muhammad Fadlan Al Ghifari __

_ _ _

“Buka cadarmu!”

Mataku membulat sempurna. Kenapa tiba-tiba mas Fadlan memintaku membuka cadar? Bukankah sejak awal dia sudah sepakat tentang syarat perjanjian pernikahan yang kuajukan. Mas Fadlan setuju dengan syaratku yang tidak akan pernah membuka cadar selama pernikahan kami. Lalu kenapa sekarang dia justru memintaku untuk membukanya?

“Kita sudah sepakat sejak awal mas. Aku tidak akan membuka cadar selama kita menikah,” terangku padanya.

Mas Fadlan menaikkan sudut bibirnya. “Apa menurutmu aku tidak membutuhkan hakku sebagai seorang suami? Aku juga punya hak atas istriku! Termasuk menggaulinya.”

Aku memejamkan mata. Aku tidak menyangka dia akan meminta haknya yang satu itu. Aku piker mas Fadlan tidak akan pernah memintanya. Kebenciannya padaku sudah cukup membuatku yakin jika mas Fadlan tidak mengambil hak biologisnya dariku. Aku bahkan tidak pernah mempersiapkan diri untuk permintaannya ini.

Drrtdrrtdrrrt

Telepon rumah berbunyi. Aku segera mengangkatnya. Tatapanku tidak pernah lepas dari laki-laki yang baru saja membuat jantungku seakan berhenti berdetak.

“Halo.”

“Ini dengan mbak Najwa ya?”

“Iya saya sendiri.”

“Saya Lia mbak, sekretaris pak Fadlan. Saya yang tadi pagi datang ke rumah mbak”

Jadi dia sekretarisnya mas Fadlan

“Iya, ada apa ya?”

“Gini mbak, tadi pak Fadlan tidak sengaja meminum alkohol ketika kami sedang membahas tentang salah satu proyek. Saya bahkan harus mengikuti mobil pak Fadlan untuk memastikan jika pak Fadlan sampai di rumah dengan selamat.”

Meminum alkohol? Aku menatap ke arah mas Fadlan. Sikapnya seperti tadi pasti karena pengaruh alkohol yang ia minum. Bagaimana bisa ia seceroboh itu sehingga tidak sengaja meminum sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam agama. Meminum khamr.

Maaf mbak. Ini juga kesalahan saya. Saya—“

“Tidak apa-apa. Ini juga kesalahan suami saya. Terima kasih karena sudah memastikan dia pulang dengan selamat.”

“Iya sama-sama mbak.”

“Kalau begitu saya permisi dulu.”

Kututup panggilan itu dengan rasa syukur yang terus kugaungkan dalam hati. Kecurigaanku tentang wanita itu ternyata tidak benar. Mereka hanya membahas tentang pekerjaan.

“Najwa.” Mas Fadlan memanggil namaku dengan lirih. Aku menguatkan hati untuk menerima apapun yang ia katakan. Saat ini mas Fadlan sedang dalam keadaan tidak sadar. Apapun yang ia katakana dan lakukan hanya sebatas dari pengaruh alkohol. Bukan karena sebab yang lain.

“Mas harus istirahat,” ucapku seraya meraih lengan mas Fadlan untuk membantunya berjalan ke kamar tidur. Hanya itu solusi yang bisa kuberikan.

“Aku menginginkanmu Najwa.”

“Mas harus istirahat. Alkohol yang mas minum membuat kesadaran mas hilang. Aku tidak mau mas menyesali apapun yang mas lakukan sekarang.”

Aku mengatakan hal itu dari lubuk hati yang paling dalam. Aku takut mas Fadlan meminta sesuatu yang akan ia sesali seumur hidup.

“Aku tidak akan menyesal,” tegasnya. “Aku tidak akan menyesali apapun yang kulakukan padamu.”

Mas Fadlan berjalan mendekat ke arahku. Aku memundurkan langkah untuk menjauhinya.

“A—aku mohon mas.”

“Sst aku memiliki hak atasmu Najwa. Dan sekarang aku ingin mengambil hak itu.”

Waktu seperti berhenti ketika mas Fadlan tiba-tiba saja menarik cadarku hingga terlepas. Suara detak jantungku terdengar membelah kesunyian. Nafasku memburu ketika mata kami saling bertemu. Dengan cepat aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku berharap mas Fadlan tidak mengingat wajah ini.

“Kenapa kamu menutupnya?”

Aku menggeleng. “Mas tidak seharusnya melihat wajah ini.”

“Kenapa? Bukankah wajahmu sangat cantik?”

Apa dia tidak mengenaliku?

Aku melepaskan tanganku perlahan. Kubiarkan mas Fadlan melihat wajahku sepenuhnya.

“Apa mas tidak mengenaliku?” Tanyaku padanya. Aku ingin memastikan apa benar ia tidak mengenali wajahku?

Mas Fadlan tersenyum. “Kamu sangat cantik.”

Apakah aku harus sedih atau senang ketika mas Fadlan tidak mengenaliku? Mungkin saja dia tidak mengenalku karena pengaruh alkohol itu juga.

“Berikan hakku Najwa dan lakukan kewajibanmu sebagai istri,” pinta mas Fadlan. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Jika saja mas Fadlan mengatakan hal itu dalam kondisi sadar. Jika saja kami tidak terikat dengan perjanjian pernikahan dan alasan kenapa pernikahan kami terjadi, aku mungkin akan sangat bahagia ketika mas Fadlan meminta haknya.

“Mas harus istirahat.” Untuk kesekian kalinya hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan.

“Aku mohon Najwa.”

Apa yang harus kulakukan ya rabb?

“Apa mas sangat menginginkannya?”

Mas Fadlan tiba-tiba saja memelukku lalu mengatakan “Iya. Aku sangat menginginkannya.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Allah akan menghukumku jika tidak memenuhi keinginan suamiku untuk digauli. Setiap istri harus selalu menerima permintaan suaminya dalam hubungan biologis. Namun situasi yang sedang kualami berbeda. Mas Fadlan sedang dalam keadaan tidak sadar sekarang.

“Mas akan menyesalinya suatu saat nanti.”

“Bagaimana cara agar aku tidak menyesal?” Mas Fadlan bertanya.

Kucengkram kuat-kuat gamisku. Aku sebenarnya tak ingin mengatakan kalimat yang sebentar lagi akan kuucapkan. Namun hanya inilah satu-satunya pilihan yang tepat.

“Lupakan. Lupakan wajahku dan apapun yang kita lakukan malam ini.”

Aku merasakan tangan mas Fadlan berusaha melepaskan jilbabku. “Aku tidak bisa berjanji tapi akan kuusahakan untuk melupakannya.”

Sedetik kemudian jilbabku sudah luruh ke lantai. Mas Fadlan membawaku menuju ke kamarnya di lantai dua. Kami benar-benar melakukan hubungan itu malam ini. Penyatuan kami kini sudah sempurna. Tidak ada jarak yang membatasi pengakuan kami sebagai suami istri. Aku sudah melepaskan harta yang kujaga kepada seseorang yang berhak mendapatkannya.

Aku tidak akan pernah menyesali apapun yang terjadi malam ini. Walaupun aku tahu penyatuan kami bukan atas dasar kemauansatu sama lain. Keinginan mas Fadlan semata-mata hanya karena pengaruh dari minuman yang berhasil menghilangkan kesadarannya. Sedangkan aku melakukan semua ini atas dasar perasaan dan hati. Aku ikhlas jika suatu nanti mas Fadlan menyalahkanku atas apa yang terjadi malam ini. Aku hanya berharap malam ini cukup dikenang olehku saja. Hanya aku dan Allah yang menyimpannya.

Bersambung


Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now