Part 39 - Butuh Waktu

5.4K 312 8
                                    

***

Di kamar, Arya melihat sang istri sedang merajuk. Seperti biasa, wanita itu duduk di pojokan ranjang sambil memainkan ponsel, entah apa yang sedang ia cari. Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung mendekati sang istri, berusaha merayu dan mendapatkan perhatiannya kembali. Seolah tahu bahwa Arya sedang merayunya, Alia justru tidak mengindahkan kehadiran suaminya itu.

"Kok, dicuekin, sih?" tanya Arya. Lelaki itu sudah duduk tepat di sebelah wanita yang masih asyik bermain ponsel tersebut.

Bukannya menjawab, Alia justru semakin asyik memainkan ponsel. Ia sedang memainkan sebuah game bawaan dari ponsel tersebut. Bahkan, saat lelakinya berbicara, ia tidak mendengarnya sama sekali. Arya pun hampir kehabisan akal untuk sekadar mengajak sang istri berbicara.

"Sayang, besok aku ada jadwal konsultasi dengan Dokter Charles. Kamu mau ikut, nggak?" tanyanya berusaha mengalihkan perhatian sang istri.

"Nggak!" jawabnya singkat, tetapi tegas.

"Yakin nggak mau, nih?" tanyanya masih berusaha membujuk.

Wanita itu hanya bergeming tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel miliknya. Dirinya masih merajuk, bisa-bisanya sang suami hanya diam dan tidak membelanya sedikit pun. Kali ini, hati Alia tidak bisa diajak kompromi lagi. Sejenak, lelaki itu meraih tangan kiri sang istri, lalu menariknya dalam genggaman. Diciuminya telapak tangan Alia, terasa lembut dan menyejukkan. Arya melakukannya dengan tulus sebagai bentuk permintaan maaf atas kesalahan fatal yang telah ia perbuat. Namun, hal itu tidak dapat meluluhkan hati wanita di sampingnya.

"Maaf, Sayang. Mas benar-benar minta maaf," tuturnya pelan. "Mas harus melakukan apa biar kamu membuka pintu maaf untukku?"

"Ceraikan dan usir dia dari sini!" Alia menjawab dengan nada ketus.

Spontan jawaban itu membuat mata Arya mendelik. Ia begitu terkejut mendengar penuturan sang istri. Alia yang selama ini ia kenal sebagai wanita lembut dan penyayang, ternyata bisa berubah menjadi sosok ratu tega.

"T-tapi …."

"Kenapa? Nggak bisa, kan?" Alia melayangkan tatapan nyalang ke arah sang suami, hal itu membuat nyali Arya sedikit menciut.

"B-bukan nggak bisa, tapi belum bisa," ujarnya berusaha menjelaskan.

"Halah, banyak alasan!"

Tampaknya, Arya sudah kehabisan akal untuk membujuk sang istri agar tidak merajuk lagi. Terpaksa ia mengalah, memilih mundur perlahan dan meninggalkan Alia seorang diri. Lelaki itu melangkah keluar kamar, kemudian menutup pintu perlahan. Dari sela-sela pintu, ia masih melihat sang istri mematung di tempatnya.

"Huft!" Embusan napasnya terdengar kasar, tampaknya lelaki itu sedikit frustrasi.

Lelaki itu berjalan turun ke bawah, ia berencana merebahkan diri di sofa. Mungkin, hal itu sedikit membuatnya tenang. Ia menuruni anak tangga dengan hati-hati. Pandangannya menatap lurus seolah mengisyaratkan beban berat yang dipikul olehnya. Baru kali ini dirinya kewalahan menghadapi kelakuan sang istri. Ya, ia mengaku salah, bisa-bisanya dirinya tidak merampas parfum milik Alia kembali.

"Bodohnya aku!" rutuknya saat sampai di sofa ruang tamu.

Arya menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar. Lelaki itu merebahkan tubuhnya sejenak, berharap empuknya sofa itu dapat meregangkan otot-otot yang menegang. Suasana sepi ditambah semilir angin yang berasal dari Air Conditioner di ruang tamu sangat mendukungnya untuk memejamkan mata. Kelopak matanya perlahan menutup seiring dengan kesadaran Arya yang mulai menghilang.

Dua jam setelahnya, lelaki itu terbangun setelah mendengar suara pintu terbuka. Arya mengerjapkan matanya pelan, ia mendapati Anita sedang mengendap-endap masuk. Kala itu, saklar lampu di lantai satu sudah mati. Kemungkinan Anita tidak menyadari bahwa Arya berada di sana.

"Dari mana saja malam-malam begini, hah?" tanya Arya bersamaan dengan lampu yang menyala serentak.

"Eh, eng-nggak dari mana-mana, kok. Cuma cari angin segar aja di luar." Wanita itu menjawab dengan gugup. Spontan ia langsung menyembunyikan sebelah tangannya di balik pinggang.

Dahi Arya mengernyit, matanya pun ikut memicing. "Apa yang kau sembunyikan itu? Coba lihat!"

"Nggak ada apa-apa. Bukan apa-apa, Mas!" Nada bicara wanita itu mendadak tinggi, matanya pun melotot seolah mendukung situasi sedang marah.

"Jangan bohong, Anita! Tunjukkan apa yang kau sembunyikan itu!"

Tanpa basa-basi, Arya langsung menarik sebelah tangan wanita itu dengan kasar. Ya, sepertinya lelaki itu sudah kehabisan kesabaran. Bahkan, gemeletuk giginya terdengar jelas, rahangnya pun mengeras.

"Apa maksudnya ini? Cepat jelaskan, hah!" Kali ini, Arya sangat marah, bahkan ia sengaja mendorong tubuh wanita di hadapannya hingga terjengkang. "Bodoh! Hampir saja aku terperangkap dalam rencana busukmu itu! Shit!"

Jemari kekarnya langsung menyobek amplop putih berlogo rumah sakit yang pernah digunakan untuk tes DNA terhadap janin Anita. Tanpa membaca isinya secara keseluruhan, kertas putih tersebut sudah menjadi potongan-potongan kecil dalam sekejap, kemudian Arya melemparkan potongan kertas itu di depan wajah Anita.

"Kau licik!" umpatnya tanpa memberi kesempatan sang lawan bicara untuk membela diri. Sedetik setelahnya, ia pergi begitu saja dan meninggalkan Anita yang masih mematung di tempat.

***

"Bodohnya aku! Kenapa bisa sampai kecolongan begini, sih?" ocehnya terhadap diri sendiri setelah sampai di kamar. Bahkan, lelaki itu tampak mengacak rambutnya frustrasi.

"Kenapa, Mas?" Tanpa sadar, suara lelaki itu telah membuat Alia terbangun dari tidurnya. Ia yang semula tidur dengan posisi miring ke kiri, kini beranjak duduk di ujung ranjang dengan punggung bersandar bantal.

"Eh, m-maaf kalau aku membangunkanmu, Sayang."

"Nggak apa-apa. Kamu kenapa?" tanya Alia dengan nada lembut.

Lelaki itu berjalan mendekat ke arah sang istri, kemudian duduk di tepi ranjang dan berhadapan dengan Alia. Ia langsung menceritakan kejadian barusan. Kala itu, emosinya terpancing saat melihat sebuah amplop putih berlogo rumah sakit Bhakti Rahayu. Di sana tertulis nama Anita sebagai pasien. Tanpa melihat isinya, Arya bisa langsung menebak isi di dalam surat tersebut.

"Pasti isinya tentang manipulasi hasil tes DNA kemarin. Kamu tahu sendiri, kan, Anita itu liciknya seperti apa?" terang Arya panjang lebar.

"Iya kalau benar, kalau salah bagaimana? Siapa tahu dia punya keluhan tentang penyakit lain atau dia baru saja memeriksakan kandungan dan hasilnya baru keluar malam ini." Alia mencoba berpikir positif. "Seharusnya cukup kamu ambil saja surat itu tanpa merobeknya. Kalau begini, kamu nggak akan tahu apa isi surat tersebut."

"Ya sudah, lupakan. Dugaanku tentang hasil manipulasi tes DNA itu sangat kuat. Jadi, aku tidak bisa memikirkan hal lain yang lebih positif."

"Ya sudah." Alia tampak malas berdebat dengan sang suami. Kali ini, ia memilih mengalah dan tidak melanjutkan adu argumen. Detik berikutnya, ia mulai berbaring dan menarik selimutnya menutupi setengah badan.

"Good night!" Arya mendaratkan kecup hangat di dahi wanita itu. Sayangnya, sang istri hanya diam, kemudian terpejam tanpa membalas ucapan sekaligus kecupan darinya.

Arya tidak ambil pusing tentang hal itu. Tidak lama kemudian, ia turut berbaring di samping sang istri dengan posisi membelakangi. Matanya pun mulai terpejam seiring rasa kantuk yang tidak bisa tertahan lagi.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang