PART 22 ~Cemburu~

108K 7.3K 140
                                    

“Suami mana yang tidak cemburu melihat istrinya begitu dekat dengan laki-laki lain”


__Muhammad Fadlan Al Ghifari __

_ _ _

Pagi ini aku bisa bernafas lega karena kondisi umi sudah semakin membaik dan diizinkan pulang. Semenjak obrolan kami tadi malam, mas Faiz juga sudah menghilang. Aku tidak tahu bagaimana keputusan yang telah ia buat. Apakah ia akan tetap berjuang untukku atau tidak? Hanya Allah dan mas Faiz yang tahu jawabannya.

Sekarang aku tengah bersama mas Fadlan. Kami hendak kembali ke rumah. Selama perjalanan, aku seperti merasa ada hawa yang berbeda dari sosoknya. Mas Fadlan sama sekali tak menoleh ke arahku. Ia bahkan mengabaikan panggilan dari ponselnya karena benda itu ada di dalam tasku.

“Mas nggak mau angkat panggilan buat mas? Siapa tahu ada yang penting.”

Mas Fadlan tak memberikan respon. Dia diam seribu bahasa. Aku juga memilih untuk diam. Rasanya sangat canggung sekali jika hanya aku yang berbicara. Setelah sepuluh menit dalam perjalanan yang membisu, kami akhirnya sampai di rumah. Aku mengerutkan kening ketika mendapati sebuah mobil terparkir di depan gerbang. Siapa yang datang ke rumah pagi-pagi begini?

“Selamat pagi pak.”

Seorang wanita cantik keluar dari mobil. Rambutnya tergerai sepinggang. Bajunya ketat sampai memperlihatkan lekuk tubuh. Roknya hanya sampai sepaha, memperlihatkan kaki jenjangnya yang mulus. Wanita itu seperti menyapa mas Fadlan. Laki-laki itu nampak tersenyum kea rah wanita tadi. Apa aku tidak salah lihat? Mas Fadlan memperlihatkan ekspresi datar di depanku namun memperlihatkan raut hangat di depan wanita itu.

“Saya sudah membawa berkas-berkas yang sudah bapak minta,” terang wanita itu kala kami sudah masuk ke dalam rumah. Aku mempersilahkannya untuk duduk di sofa ruang tamu. Mas Fadlan sudah naik ke lantai dua. Dia pasti sedang mengambil berkas penting. Mereka hanya membahas tentang pekerjaan. Aku harus selalu berhusnudzan.

“Mbak itu siapa ya non? Pakainnya tidak sopan sekali.” Mbok Asrih menghampiriku.

“Hanya rekan kerja mas Fadlan mbok.”
Aku tak ingin berpikir yang lain-lain. Apalagi berpikir jika mas Fadlan memiliki hubungan lebih dari sekedar rekan kerja dengan wanita itu. Bagaimanapun juga mas Fadlan mencintai Jihan. Dia tidak mungkin berpaling dari Jihan dan melabuhkan perasaannya kepada wanita itu.

“Biar saya saja yang bawa mbok.” Aku mengambil alih nampan berisi teh, kopi dan kue kering itu dari mbok Asrih.

“Biar saya saja non.”

“Mbok buatin sarapan aja ya.”

“Ya sudah kalau gitu non. Kalau bisa nanti non sampaiin pesan mbok sama wanita itu. Pakaiannya jangan kurang bahan.”

Aku terkekeh sambil mengangkat jempol ke arah mbok Asrih. Setelahnya akupun berjalan ke ruang tamu. Disana sudah ada mas Fadlan dengan laptop dan  tumpukan berkas-berkasnya. Aku meletakkan nampan itu di atas meja.

“Terima kasih,” ucap wanita itu ke arahku sambil tersenyum. Roknya yang pendek semakin memperlihatkan kakinya ketika duduk. Apa dia tidak merasa terganggu?

“Apa ada yang mas butuhkan lagi?” Tanyaku kepada mas Fadlan.

“Tidak ada,” jawabnya singkat.

Aku berjalan ke arah dapur dan meletakkan nampan di meja. Aku melihat ke arah ruang tamu dengan hati yang tersayat. Lebih baik aku masuk ke dalam kamar. Lagipula kehadiranku juga sepertinya memperburuk suasana hati mas Fadlan.

Suara tawa dan perbincangan hangat terdengar sampai di telingaku. Aku membuka sedikit celah pintu. Mas Fadlan terlihat sangat bahagia. Dan wanita itu sangat senang membalas perlakuan mas Fadlan dengan ikut tertawa dan tersenyum.

Apa aku cemburu?

_ _ _


Jam menunjukkan pukul 20:00 , mas Fadlan seharusnya sudah pulang. Namun sampai sekarang suara mobilnya tak terdengar. Apa dia lembur atau memang tidak akan pulang?

“Mas Fadlan nggak pernah nelpon ke rumah mbok?” Aku bertanya kepada mbok Asrih.

“Tadi ada yang nelpon non, tapi wanita. Katanya tuan akan pulang sedikit malam.”

Wanita? Siapa? Apakah wanita yang tadi pagi?

“Mbok istirahat saja, biar saya yang tunggu mas Fadlan pulang.”

“Mending non aja yang istirahat. Dari kemarin non pasti kurang tidur.”

Mbok Asrih memang benar. Sejak kemarin aku kurang istirahat. Karena terlalu khawatir dengan kondisi umi ditambah dengan masalah mas Faiz, aku jadi tak bisa tidur dengan baik. Namun tanda Tanya tentang wanita yang mungkin tengah bersama mas Fadlan membuat lelahku menghilang. Aku harus memastikan sendiri. Siapa wanita itu sebenarnya?

“Biar saya saja mbok. Sekalian ada yang mau saya bicarakan juga dengan mas Fadlan,” tukasku. Mbok Asrih akhirnya mengalah. Kini hanya tinggal aku dan keheningan.

Aku melirik ke arah jam di dinding. Sekarang sudah pukul 22:13. Dua jam aku menunggu kepulangannya, namun tak ada tanda-tanda dia datang. Apa mas Fadlan tidak akan pulang?

Suara mesin mobil terdengar memecah keheningan. Aku membuka tirai jendela dan melihat keluar. Dua mobil berhenti di depan gerbang. Satu diantaranya adalah mobil mas Fadlan. Dan yang satunya adalah mobil yang kulihat tadi pagi. Mobil milik wanita itu.

Aku menarik nafas lega ketika mobil wanita itu pergi.

“Mas darimana?” Aku bertanya kepada mas Fadlan. Raut wajahnya masih sama dengan raut yang ia perlihatkan tadi pagi saat kami di mobil.

“Bukan urusanmu,” jawab mas Fadlan singkat.

“Aku berhak bertanya. Aku masih menjadi istri mas,” sergahku.

“Aku juga tidak pernah bertanya apa yang kamu lakukan dengan laki-laki itu kan. Kamu juga seharusnya tidak bertanya tentang apa yang kulakukan.”

Aku mengerutkan alis. Apa mas Fadlan membahas tentang kejadian di rumah sakit. Saat aku dan mas Faiz berbicara tentang masalah kami.

“Maksud mas apa? Aku tidak melakukan apapun dengan mas Faiz,” terangku. Kami bahkan mengobrol di tempat umum agar tidak ada yang salah paham.

“Jadi namanya Faiz? Lumayan juga. Kamu hebat memilih laki-laki.”

“Aku tidak memilih siapapun.”

“Tidak usah berbohong. Kamu mencintainya bukan?”

Aku mencintaimu mas

“Tidak. Aku tidak mencintainya.”

“Aku tidak menyukai wanita yang suka berbohong sepertimu.”

Aku mengatakan yang sebenarnya

“Demi Allah aku tidak memiliki perasaan seperti itu untuknya mas,” sergahku. Mas Fadlan seperti menyudutkanku dengan kata-katanya.

“Kalau begitu buktikan!” Seru mas Fadlan. Ia meninggikan suara. Air mataku tiba-tiba saja keluar. Aku langsung menghapusnya dengan cepat.

“Bagaimana aku harus membuktikannya mas? Aku sudah mengatakan tidak memiliki perasaan apapun terhadap mas Faiz.”

“Kamu berbohong."

“Apa mas cemburu?”

“Tentu saja aku cemburu. Suami mana yang tidak cemburu melihat istrinya begitu dekat dengan laki-laki lain!”

Aku menutup mulut. Apa aku tidak salah dengar? Mas Fadlan cemburu?

“Apa yang harus kulakukan untuk membuat mas percaya?”

“Buka cadarmu!"

Bersambung


Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now